Efektivitas Paket Ekonomi Diragukan
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan meragukan efektivitas paket kebijakan ekonomi dalam meredam pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mereka menilai paket ekonomi yang dirilis pemerintah baru bisa dirasakan dampaknya dalam jangka panjang.
Pengamat keuangan Farial Anwar menilai enam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak signifikan. Berbagai kebijakan itu tidak menyentuh persoalan konkret untuk menahan depresiasi rupiah. ”Saya pesimistis kebijakan ini bisa berdampak cepat. Ini semuanya butuh waktu, sementara kita butuh penanganan cepat,” ujar Farial saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Saat ini upaya yang paling mendesak adalah memenuhi suplai dolar di pasar. Salah satunya dengan memenuhi suplai dolar dari devisa hasil ekspor. Masalahnya, devisa hasil ekspor banyak disimpan di perbankan luar negeri. ”Pemerintah seharusnya mempunyai instrumen untuk menjaga devisa hasil ekspor tetap di dalam negeri,” ujar Farial.
Pemerintah kemarin mengumumkan paket kebijakan ekonomi guna memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Paket tersebut mencakup enam ketentuan yang mulai berlaku April 2015, antara lain insentif berupa tax allowance untuk perusahaan yang menginvestasikan dividennya di Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang besar, serta perusahaan berorientasi ekspor.
Pemerintah juga memberlakukan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) bagi industri galangan kapal. Ketentuan lainnya, pemberian bebas visa kunjungan singkat kepada wisatawan dari 30 negara (selengkapnya lihat infografis ).
Pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih memprediksi paket kebijakan ekonomi pemerintah baru dapat dirasakan enam bulan ke depan. Ini membuat nilai tukar rupiah dalam jangka pendek masih akan tertekan terhadap dolar AS. ”Saya tidak berani sebut akan sampai di mana rupiah. Tapi seharusnya ada kebijakan yang lebih taktis. Kita butuh perbaikan secepatnya,” ujar Lana.
Persoalan devisa hasil ekspor harus ditangani oleh kementerian. Semua menteri harus turun dan bicara kepada industri di bawah lembaganya. Selain itu, mereka bisa bicara lewat asosiasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk mendorong devisa hasil ekspor paling lambat dapat diterima dalam dua bulan. ”Semua menteri harus turun ke lapangan bicara ke industri. Jangan hanya duduk di kantor. Selama ini industri sudah dibantu, sekarang saatnya bantu pemerintah,” desak Lana.
Ekonom David Sumual mempertanyakan paket kebijakan ekonomi yang baru dikeluarkan saat ini. Padahal, persoalan- persoalan ekonomi di Indonesia seperti defisit transaksi berjalan sudah sejak lama terjadi. ”Ini kan kesannya kaya pemadam kebakaran,” ujarnya.
Dia melanjutkan, sebetulnya tahun lalu juga sudah dikeluarkan paket kebijakan untuk meredam depresiasi rupiah. Dari situ seharusnya sudah ada antisipasi dari beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya. Bahkan, semestinya pemerintah sudah menyiapkan semacam cetak biru untuk mengantisipasi persoalan yang terjadi.
”Omongan The Fed akan menaikkan suku bunga kan sudah dari 1-2 tahun lalu. Nah, kenapa ini baru keluar sekarang. Tapi kita mengerti, ini kan masih masa transisi pemerintah,” paparnya. David juga memprediksi paket kebijakan ekonomi baru berasa di jangka menengah, atau enam bulan mendatang. ”Kalau seminggu sampai sebulan dua bulan ke depan ya pasti tidak ada pengaruh,” paparnya.
Reformasi Struktural
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan, paket kebijakan yang diterbitkannya merupakan lanjutan dari reformasi struktural yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi, seperti reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), program pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) hingga pengendalian inflasi.
”Sekarang ini untuk reform lebih lanjut pemerintah mengeluarkan inisiatif memberikan banyak insentif kepada pelaku pasar,” ujarnya. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkapkan, Indonesia segera memberlakukan kebijakan bebas visa bagi 30 negara sebagai salah satu kebijakan yang masuk dalam tahapan awal paket kebijakan ekonomi.
