Dunia Usaha Bingung Hitung Investasi
A
A
A
JAKARTA - Kalangan dunia usaha meminta pemerintah melakukan tindakan konkret untuk menstabilkan rupiah. Melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS bukan hanya memukul kinerja, tetapi juga membuat pengusaha kebingungan menentukan perhitungan investasi.
Harapan demikian disampaikan Wakil KetuaUmumkamarDagangdanIndustri Indonesia (Kadin) Yugi Prayanto dan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Kreatif dan MICE Budyarto Linggowijono.
Adapun Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah cepat karena gejolak rupiah memperlebar kesenjangan dan mengganggu kegiatan pembangunan. Seperti diketahui, nilai rupiah terhadap dolar AS belakangan ini terpuruk. Jumat (14/3), berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai rupiah mencapai Rp13.191 per dolar AS.
Sekadar catatan, kondisi tersebut pernah terjadi di awal Agustus 1998 di mana rupiah bergerak di kisaran Rp13.000 per dolar AS. ”Kami minta pemerintah bagaimana caranya bisa menstabilkan rupiah terhadap dolar. Untuk jangka menengah pemerintah bisa melakukan swasembada untuk bahan baku yang kita impor seperti gandum. Kalau bahan baku bisa produksi sendiri, pelaku industri pakan tak akan resah ketika dolar naik,” ujar Yugi Prayanto di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan, pelemahan rupiah merugikan pelaku usaha yang bahan baku industrinya berasal dari impor seperti industri pakan yang mencari bahan baku gandum dari luar. Industri lain yang akan turut terpukul adalah properti apartemen yang berbahan finishing sebagian besar dari impor. ”Kalau pelaku usaha lokal yang bahan bakunya dari lokal tidak akan berdampak banyak seperti pecel lele dan usaha kecil lain. Tapi seperti pabrik mi instan atau perusahaan yang bahan bakunya impor akan terpukul,” katanya.
Yugi lantas menyampaikan rasa herannya, dalam kondisi rupiah gonjang ganjing ternyata pemerintah tidak memanggil atau melakukan koordinasi dengan Kadin atau pelaku usaha ekspor impor yang mengetahui situasi di lapangan yang sebenarnya. Budyarto Linggowijono juga menegaskan, pelemahan rupiah berdampak pada investasi, apalagi industri yang mengandalkan bahan baku impor. Nilai rupiah yang terus berubah membuat pengusaha kesulitan membuat perhitungan sehingga investasi bisa meleset.
”Positionong hargasulitkarenaharga pokok pasti bertambah. Pengusaha kan harus hitung ulang investasinya, termasuk produsen lokal yang produknya berbasis impor,” ujarnya kemarin. Untuk mengendalikan rupiah yang terus melemah, kata dia, subsektor nonmigas harus didorong. Pemerintah juga perlu mereviu daya saing agar lebih kompetitif. ”Fasilitisasi pemerintah terhadap pengusaha harus terlihat,” ujarnya.
Adapun HT mengatakan kesenjangan semakin lebar dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS. ”Dulu kita impor barang-barang mewah. Tapi sekarang kita impor bahanbahan pokok. Ketika dolar naik, masyarakat bawah yang paling merasakan dampaknya,” kata HT yang juga Ketua Umum Partai Perindo dalam dialog kebangsaan bersama para jajaran pengurus Himpunan Pengusaha Profesional Kristen Indonesia (Hippki) di DPP Partai Perindo, Jakarta, kemarin. Karena itu HT meminta pemerintah mengambil tindakan cepat untuk segera mengatasi masalah rupiah.
”Pelemahan rupiah menyebabkan kesenjangan semakin melebar sebab biaya untuk memenuhi kebutuhan semakin tinggi. Ambil kebijakan yangcepatdantepat, kembalikan kepercayaan pasar,” kata HT. Dia kemudian menuturkan, saat ini kesenjangan Indonesia pada puncak tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari rasio gini saat ini di atas 0,41. Rasio gini adalah parameter kesenjangan sosial. Semakin tinggi nilai rasio tersebut, semakin Indonesia mengalami ketimpangan.
”Makro kita mengalami pertumbuhan. Tapi lihat bagaimana distribusinya,” ujar HT. Sementara itu, Fadli Zon mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret dan tidak mendiamkan kondisi seperti terjadi saat ini. ”Apalagi ada anggapan bahwa ini ada balance baru, saya pikir itu pola pikir neolib, berbahaya. Pemerintah harus lakukan intervensi dengan kebijakan-kebijakan yang bisa memperkuat rupiah kita,” kata Fadli.
