Ukuran Tahu Tempe pun Menyusut
A
A
A
Sukomaryanto sejenak menghentikan aktivitasnya. Berdiri memandangi deretan papanpapan kayu yang di atasnya terhampar lembaran tahu siap potong, kakek 72 tahun ini bergumam kecil.
”Kalau harga kedelai naik lagi, bisa bencana,” katanya kemarin. ”Sekarang saja sudah mulai terasa (bebannya),” kata perajin tahu asal Dusun Kaliwiru, Desa Tuksono,Kecamatan Sentolo, Kulonprogo, Yogyakarta itu.
Sukomaryanto mengatakan, kedelai impor ibarat nyawa bagi para perajin tahu dan tempe. Tanpa bermaksud mengesampingkan tanaman lokal, menurutnya, kedelai impor bisa menghasilkan tahu atau tempe dengan kualitas lebih baik. Ukuran tahu juga bisa lebih besar dibandingkan menggunakan kedelai dalam negeri.
Persoalannya, ketika nilai tukar rupiah rontok beberapa waktu belakangan ini, harga barang impor mulai meroket. Kedelai pun mulai terkerek hingga menyentuh Rp9.000/kg. Sementara harga kedelai lokal berkisar Rp7.100/kg. Situasi inilah yang membuatnya resah.
Suko khawatir pabrik tahu warisan keluarganya yang dikelola sejak 1970 itu bisa kembang kempis. ”Saya menggunakan kedelai impor dari Australia. Saat ini belum (naik signifikan), tapi biasanya kan selalu begitu (menyesuaikan),” katanya masygul.
Suko ingat benar masa-masa pahit yang pernah dilaluinya, yaitu saat harga kedelai impor meroket tinggi seperti pada 2013. Agar usaha tetap berjalan, dia harus pandai-pandai menyiasatinya. ”Seperti yang dulu-dulu, potongan (tahu)-nya dikecilkan, bobotnya dikurangi. Kalau tidak ya terpaksa campur dengan kedelai lokal,” ucapnya.
Keresahan serupa dirasakan Ngadiman Susanto, juga perajin tahu di Kulonprogo. ”Berat kalau harus naikkan harga,” katanya. Dayat, perajin asal Parepare, Sulawesi Selatan mengaku telah menyusutkan ukuran tahu dan tempe produksinya sejak sebulan lalu. Menurut dia, kenaikan harga kedelai impor sangat membebani.
Sebelum nilai rupiah melemah pun harga sudah menyentuh Rp7.000/kg dan sekarang terus menunjukkan gejala naik. Dayat berharap pemerintah tidak menganggap enteng kondisi ini. Dia mengingatkan pelemahan nilai rupiah bisa memukul sektor industri, termasuk UMKM yang mengandalkan bahan baku impor.
”Sekarang sudah mengecilkan ukuran tahu dan tempe serta menekan ongkos produksi. Kami tidak mau makin parah hingga berujung pemangkasan tenaga kerja,” dia berharap. Kenaikan harga kedelai impor itu berimbas juga pada penjual produk-produk berbahan dasar tempe atau tahu.
Sebut saja Supriyadi, penjual penganan khas Banyumas tempe mendoan, di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Barat. Mulai kemarin dia terpaksa menaikkan harga jual. ”Biasanya Rp15.000 untuk enam biji (tempe mendoan), sekarang jadi Rp18.000 karena dari pasar (tempe) juga sudah naik,” kata pria asal Tegal ini.
Supriyadi menyadari kenaikan itu bisa berisiko kurangnya pelanggan. Tapi dia menegaskan lebih baik menaikkan harga daripada mengurangi kualitas. ”Umumnya ada yang mencampurkan ampas tahu di bahan mendoan, tapi saya tidak,” ujarnya.
Produsen Batik Terimbas
Bukan hanya perajin tahu tempe yang dilanda kecemasan dengan jebloknya nilai tukar rupiah. Para produsen batik kini juga pada gurat nasib serupa. Pelemahan rupiah telah membuat ongkos produksi terkerek. Pengusaha batik Pekalongan, Failasuf, menuturkan kenaikan biaya produksi batik dipicu bahan baku pembuatan batik yang hampir seluruhnya merupakan barang impor.
Kenaikan harga bahan baku itu sudah terjadi sekitar dua bulan terakhir. ”Misalnya sutera, katun, dan juga lilin. Kalau dibiarkan terus dan terjadi jangka panjang akan sangat berat sekali,” ujarnya. Failasuf mengingatkan, kenaikan biaya produksi otomatis mendongkrak harga jual.
Dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang kemungkinan turut melorot, penurunan omzet jadi ancaman nyata. ”Kalau konsumen tidak bisa menerima kenaikan harga, jelas revenuekami turun. Untuk menyiasatinya kami harus meningkatkan nilai produk semisal kualitas seninya agar bisa mendongkrak harga batik yang sudah jadi,” ungkapnya.
Kabid Perdagangan Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Pekalongan Agus Dwi Nugroho mengakui harga bahan baku batik cenderung naik setelah merosotnya nilai rupiah terhadap dolar.
