Tengkulak dan Nasib Petani

Selasa, 17 Maret 2015 - 10:47 WIB
Tengkulak dan Nasib Petani
Tengkulak dan Nasib Petani
A A A
”Kadang tengkulak menjadi penyelamat hidup kami,” ujar beberapa petani Desa Cikawungading, Tasikmalaya saat ditanya mengapa bergantung pada tengkulak yang mematok harga sangat rendah.

Tengkulak memang sigap. Mereka bisa dihubungi untuk diminta membeli hasil pertanian para petani jika dibutuhkan. Saat para petani membutuhkan dana segar secepatnya untuk keperluan berobat, tengkulak menjadi jawaban atas kegelisahan para petani.

Desa Cikawungading memang mampu memproduksi lebih dari puluhan kuintal beras dan ratusan ton gula kelapa tiap musimnya. Secara geografis pun, Desa Cikawungading berada di jalur antarkota antarprovinsi dengan asumsi infrastruktur yang memadai menjadi kelebihan bagi desa ini.

Namun, puluhan kuintal beras yang diproduksi oleh Desa Cikawungading hanya dihargai Rp450.000 per kuintal, dan gula kelapa Rp6.000 per kilogram oleh para tengkulak. Saat ditanya mengapa bisa dipatok harga begitu rendah untuk penjualannya, rupanya tengkulak menjadi momok yang mengatur aliran jual beli hasil tani.

Para petani pun tidak mampu untuk berbuat lebih, apalagi untuk mengolahnya atau menjualnya sendiri. Terlalu nyaman dengan belaian manja dari tengkulak membuat petani tidak mampu untuk bangun lebih cepat.

Kasus Desa Cikawungading adalah satu dari sekian desa yang memiliki potensi namun dijerat oleh penyakit kronis, campur tangan tengkulak. Kurangnya perhatian dari pemerintah mengenai kesejahteraan intelektual petani, seperti adanya penyuluhan atau pengetahuan-pengetahuan lain juga menjadi faktor penghambat petani untuk keluar dari jeratan para tengkulak.

Tengkulak memang penyelamat, tetapi juga menjadi pisau bermata dua bagi para petani. Bayangkan, jika kualitas hasil tani pada satu musim itu tergolong bagus, dan petani tidak memiliki pilihan untuk menjualnya sendiri ke pasar tentu akan diambil alih oleh tengkulak.

Petani kecil juga tidak semuanya terbiasa untuk menerima uang dalam jumlah besar dan hal ini yang dimanfaatkan tengkulak untuk memberikan ”tipu muslihat” menggunakan uang jumlah besar.

Lagi-lagi, pengetahuan yang memadai, setidaknya untuk tahu bagaimana alur penjualan yang menguntungkan seperti adanya koperasi akan membantu kesejahteraan petani, dibanding harus terus bergantung pada tengkulak.

Indonesia tidak perlu terus mengimpor beras jika tidak ada mafia-mafia beras berkedok malaikat penyelamat ini yang terus menekan petani untuk menjual dengan harga kecil demi keuntungan besar mereka. Memang, siklus jual beli hasil tani tidak akan pernah lepas dari tengkulak karena mereka adalah penyelamat hidup petani dengan uang instannya.

Namun, setiap racun selalu ada penawarnya, dan jika racunnya adalah para tengkulak tentu penawarnya ada pada cara-cara alternatif untuk tidak bergantung pada tengkulak.

Oktadiora Pratama
Mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6171 seconds (0.1#10.140)