Menurut dia, pemerintah harus berani mengevaluasi sistem open capital account seperti yang ada sekarang sehingga bisa melakukan pengelolaan. ”Dulukan masalah di situ, dulukan kita manage kemudian floating, sekarang floating bebas ya akhirnya begini. Kalau kita begini terus akhirnya berbahaya,” ucapnya.
Pemerintah, lanjutnya, juga harus mempersiapkan regulasi dan kemampuan dalam mengelola proses pembangunan yang ada. DPR telah memberi keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah, terutama pada infrastruktur, pertanian dan beberapa sektor yang berkaitan langsung dengan rakyat. ”Itu harus direalisasi dengan cepat sehingga rakyat tidak merasakan dampaknya,” ucapnya.
Berdampak Positif
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pelemahan rupiah secara otomatis akan memberi dampak positif terhadap ekspor furnitur Indonesia. Namun, meski menguntungkan ekspor, Presiden berharap rupiah tidak mengalami pelemahan terus-menerus.
”Kalau ekspor otomatispastinaik, tapikanperlu waktu penyesuaian,” kata PresidenJokowidiJakarta, kemarin. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga memandang positif pelemahan rupiah. Baginya, pelemahan rupiah merupakan momentum memacu ekspor, terutama furnitur dan handicraft. Menurut dia, Presiden telah melakukan diskusi dengan para pengusaha untuk memanfaatkan momentum ini.
”(Pelemahan rupiah) setiap momentum harus dimanfaatin, ada peluang-peluang dan salah satunya adalah mebel dan handicraft,” kata Rachmat Gobel. AnggotaDewanPertimbangan Presiden(Wantimpres) Suharso Monoarfa juga melihat menguatnya mata uang dolar terhadap rupiah bisa menjadi peluang untuk meningkatkan perekonomian jika Indonesia bisa memanfaatkannya. ”Jumlah masyarakat besar, daya beli tinggi, kenapa tidak dimanfaatkan industri dalam negeri untuk menjawab peluang pasar itu. Indonesia justru lebih banyak mengandalkan impor untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya,” kata dia.
Direktur Indef Enny Srihartati membantah dalil penguatan mata uang dolar terhadap rupiah berdampak banyak terhadap peningkatan keuntungan ekspor. Sebab ekspor Indonesia yang sebagian besar didominasi bahan baku, bukan produk olahan yang selama ini harganya anjlok. Jikapun ada ekspor di bidang industri, bahan baku industri dalam negeri masih bergantung pada negara lain atau impor.
Khoirul muzakki/ sucipto/ant
Harapan demikian disampaikan Wakil KetuaUmumkamarDagangdanIndustri Indonesia (Kadin) Yugi Prayanto dan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Kreatif dan MICE Budyarto Linggowijono.
Adapun Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah cepat karena gejolak rupiah memperlebar kesenjangan dan mengganggu kegiatan pembangunan. Seperti diketahui, nilai rupiah terhadap dolar AS belakangan ini terpuruk. Jumat (14/3), berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai rupiah mencapai Rp13.191 per dolar AS.
Sekadar catatan, kondisi tersebut pernah terjadi di awal Agustus 1998 di mana rupiah bergerak di kisaran Rp13.000 per dolar AS. ”Kami minta pemerintah bagaimana caranya bisa menstabilkan rupiah terhadap dolar. Untuk jangka menengah pemerintah bisa melakukan swasembada untuk bahan baku yang kita impor seperti gandum. Kalau bahan baku bisa produksi sendiri, pelaku industri pakan tak akan resah ketika dolar naik,” ujar Yugi Prayanto di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan, pelemahan rupiah merugikan pelaku usaha yang bahan baku industrinya berasal dari impor seperti industri pakan yang mencari bahan baku gandum dari luar. Industri lain yang akan turut terpukul adalah properti apartemen yang berbahan finishing sebagian besar dari impor. ”Kalau pelaku usaha lokal yang bahan bakunya dari lokal tidak akan berdampak banyak seperti pecel lele dan usaha kecil lain. Tapi seperti pabrik mi instan atau perusahaan yang bahan bakunya impor akan terpukul,” katanya.
Yugi lantas menyampaikan rasa herannya, dalam kondisi rupiah gonjang ganjing ternyata pemerintah tidak memanggil atau melakukan koordinasi dengan Kadin atau pelaku usaha ekspor impor yang mengetahui situasi di lapangan yang sebenarnya. Budyarto Linggowijono juga menegaskan, pelemahan rupiah berdampak pada investasi, apalagi industri yang mengandalkan bahan baku impor. Nilai rupiah yang terus berubah membuat pengusaha kesulitan membuat perhitungan sehingga investasi bisa meleset.
