Amnesia Barat pada Kontribusi Islam

Minggu, 15 Maret 2015 - 10:22 WIB
Amnesia Barat pada Kontribusi Islam
Amnesia Barat pada Kontribusi Islam
A A A
Pasca-insiden penembakan Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang (7/1/2015), yang mengatrol popularitas majalah satir Prancis itu sekaligus mengenalkan kalimat Je Suis Charlie (Saya Charlie) ke seluruh dunia, banyak pemikir, khususnya di ranah kebudayaan dan sejarah, kembali memperbincangkan relasi Islam-Barat.

Seperti kita tahu, penembakan itu dipicu oleh sikap ngotot majalah itu yang tetap memublikasikan gambar Nabi Muhammad. Kebudayaan Barat yang selalu mengagungkan kebebasan berekspresi atau berpikir seperti dijadikan semangat Charlie Hebdo. Padahal , Paus Fransiskus mengungkapkan, kebebasan menyampaikan ide atau berbicara itu ada batasnya. Ia jugamenegaskan bahwa agama bukanlah subjek yang bisa dijadikan lelucon.

Ia menambahkan, setiap agama memiliki martabatnya masing-masing. (TIME, 15/1/2015). Sikap jajaran redaksi mingguan satir CharlieHebdo yang memublikasikan lagi Nabi sesungguhnya menjadi sikap umum Barat dalam memandang Islam. Mereka tidak mau punya empati, tapi meminta pihak lain memberi empatipadamereka.Apalagi, berbagai kelompok ekstrem kanan Eropa yang antiimigran sekaligus anti-Islam kini kian jumawa pascaserangan ke Charlie Hebdo.

Kelompok ekstrem ini juga gemar menyalahkan apa pun yang buruk di Eropa kepada para imigranmuslim. Bahkan di ranah kebudayaan yang seharusnya menghasilkan sesuatu yang beradab, arogansi itu juga ada, bahkan sebelum terjadinya insiden penembakan Charlie Hebdo. Ada cukup banyak pemikir Barat yang belakangan ini juga diliputi dengan ketakutan pada Islam (Islamofobia), termasuk di kalangan jurnalis.

Salah satu yang menonjol ditorehkan oleh jurnalis sekaliguspemikir Italia, Oriana Fallaci, dalam bukunya La Forza Ragione (Kekuatan Akal Budi, 2004). Lewat buku tersebut, jurnalis kawakan yang bekerja untuk The New York Times, TheWashington Post dan Life ini mencemaskan kian banyaknya imigran muslim di Eropa dan dampak dari kehadiran mereka dari sisi kebudayaan.

Jurnalis yang sudah banyak mewawancarai banyak tokoh dunia seperti Ayatollah Khomeini, Yasser Arafat, Indira Gandhi ini, mengungkapkan perlawanannya terhadap terorisme, fanatisme, dan ekstremisme agama. Dan di mata Oriana, semua itu dibawa para imigran Islam ke Eropa. Jadi singkatnya, di mata Oriana, Islam itu sama saja dengan teror dan inimembahayakan masa depan kebudayaan Barat. Kebetulan buku Oriana diterbitkan hanya 24 jam setelah serangan teror 11 Maret 2004 di Madrid.

Jika digali, akar tiadanya empati Barat pada Islam, sebagaimana ditulis Oriana, sesungguhnya berasal dari amnesia akut mereka akan sejarah masa lalu Eropa. Mereka lupa, di balik Barat yang maju seperti sekarang, suka atau tidak, ada kontribusi dari dunia dan peradaban Islam. Jangan lupa Islam ternyata pernah mengukir sejarah peradaban yang panjang dari tahun 711-1492 di Eropa, tepatnya di Andalusia.

Pertama-tama, kontribusi dari dunia Islam bagi kemajuan peradaban Barat sudah diawali ketika Islammengalami kejayaan di Irak pada abad VIII. Misalnya, pada jaman kekhalifahan Abbasiyah dengan kafilah Al Mahdi (775- 785) dan Harun al-Rasyid (785-809) yang disebut ”GoldenAge” dalam sejarahIslam, para cendekiawan atau tabib banyak dilibatkan dalam proyek yang ada kaitannya dengan Barat.

Kafilah Al Makmun (830),misalnya, pernah menyuruh Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen untuk mengoordinasi proyek penerjemahan risalah-risalah dari bahasa Aram,Pahlavi,danYunani ke dalam bahasaArab. Dari Baghdad, proyek terjemahan itu kemudian menular ke Toledo di Andalusia pada abad XII. Semua khasanah dari dunia Islam diterjemahkan. Banyak buku yang ditulis para filosof Islam seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan banyak lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Andalusia pun jadi tempat memikat dan banyak dikunjungi para pelajar Eropa. Dan setelah menyelesaikan studinya di Toledo, mereka kembali ke kampung halaman. Eropa yang semula ketinggalan jaman, akhirnya bisa lahir kembali di era Renaisans. Kontribusi Islam ini tak bisa diingkari. Jadi, ketika kini Barat lupa pada masa lalunya,menjadi tugas para sejarawan untuk mengingatkan.

Maka, sejarah jelas bisa menjadi sarana membangun dialog dan komunikasi antara Baratdan Islam sehingga jurang perbedaan di antara keduanya tidakkianmenajam. Dan kita berharap, di tengah ketegangan Islam- Barat akibat Charlie Hebdo, kita tidak terus tergoda untuk menggunakan pendekatan konflik, seperti digemari kaum ekstremis.

Cendekiawan muslim Mohammad Arkounmengingatkan, sudah saatnya Islam dan Barat meninggalkan cara pandang antagonistis seperti pada masa lalu. Dalam buku ”Islam, Modernism and The West”, Arkoun berharap agar cara pandang yang hanya mempertentangkan ditinggalkan dan sebaiknya lebih fokus pada kerja sama. Ibn Arabi, sosok yang lahir di Murcia, Andalusia, pada 1165 dan wafat di Damaskus pada 1240, justru sudah punya pendapat positif jauh sebelum Arkoun menyampaikan pemikirannya di atas.

Menurut Ibn Arabi, setiap umat beragama seharusnya hanya mengedepankan sikap dan perilaku yang indah, benar, dan baik. Prof James Morris, seorang ahli tentang Ibn Arabi mengungkapkan, kearifan spiritual yang amat dijunjung tinggi oleh Ibn Arabi dan begitu ditekankan oleh Quran adalah ”ihsan” (Morris 2005:133,166) Kata ihsan yang berasal dari bahasa Arab hasan , yang berarti indah, benar, baik, utama, bagus adalah disposisi dasariah insani agar kita manusia selalu bertindak dan berperilaku demikian dengan kesadaran bahwa Yang Ilahi selalu hadir dan ada.

Bila kita sungguh diresapi oleh kesadaran tersebut, jelas hal-hal yang buruk, seperti sikap tidak berempati Barat pada Islam atau cara teror dan biadab seperti dilakukan para penyerang Charlie Hebdo tak perlu terjadi.

Endang Suryadinata
Penulis dan Peneliti Sejarah
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8233 seconds (0.1#10.140)