Rupiah Jeblok, Industri Terpukul

Jum'at, 13 Maret 2015 - 10:15 WIB
Rupiah Jeblok, Industri...
Rupiah Jeblok, Industri Terpukul
A A A
JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengancam kinerja industri manufaktur, terutama yang berbahan baku impor. Kondisi mereka semakin berat lantaran tidak bisa mengalihkan beban kenaikan biaya produksi ke konsumen.

“Ini yang sebetulnya kita harus hati-hati. Kondisi ini merugikan untuk semuanya. Secara biaya pasti akan pengaruh,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani di Jakarta kemarin. Dia menuturkan, pelemahan kurs rupiah di satu sisi seolah menguntungkan ekspor. Padahal, jika dicermati, data per unit produknya tidak terjadi peningkatan signifikan dalam ekspor.

“Seolah ada peningkatan ekspor, tapi lebih pada nilai absolut dalam mata uang karena adanya pelemahan tersebut. Sementara dari sisi unit produksi enggak banyak berubah,” ujarnya. Menurut Hariyadi, kondisi tersebut sekaligus menandakan bahwa sektor manufaktur di Indonesia tengah melambat, bahkan terjadi pengurangan.

Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Irvan K Hakim mengatakan, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membebani industri baja nasional. Biaya operasional akan melonjak seiring dengan penguatan kurs dolar AS sehingga margin perusahaan tergerus.

“Rupiah terus melemah dan fluktuatif, sementara bahan baku dan energi dalam dolar AS. Padahal komponen energi dan bahan baku sebesar 80% dari total biaya produksi,” katanya. Beban perseroan semakin bertambah seiring dengan kenaikan upah minimum regional. Idealnya, menurutnya, kenaikan harga produksi dibebankan ke konsumen. “Namun kenyataannya tidak demikian karena konsumen mempunyai daya beli yang terbatas,” ungkapnya.

Perusahaan baja nasional juga mengalami persaingan dari baja impor yang diproduksi dari China. Belum lagi penurunan harga baja dunia yang disebabkan kelebihan pasokan atau meningkat 1,1% menjadi 1,637 miliar metrik ton. “Dari asosiasi kami sudah mengusulkan meminta dukungan dari pemerintah seperti kenaikan tarif bea masuk, penerapan bea masuk antidumping, dan penurunan harga gas alam maupun tarif listrik,” paparnya.

Upaya perusahaan baja untuk melakukan lindung nilai (hedging) tidakcukupmenolong. Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. “Kita sudah lama hedging untuk transaksi penjualan sebesar 50%, tapi hedging ini kan ada biayanya dan tidak menutup risiko dari kenaikan dolar AS,” ujarnya.

Nilai tukar rupiah terus melemah belakangan ini, bahkan sudah menembus level Rp13.000 per dolar AS. Kemarin, berdasar data kurs tengah Bank Indonesia, rupiah berada di posisi Rp13.176 per dolar AS, melemah dibandingkan level pada Rabu (11/3) Rp13.164 per dolar AS. Ekonom yang juga Komisaris Independen Bank Mandiri Anton H Gunawan mengatakan, pelemahan rupiah bisa mengarah ke 13.600 per dolar AS, terutama dipicu rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunga dan peningkatan kebutuhan dolar AS.

Kondisi paling rentan terjadi pada Mei- Juni 2015. Kendati demikian, hingga akhir tahun kurs rupiah bisa menguat ke level Rp12.800 per dolar AS. Ini didukung terlaksananya program-program pemerintah. Investor asing akan kembali masuk guna mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. “Hal tersebut ditopang dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi. Karena perbaikan infrastruktur tentunya akan berdampak positif bagi pertumbuhan industri,” katanya.

Tidak hanya industri manufaktur, kinerja perbankan juga terancam pelemahan kurs rupiah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah hingga level Rp15.000 per dolar AS akan menghantam permodalan lima bank nasional. Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis mengatakan, penyataan tersebut didasarkan pada hasil stress test OJK terhadap perbankan di Indonesia. Namun Irwan enggan menyebutkan nama bank-bank tersebut.

“Depresiasi rupiah terhadap dolar AS jika sampai Rp15.000 per dolar AS akan meng-hit (menghantam) permodalan satu hingga lima bank nasional,” ujar Irwan. Dia menuturkan, mengenai hasil stress-test tersebut, OJK sudah memanggil manajemen bank yang kinerjanya berpotensi terganggu oleh pelemahan rupiah. “Kalau rupiahnya Rp14.000 per dolar AS, bankbank di sini masih oke,” kata Irwan.

Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan hingga akhir Januari 2015 tercatat sebesar 21,01%, naik dibandingkan Desember 2014, 19,57%. Menurut Irwan, peningkatan tersebut disebabkan membesarnya jumlah laba ditahan oleh bank. Rasio tersebut juga dinilai masih jauh lebih tinggi dari batas normal, 14%.

Irwan menambahkan, jika depresiasi rupiah menembus Rp15.000 per dolar AS, kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas makro ekonomi. Variabel pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan, mengikuti pelemahan rupiah. Selain itu, pelemahan rupiah juga akan mendorong peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL). “Kami berharap rupiah tidak tertekan lebih jauh lagi,” kata Irwan. Sementara itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpandangan, pelemahan rupiah yang terjadi beberapa waktu terakhir berbeda dengan kondisi tahun 1998.

Menurutnya, depresiasi nilai tukar tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Rusia. “Beda dibandingkan dengan tahun 1998. Tahun 1998 kita itu (rupiah) dari Rp2.000 meloncat ke Rp15.000,” ujarnya. Yang paling penting adalah BI telah menjaga volatilitas rupiah agar tetap baik.

Jokowi meyakini ekonomi Indonesia tidak akan terlalu berpengaruh pelemahan nilai tukar rupiah karena fundamentalnya kuat. Pemerintah juga telah membuat kebijakan untuk menjaga perekonomian. Sampai saat ini pemerintah telah melakukan beberapa langkah, antara lain pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan memberikan ruang fiskal yang baik bagi APBN.

Kemudian ada pembangunan infrastruktur yang paling besar dalam sejarah, yakni sekitar Rp 290 triliun. Kondisi pasar saham dan pasar obligasi juga baik. “Artinya apa? Kekhawatiran itu, kalau dilihat tadi, saya kira akan beda. Kita sudah memiliki fundamental yang cukup baik,” tandasnya.

Untuk jangka pendek, pemerintah akan terus melihat dinamika kurs rupiah dan pergerakan keuangan global. “Kita perlu waspada. Tapi, sekali lagi, kalauBI-nya tenang-tenang, kita juga akan tenang-tenang,” paparnya.

Heru febrianto/inda susanti/rabia edra almira/kunthi fahmar sandy/ arsy ani s/ant
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4652 seconds (0.1#10.140)