Pelemahan Rupiah Sudah Berlebihan

Kamis, 19 Maret 2015 - 10:03 WIB
Pelemahan Rupiah Sudah...
Pelemahan Rupiah Sudah Berlebihan
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengakui pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah berlebihan.

Kurs rupiah telah berada di bawah nilai wajarnya. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah dipicu faktor eksternal dan internal. ”Kalau ditanya apakah pelemahannya sudah under value, memang iya,” ujar Mirza di Jakarta kemarin. Dia menjelaskan faktor eksternal yang membuat rupiah terdepresiasi, yakni rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika (The Fed) pada tahun ini.

Saat ini suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS) sebesar 0,25%, tetapi dalam tiga tahun ke depan akan naik menjadi2,5- 3%.”Sementaraitusuku bunga Eropa negatif, Jepang hanya nol koma sekian, China juga turun. AS ekonominya meningkat sendiri,” kata Mirza. Dia menuturkan, jika pada 1998 kurs rupiah melemah terhadap semua mata uang, saat ini dolar yang menguat terhadap hampir semua mata uang negara-negara di dunia.

Di samping akibat menguatnya ekonomi AS, pelemahan rupiah juga disebabkan faktor fundamental domestik di Indonesia, yakni permintaan terhadap dolar AS yang melebihi suplai. ”Kita tahu kurs itu adalah supply and demand terhadap dolar.” “Ekonomi kita ini sayangnya demand dolarnya lebih besar daripada supply,” ujar Mirza. Berdasarkan kurs JISDOR BI, nilai tukar rupiah kemarin kembali menguat menjadi Rp13.164 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya yang Rp13.209 per dolar AS.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati memproyeksikan nilai tukar rupiah akan kembali menuju level keseimbangan baru, yakni Rp12.500-13.000 per dolar AS. ”Memang perkiraan kami rupiah ini akhirnya menjadi keseimbangan baru lagi. Jadi kalau kemarin di APBN-P 2015 Rp12.500 per dolar AS, nah kemungkinan di atas itu ke-seimbangan barunya. Hitung-hitungan kami sih yang masih available sekarang ya mestinya di atas Rp12.500, tapi masih di bawah Rp13.000 (per dolar AS),” ujar Enny.

Dia menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah pada level Rp12.500-13.000 per dolar AS tidak akan menimbulkan efek psikologis yang berlebihan untuk pelaku usaha maupun masyarakat. Meski demikian, menurutnya, angka nilai tukar itu merupakan proyeksi optimistis. ”Tapi itu kan dari sisi optimistis, tapi jika kita lihat nanti kebijakan pemerintah ini kan banyak juga pelaku usaha menganggap ini paket-paket lama, selalu diulang lagi dan mereka masih meragukan efektivitasnya. Artinya meragukan konsistensi dan implementasi dari kebijakan itu sendiri,” kata Enny.

Apabila kebijakan stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah tidak efektif dan pemerintah tak cukup berperan dalam memberikan berbagai macam stimulus, pelemahan rupiah akan sulit berhenti dan bisa jadi akan terus berlangsung sampai akhir tahun. Enny mengingatkan, jika pemerintah tidak bisa mengendalikan nilai tukar rupiah sampai akhir Maret ini, hal tersebut bisa memberikan citra negatif kepada pelaku pasar yang berarti tidak akan ada kepercayaan lagi dan bisa menimbulkan masalah.

”Kita lihat dalam sebulan ini, kalau kebijakan-kebijakan pemerintah ini cukup efektif, artinya tidak menimbulkan kepanikan buat pelaku bisnis. Kalau benar-benar konkret, ini akan memberikan sentimen positif. Kalau dunia usaha memberikan sentimen positif, itu minimal sekali itu tidak ada spekulasi terhadap dolar,” ujar Enny.

Selain itu, dia menilai persoalan lainnya adalah dari eksternal, terutama terkait kenaikan suku bunga yang diprediksi dilakukan Bank Sentral Amerika The Fed pada semester kedua 2015. ”Apakah jadi atau tidak Amerika menaikkan suku bunga, kalau saya sih tidak. Kalau semuanya melemah terhadap Amerika, Amerika juga akan jualan kepada siapa, pasti ia juga akan hati-hati,” paparnya.

Sementara itu, pelemahan nilai tukar saat ini membuat industri perbankan waspada. Mereka lebih selektif dalam menyalurkan kredit ke debitor. Direktur Retail Banking Bank Permata Bianto Surodjo mengatakan, perbankan cenderung lebih berhati-hati terhadap sektor yang sensitif terhadap pergerakan kurs. Pada semester pertama 2015, perbankan akan melihat perkembangan perekonomian dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebutkan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berdampak terhadap industri ritel. Sebab ritel merupakan tempat muaranya seluruh produksi industri. Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahananta mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang telah mencapai 13.000-an per dolar AS sudah pernah disampaikan kepada pemerintah pada 2014 untuk segera diatasi.

”Dari awal tahun lalu sudah terjadi, inisudahberkali-kalikitamengingatkan, inflasi dijaga, kami ini kan hidup matinya dengan daya beli masyarakat,” katanya.

Tutum menyebutkan, jika pelemahan nilai tukar rupiah tidak segera diantisipasi, dipastikan sektor ritel akan menaikkan kembali harga- harga. Namun rencana kenaikan harga akan menjadi perhatian khusus jika ternyata daya beli masyarakat tidak meningkat. ”Ini yang membuat teman ritel sudah berat, kami juga bingung harga-harga industri menaikkan, kami juga menaikkan karena kami kan perpanjangan dari industri,” ujarnya.

Hafid fuad/ okezone/antSoliditas
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0931 seconds (0.1#10.140)