Hal ini membuat pelaku usaha kelimpungan. Pihaknya berharap pemerintah cepat mengatasi situasi demikian. Jangan sampai pelaku industri terpukul dan hancur,” terangnya.
Prahayuda febrianto
”Kalau harga kedelai naik lagi, bisa bencana,” katanya kemarin. ”Sekarang saja sudah mulai terasa (bebannya),” kata perajin tahu asal Dusun Kaliwiru, Desa Tuksono,Kecamatan Sentolo, Kulonprogo, Yogyakarta itu.
Sukomaryanto mengatakan, kedelai impor ibarat nyawa bagi para perajin tahu dan tempe. Tanpa bermaksud mengesampingkan tanaman lokal, menurutnya, kedelai impor bisa menghasilkan tahu atau tempe dengan kualitas lebih baik. Ukuran tahu juga bisa lebih besar dibandingkan menggunakan kedelai dalam negeri.
Persoalannya, ketika nilai tukar rupiah rontok beberapa waktu belakangan ini, harga barang impor mulai meroket. Kedelai pun mulai terkerek hingga menyentuh Rp9.000/kg. Sementara harga kedelai lokal berkisar Rp7.100/kg. Situasi inilah yang membuatnya resah.
Suko khawatir pabrik tahu warisan keluarganya yang dikelola sejak 1970 itu bisa kembang kempis. ”Saya menggunakan kedelai impor dari Australia. Saat ini belum (naik signifikan), tapi biasanya kan selalu begitu (menyesuaikan),” katanya masygul.
Suko ingat benar masa-masa pahit yang pernah dilaluinya, yaitu saat harga kedelai impor meroket tinggi seperti pada 2013. Agar usaha tetap berjalan, dia harus pandai-pandai menyiasatinya. ”Seperti yang dulu-dulu, potongan (tahu)-nya dikecilkan, bobotnya dikurangi. Kalau tidak ya terpaksa campur dengan kedelai lokal,” ucapnya.
Keresahan serupa dirasakan Ngadiman Susanto, juga perajin tahu di Kulonprogo. ”Berat kalau harus naikkan harga,” katanya. Dayat, perajin asal Parepare, Sulawesi Selatan mengaku telah menyusutkan ukuran tahu dan tempe produksinya sejak sebulan lalu. Menurut dia, kenaikan harga kedelai impor sangat membebani.
Sebelum nilai rupiah melemah pun harga sudah menyentuh Rp7.000/kg dan sekarang terus menunjukkan gejala naik. Dayat berharap pemerintah tidak menganggap enteng kondisi ini. Dia mengingatkan pelemahan nilai rupiah bisa memukul sektor industri, termasuk UMKM yang mengandalkan bahan baku impor.
”Sekarang sudah mengecilkan ukuran tahu dan tempe serta menekan ongkos produksi. Kami tidak mau makin parah hingga berujung pemangkasan tenaga kerja,” dia berharap. Kenaikan harga kedelai impor itu berimbas juga pada penjual produk-produk berbahan dasar tempe atau tahu.
Sebut saja Supriyadi, penjual penganan khas Banyumas tempe mendoan, di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Barat. Mulai kemarin dia terpaksa menaikkan harga jual. ”Biasanya Rp15.000 untuk enam biji (tempe mendoan), sekarang jadi Rp18.000 karena dari pasar (tempe) juga sudah naik,” kata pria asal Tegal ini.
Supriyadi menyadari kenaikan itu bisa berisiko kurangnya pelanggan. Tapi dia menegaskan lebih baik menaikkan harga daripada mengurangi kualitas. ”Umumnya ada yang mencampurkan ampas tahu di bahan mendoan, tapi saya tidak,” ujarnya.
Produsen Batik Terimbas
Bukan hanya perajin tahu tempe yang dilanda kecemasan dengan jebloknya nilai tukar rupiah. Para produsen batik kini juga pada gurat nasib serupa. Pelemahan rupiah telah membuat ongkos produksi terkerek. Pengusaha batik Pekalongan, Failasuf, menuturkan kenaikan biaya produksi batik dipicu bahan baku pembuatan batik yang hampir seluruhnya merupakan barang impor.
Kenaikan harga bahan baku itu sudah terjadi sekitar dua bulan terakhir. ”Misalnya sutera, katun, dan juga lilin. Kalau dibiarkan terus dan terjadi jangka panjang akan sangat berat sekali,” ujarnya. Failasuf mengingatkan, kenaikan biaya produksi otomatis mendongkrak harga jual.
Dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang kemungkinan turut melorot, penurunan omzet jadi ancaman nyata. ”Kalau konsumen tidak bisa menerima kenaikan harga, jelas revenuekami turun. Untuk menyiasatinya kami harus meningkatkan nilai produk semisal kualitas seninya agar bisa mendongkrak harga batik yang sudah jadi,” ungkapnya.
Kabid Perdagangan Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Pekalongan Agus Dwi Nugroho mengakui harga bahan baku batik cenderung naik setelah merosotnya nilai rupiah terhadap dolar.
Hal ini membuat pelaku usaha kelimpungan. Pihaknya berharap pemerintah cepat mengatasi situasi demikian. Jangan sampai pelaku industri terpukul dan hancur,” terangnya.
Prahayuda febrianto
(ftr)