Dengan demikian, total terdapat 45 negara yang diberlakukan bebas visa untuk berkunjung ke Indonesia. ”Pertimbangannya adalah asas manfaat. Salah satu cara paling mudah meningkatkan wisman adalah bebas visa,” katanya.
Aturan ini, selain bertujuan untuk menambah jumlah kunjungan 10 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2015, juga untuk menambah devisa negara dan memperbaiki kinerja neraca jasa. Menurut Arief, ada potensi penambahan devisa hingga USD1 miliar dengan penambahan 30 negara bebas visa.
Rencananya, kebijakan tentang bebas visa akan ditandatangani oleh Presiden pekan depan dan segera berlaku sebulan setelahnya. Arief menjelaskan, posisi wisatawan Indonesia saat ini tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand. Indonesia sampai saat ini baru memberlakukan bebas visa untuk 15 negara, Malaysia sudah 164 negara dan Thailand 56 negara.
Negara-negara yang akan mendapatkan bebas visa adalah negara-negara di wilayah Asia, Pasifik, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Wilayah Asia yang bebas visa adalah China, Jepang, dan Korea Selatan. Dari kawasan Pasifik ada Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, dan Meksiko.
Adapun untuk Eropa dan Timur Tengah hampir semua negara mendapatkan bebas visa. ”Dengan demikian kita harapkan wisman ke Indonesia akan bagus. Untuk kita ketahui kunjungan wisman (ke Indonesia) sekarang baru 9 juta, Thailand sudah 26 juta, dan Malaysia sudah 27 juta. Dalam waktu dua tahun kita bisa mengalahkan kedua negara itu,” tambahnya.
Khusus tentang insentif perpajakan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kriteria pemberiannya dibuat lebih longgar dan tidak terlalu detail seperti sebelumnya.
Pemerintah lebih menekankan ingin memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang melakukan investasi dengan jumlah besar, memiliki orientasi ekspor, menggunakan tingkat kandungan lokal tinggi, serta melakukan penelitian dan pengembangan. ”Intinya kita tidak terlalu rigid , terlalu detail per sektor seperti yang sebelumnya, jadi ada relaksasi,” paparnya.
Hafid fuad/ Rarasati syarief/ Rabia edra/ Kunthi fahmar sandy/ Inda susanti
Pengamat keuangan Farial Anwar menilai enam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak signifikan. Berbagai kebijakan itu tidak menyentuh persoalan konkret untuk menahan depresiasi rupiah. ”Saya pesimistis kebijakan ini bisa berdampak cepat. Ini semuanya butuh waktu, sementara kita butuh penanganan cepat,” ujar Farial saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Saat ini upaya yang paling mendesak adalah memenuhi suplai dolar di pasar. Salah satunya dengan memenuhi suplai dolar dari devisa hasil ekspor. Masalahnya, devisa hasil ekspor banyak disimpan di perbankan luar negeri. ”Pemerintah seharusnya mempunyai instrumen untuk menjaga devisa hasil ekspor tetap di dalam negeri,” ujar Farial.
Pemerintah kemarin mengumumkan paket kebijakan ekonomi guna memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Paket tersebut mencakup enam ketentuan yang mulai berlaku April 2015, antara lain insentif berupa tax allowance untuk perusahaan yang menginvestasikan dividennya di Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang besar, serta perusahaan berorientasi ekspor.
Pemerintah juga memberlakukan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) bagi industri galangan kapal. Ketentuan lainnya, pemberian bebas visa kunjungan singkat kepada wisatawan dari 30 negara (selengkapnya lihat infografis ).
Pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih memprediksi paket kebijakan ekonomi pemerintah baru dapat dirasakan enam bulan ke depan. Ini membuat nilai tukar rupiah dalam jangka pendek masih akan tertekan terhadap dolar AS. ”Saya tidak berani sebut akan sampai di mana rupiah. Tapi seharusnya ada kebijakan yang lebih taktis. Kita butuh perbaikan secepatnya,” ujar Lana.
Persoalan devisa hasil ekspor harus ditangani oleh kementerian. Semua menteri harus turun dan bicara kepada industri di bawah lembaganya. Selain itu, mereka bisa bicara lewat asosiasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk mendorong devisa hasil ekspor paling lambat dapat diterima dalam dua bulan. ”Semua menteri harus turun ke lapangan bicara ke industri. Jangan hanya duduk di kantor. Selama ini industri sudah dibantu, sekarang saatnya bantu pemerintah,” desak Lana.