”Positionong hargasulitkarenaharga pokok pasti bertambah. Pengusaha kan harus hitung ulang investasinya, termasuk produsen lokal yang produknya berbasis impor,” ujarnya kemarin. Untuk mengendalikan rupiah yang terus melemah, kata dia, subsektor nonmigas harus didorong. Pemerintah juga perlu mereviu daya saing agar lebih kompetitif. ”Fasilitisasi pemerintah terhadap pengusaha harus terlihat,” ujarnya.
Adapun HT mengatakan kesenjangan semakin lebar dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS. ”Dulu kita impor barang-barang mewah. Tapi sekarang kita impor bahanbahan pokok. Ketika dolar naik, masyarakat bawah yang paling merasakan dampaknya,” kata HT yang juga Ketua Umum Partai Perindo dalam dialog kebangsaan bersama para jajaran pengurus Himpunan Pengusaha Profesional Kristen Indonesia (Hippki) di DPP Partai Perindo, Jakarta, kemarin. Karena itu HT meminta pemerintah mengambil tindakan cepat untuk segera mengatasi masalah rupiah.
”Pelemahan rupiah menyebabkan kesenjangan semakin melebar sebab biaya untuk memenuhi kebutuhan semakin tinggi. Ambil kebijakan yangcepatdantepat, kembalikan kepercayaan pasar,” kata HT. Dia kemudian menuturkan, saat ini kesenjangan Indonesia pada puncak tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari rasio gini saat ini di atas 0,41. Rasio gini adalah parameter kesenjangan sosial. Semakin tinggi nilai rasio tersebut, semakin Indonesia mengalami ketimpangan.
”Makro kita mengalami pertumbuhan. Tapi lihat bagaimana distribusinya,” ujar HT. Sementara itu, Fadli Zon mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret dan tidak mendiamkan kondisi seperti terjadi saat ini. ”Apalagi ada anggapan bahwa ini ada balance baru, saya pikir itu pola pikir neolib, berbahaya. Pemerintah harus lakukan intervensi dengan kebijakan-kebijakan yang bisa memperkuat rupiah kita,” kata Fadli.
Menurut dia, pemerintah harus berani mengevaluasi sistem open capital account seperti yang ada sekarang sehingga bisa melakukan pengelolaan. ”Dulukan masalah di situ, dulukan kita manage kemudian floating, sekarang floating bebas ya akhirnya begini. Kalau kita begini terus akhirnya berbahaya,” ucapnya.
Pemerintah, lanjutnya, juga harus mempersiapkan regulasi dan kemampuan dalam mengelola proses pembangunan yang ada. DPR telah memberi keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah, terutama pada infrastruktur, pertanian dan beberapa sektor yang berkaitan langsung dengan rakyat. ”Itu harus direalisasi dengan cepat sehingga rakyat tidak merasakan dampaknya,” ucapnya.
Berdampak Positif
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pelemahan rupiah secara otomatis akan memberi dampak positif terhadap ekspor furnitur Indonesia. Namun, meski menguntungkan ekspor, Presiden berharap rupiah tidak mengalami pelemahan terus-menerus.
”Kalau ekspor otomatispastinaik, tapikanperlu waktu penyesuaian,” kata PresidenJokowidiJakarta, kemarin. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga memandang positif pelemahan rupiah. Baginya, pelemahan rupiah merupakan momentum memacu ekspor, terutama furnitur dan handicraft. Menurut dia, Presiden telah melakukan diskusi dengan para pengusaha untuk memanfaatkan momentum ini.
”(Pelemahan rupiah) setiap momentum harus dimanfaatin, ada peluang-peluang dan salah satunya adalah mebel dan handicraft,” kata Rachmat Gobel. AnggotaDewanPertimbangan Presiden(Wantimpres) Suharso Monoarfa juga melihat menguatnya mata uang dolar terhadap rupiah bisa menjadi peluang untuk meningkatkan perekonomian jika Indonesia bisa memanfaatkannya. ”Jumlah masyarakat besar, daya beli tinggi, kenapa tidak dimanfaatkan industri dalam negeri untuk menjawab peluang pasar itu. Indonesia justru lebih banyak mengandalkan impor untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya,” kata dia.
Direktur Indef Enny Srihartati membantah dalil penguatan mata uang dolar terhadap rupiah berdampak banyak terhadap peningkatan keuntungan ekspor. Sebab ekspor Indonesia yang sebagian besar didominasi bahan baku, bukan produk olahan yang selama ini harganya anjlok. Jikapun ada ekspor di bidang industri, bahan baku industri dalam negeri masih bergantung pada negara lain atau impor.
Khoirul muzakki/ sucipto/ant
(ars)