Remisi bagi Koruptor Dinilai Kemunduran Hukum
A
A
A
JAKARTA - Wacana revisi aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi yang dilontarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly, mendapat kritikan.
Wacana itu dinilai kontraproduktif dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Pengamat politik Universitas Padjajaran, Idil Akbar berpendapat, rencana pemberian remisi bagi terpidana korupsi itu suatu bentuk kemunduran hukum.
"Itu sama saja Menkumham ingin kembali memberi ruang buat para koruptor agar tidak menyesali atau jera atas perbuatannya," ujar Idil Akbar kepada Sindonews, Rabu (18/3/2015).
Dia mengatakan, hukuman yang sering diberikan oleh pengadilan sejauh ini umumnya terasa tidak adil bagi rakyat. Sebab, umumnya hanya lima tahun penjara.
"Apalagi ditambah diberikan remisi, apa enggak menyakiti hati dan rasa keadilan itu sendiri bagi rakyat? Menkumham mestinya paham bahwa remisi koruptor itu bukan soal kesetaraan dengan terhukum atas kejahatan lain, tapi soal keadilan terhadap kejahatan itu sendiri," tuturnya.
Itu mengapa, lanjut dia, tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai salah satu extraordinary crime (kejahatan luar biasa).
Pelaku kejahatan luar biasa, sambung dia, harus dihukum lebih dari kejahatan biasa. "Entah apa yang ada dipikirkan Menkumham hingga ingin memberi remisi buat koruptor ini?" tanyanya.
"Atau untuk mengakomodir siapa dia sehingga mewacanakan begitu? Tapi yang jelas rencana memberi remisi koruptor harus ditolak karena hanya akan semakin menjauhkan usaha negara memberantas korupsi di Indonesia," pungkasnya.
Wacana itu dinilai kontraproduktif dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Pengamat politik Universitas Padjajaran, Idil Akbar berpendapat, rencana pemberian remisi bagi terpidana korupsi itu suatu bentuk kemunduran hukum.
"Itu sama saja Menkumham ingin kembali memberi ruang buat para koruptor agar tidak menyesali atau jera atas perbuatannya," ujar Idil Akbar kepada Sindonews, Rabu (18/3/2015).
Dia mengatakan, hukuman yang sering diberikan oleh pengadilan sejauh ini umumnya terasa tidak adil bagi rakyat. Sebab, umumnya hanya lima tahun penjara.
"Apalagi ditambah diberikan remisi, apa enggak menyakiti hati dan rasa keadilan itu sendiri bagi rakyat? Menkumham mestinya paham bahwa remisi koruptor itu bukan soal kesetaraan dengan terhukum atas kejahatan lain, tapi soal keadilan terhadap kejahatan itu sendiri," tuturnya.
Itu mengapa, lanjut dia, tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai salah satu extraordinary crime (kejahatan luar biasa).
Pelaku kejahatan luar biasa, sambung dia, harus dihukum lebih dari kejahatan biasa. "Entah apa yang ada dipikirkan Menkumham hingga ingin memberi remisi buat koruptor ini?" tanyanya.
"Atau untuk mengakomodir siapa dia sehingga mewacanakan begitu? Tapi yang jelas rencana memberi remisi koruptor harus ditolak karena hanya akan semakin menjauhkan usaha negara memberantas korupsi di Indonesia," pungkasnya.
(maf)