Ekonom David Sumual mempertanyakan paket kebijakan ekonomi yang baru dikeluarkan saat ini. Padahal, persoalan- persoalan ekonomi di Indonesia seperti defisit transaksi berjalan sudah sejak lama terjadi. ”Ini kan kesannya kaya pemadam kebakaran,” ujarnya.
Dia melanjutkan, sebetulnya tahun lalu juga sudah dikeluarkan paket kebijakan untuk meredam depresiasi rupiah. Dari situ seharusnya sudah ada antisipasi dari beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya. Bahkan, semestinya pemerintah sudah menyiapkan semacam cetak biru untuk mengantisipasi persoalan yang terjadi.
”Omongan The Fed akan menaikkan suku bunga kan sudah dari 1-2 tahun lalu. Nah, kenapa ini baru keluar sekarang. Tapi kita mengerti, ini kan masih masa transisi pemerintah,” paparnya. David juga memprediksi paket kebijakan ekonomi baru berasa di jangka menengah, atau enam bulan mendatang. ”Kalau seminggu sampai sebulan dua bulan ke depan ya pasti tidak ada pengaruh,” paparnya.
Reformasi Struktural
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan, paket kebijakan yang diterbitkannya merupakan lanjutan dari reformasi struktural yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi, seperti reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), program pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) hingga pengendalian inflasi.
”Sekarang ini untuk reform lebih lanjut pemerintah mengeluarkan inisiatif memberikan banyak insentif kepada pelaku pasar,” ujarnya. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkapkan, Indonesia segera memberlakukan kebijakan bebas visa bagi 30 negara sebagai salah satu kebijakan yang masuk dalam tahapan awal paket kebijakan ekonomi.
Dengan demikian, total terdapat 45 negara yang diberlakukan bebas visa untuk berkunjung ke Indonesia. ”Pertimbangannya adalah asas manfaat. Salah satu cara paling mudah meningkatkan wisman adalah bebas visa,” katanya.
Aturan ini, selain bertujuan untuk menambah jumlah kunjungan 10 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2015, juga untuk menambah devisa negara dan memperbaiki kinerja neraca jasa. Menurut Arief, ada potensi penambahan devisa hingga USD1 miliar dengan penambahan 30 negara bebas visa.
Rencananya, kebijakan tentang bebas visa akan ditandatangani oleh Presiden pekan depan dan segera berlaku sebulan setelahnya. Arief menjelaskan, posisi wisatawan Indonesia saat ini tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand. Indonesia sampai saat ini baru memberlakukan bebas visa untuk 15 negara, Malaysia sudah 164 negara dan Thailand 56 negara.
Negara-negara yang akan mendapatkan bebas visa adalah negara-negara di wilayah Asia, Pasifik, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Wilayah Asia yang bebas visa adalah China, Jepang, dan Korea Selatan. Dari kawasan Pasifik ada Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, dan Meksiko.
Adapun untuk Eropa dan Timur Tengah hampir semua negara mendapatkan bebas visa. ”Dengan demikian kita harapkan wisman ke Indonesia akan bagus. Untuk kita ketahui kunjungan wisman (ke Indonesia) sekarang baru 9 juta, Thailand sudah 26 juta, dan Malaysia sudah 27 juta. Dalam waktu dua tahun kita bisa mengalahkan kedua negara itu,” tambahnya.
Khusus tentang insentif perpajakan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kriteria pemberiannya dibuat lebih longgar dan tidak terlalu detail seperti sebelumnya.
Pemerintah lebih menekankan ingin memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang melakukan investasi dengan jumlah besar, memiliki orientasi ekspor, menggunakan tingkat kandungan lokal tinggi, serta melakukan penelitian dan pengembangan. ”Intinya kita tidak terlalu rigid , terlalu detail per sektor seperti yang sebelumnya, jadi ada relaksasi,” paparnya.
Hafid fuad/ Rarasati syarief/ Rabia edra/ Kunthi fahmar sandy/ Inda susanti
(ftr)