Kebakaran Dipandang Sebelah Mata

Senin, 16 Maret 2015 - 12:46 WIB
Kebakaran Dipandang Sebelah Mata
Kebakaran Dipandang Sebelah Mata
A A A
JAKARTA - Kebakaran masih menjadi ancaman serius warga Ibu Kota. Di sisi lain kesadaran masyarakat akan bahaya kebakaran juga masih minim. Tak ayal, tiap tahun terjadi ribuan kasus kebakaran.

Salah satu penyebab tertinggi kebakaran di DKI Jakarta adalah korsleting listrik. Ini terjadi akibat instalasi listrik masih terpasang semrawut. Direktur Pelayanan Keamanan PT Gunnebo Shirley Tamtomo mengatakan, minimnya kesadaran masyarakat mengantisipasi kebakaran karena tidak ada sosialisasi dari pihak terkait.

Idealnya sosialisasi dilakukan sedini mungkin. Namun, masyarakat menilai bahwa kebakaran bukanlah sesuatu yang harus dicegah, tapi dihadapi. Salah satu buktinya, masyarakat kurang peduli terhadap instalasi listrik. Akibat itu, mayoritas penyebab kebakaran di Ibu Kota karena korsleting. “Dari data yang kita miliki, 72% penyebab kebakaran karena korsleting,” sebutnya kemarin.

Untuk itu, setiap instansi terkait harus bisa memiliki visi yang sama mengurangi tingkat kebakaran. “Dalam tingkat pemangku kepentingan harus bisa satu tujuan agar bisa berjalan bersama,” ujarnya.

Manajer Teknik PT Gunnebo Handoko mengatakan, sebenarnya kebakaran bisa diminimalisasi jika pemerintah giat melakukan sosialisasi dan pelatihan, baik kepada masyarakat maupun pengelola gedung. Handoko menjelaskan, wilayah Tambora, Jakarta Barat pernah menjadi kawasan yang rawan kebakaran.

Namun, ketika pemerintah maupun pengusaha duduk bersama dan melakukan sosialisasi rutin, kebakaran di Tambora bisa ditekan. “Semua orang tidak menginginkan menjadi korban kebakaran. Karena tidak mendapat pengetahuan, awareness terhadap kebakaran kurang,” ucapnya.

Selama ini ketika ada kebakaran hampir selalu diwarnai dengan perselisihan, baik sesama korban kebakaran maupun antarwarga dengan petugas pemadam kebakaran. Dari data yang ada, penyebab orang tewas ketika terjadi kebakaran bukan akibat terbakar, melainkan karena menghirup asap. “Ini membuktikan kesadaran masyarakat masih rendah,” tuturnya.

Handoko menuturkan, secara umum penanganan bencana di Indonesia maupun di negara lain sama, yang membedakan adalah kesadaran warga. Di Australia misalnya pengenalan terhadap kebakaran sudah ada dalam kurikulum sekolah dasar. Dengan demikian, ketika terjadi kebakaran, mereka sudah mengerti apa yang harus dilakukan. “Jika ingin menekan kasus kebakaran, harus dibangun kesadaran sedini mungkin,” ujarnya.

Kepala Bidang Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Jakarta Abdul Chair sependapat peristiwa kebakaran harus dimulai dari pencegahan. Untuk itu, sejak tahun lalu pihaknya sudah mendapatkan 2.800 Barisan Sukarelawan Kebakaran (Balakar) yang tersebar di DKI Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu.

Melalui mereka, DPKP memberikan sosialisasi pencegahan kebakaran kepada masyarakat. Selain itu, lanjut Chair, pihaknya juga memberikan alat pelindung diri (APD) di masingmasing RW. Alat yang diberikan mulai dari pawang geni, sepeda motor damkar, pompa air, dan alat pemadam api ringan (apar).

“Balakar ini kan warga. Kami berikan itu agar warga sudah bisa melakukan pencegahan awal sebelum membesarnya api ketika terjadi kebakaran di wilayahnya,” ungkapnya.

Kesulitan penanganan kebakaran di permukiman padat penduduk yakni akses jalan sempit sehingga tidak bisa dimasuki mobil pemadam dan masyarakat kerap memotong selang pemadam untuk dialirkan ke rumahnya masing-masing agar api di rumahnya padam.

Sementara kebakaran di gedung, petugas terkendala peralatan, salah satunya tangga pemadaman (skylift ) yang hanya tersedia satu unit dengan kapasitas di bawah ketinggian 20 lantai.

“Sebenarnya kami setiap bulan mengadakan penyuluhan bahaya kebakaran gedung. Namun, yang hadir itu paling 5- 10 orang, padahal jumlah gedung di Jakarta berjumlah ribuan. Artinya kesadaran pemilik gedung sangat lemah. Kami berharap pemilik gedung berkaca dari peristiwa kebakaran Wisma Kosgoro,” tuturnya.

Pakar tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai, rentannya kebakaran di gedung tinggi disebabkan kelengahan Pemprov DKI Jakarta. Kuat dugaan dinas terkait tidak melakukan audit terhadap bangunan tinggi di Ibu Kota. “Jika audit dilakukan maka hal seperti ini bisa dihindari. Dengan audit rutin bisa diketahui gedung mana saja yang dinyatakan tidak laik,” ungkapnya.

Jika pemerintah serius dan tegas, yang harus dilakukan adalah dengan audit rutin. Setelah itu dirilis gedung mana saja yang dinyatakan tidak laik. Gedung yang tidak laik, namun tetap digunakan bisa mengancam keselamatan pekerja. “Ini harus jadi pembelajaran supaya kejadian serupa tidak terulang. Kalau perlu diberitakan gedung-gedung yang dinyatakan tidak laik,” ucapnya.

Audit yang dimaksud adalah pengecekan sistem penanggulangan kebakaran di dalam gedung. Apakah tiap gedung melakukan pelatihan atau simulasi secara berkala tentang kebakaran dan gempa bumi. Selanjutnya apakah sarana dan prasarana memadai.

Misalnya sistem alarm , sprinkle untuk memadamkan api, pompa hydrant di tiap lantai ada atau tidak, tangga evakuasi, dan apakah ada tempat evakuasi di bawahnya. Kemudian, material atau bahan apa saja yang digunakan dalam gedung. Apakah materialnya mudah terbakar atau tahan terhadap api.

Semua itu, lanjut Nirwono, sudah diatur dalam UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung, Perda No 7/2010 tentang Bangunan Gedung, serta Perda No 8/2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran. “Kalau mengikuti aturan yang ada, sudah jelas tertera dalam tiga aturan itu. Sayangnya, tidak ada evaluasi (audit) yang dilakukan,” kritiknya.

Pemerintah juga harus melakukan peningkatan kualitas dinas terkait. Misalnya dengan menambah peralatan untuk memadamkan api di gedung yang sangat tinggi. Mengingat saat ini gedung di Jakarta sudah berdiri lebih dari 20 lantai. Itu menyulitkan petugas dalam memadamkan api jika hanya mengandalkan mobil tingkat.

“Harusnya sudah menggunakan helikopter untuk memadamkan agar bisa lebih cepat sampai di lokasi. Lihat kondisi lapangan sekarang. Jika menggunakan jalur darat, tentunya kemacetan tidak bisa dihindari. Jadi sudah saatnya menggunakan jalur udara,” ucapnya.

Ridwansyah/ Bima setiyadi/ R ratna purnama
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5922 seconds (0.1#10.140)