Membendung Negeri Agraris Mengimpor
A
A
A
M SYAMSUL ARIFIN
Mahasiswa Matematika,
Fakultas Sains dan Teknologi,
Aktivis HMI,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dewasa ini Indonesia mendapat sebutan dua sekaligus, yakni negeri agraris sekaligus pengimpor. Sebutan negeri agraris-pengimpor tidak bisa ditampik. Sebutan negeri agraris telah lama melekat pada negeri ini, akan tetapi sebutan negeri pengimpor juga melekat pada negeri ini.
Indonesia disebut sebagai negeri agraris adalah fakta yang tidak bisa ditampik. Data dari Bank Dunia setidaknya dapat membuktikannya. Pada tahun 2010, Indonesia memiliki sisa hutan sekitar 94.432.000 ha dan sekitar 31.065.846 ha di antaranya hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kemudian, Indonesia disebut sebagai negeri pengimpor juga adalah fakta yang tidak bisa ditampik.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dapat membuktikan bahwa dalam sektor pangan Indonesia begitu gemar mengimpor. Tercatat impor pangan selama Januari- Juni 2013, untuk impor beras tercatat sebesar 826.000 ton atau USD393 juta, impor kedelai sebesar 826.000 ton atau USD509,5 juta, impor tepung terigu mencapai 82.501 ton atau USD36,9 juta, dan impor garam tercatat 923.000 ton atau senilai USD43,1 juta.
Melihat fakta Indonesia sebagai negeri agraris-pengimpor, sungguh memilukan hati segenap rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, umumnya negeri agraris adalah produsen pangan yang berorientasi ekspor, tetapi ini justru mengimpor. Karena itu, para pemimpin negeri ini tidak boleh berpangku tangan. Indonesia harus dikembalikan menjadi negeri agraris yang tentu dapat membuat rakyat sejahtera.
Berbagai kebijakan harus diambil untuk menghentikan realitas negeri agraris tapi juga pengimpor. Sudah sepantasnya para pemimpin mendorong seluruh rakyat Indonesia terus mendorong seluruh rakyat Indonesia agar menggunakan hasil pertanian lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kebijakan pemimpin seharusnya fokus untuk meningkatkan kualitas petani, memperbaiki infrastruktur pertanian, dan mempermudah skema pembiayaan sektor pertanian. Kemudian juga perlu adanya regulasi keberpihakan terhadap petani yang mendapat dukungan bersama dari sektor industri dan diiringi political will yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif.
Apalagi dalam konteks persoalan impor komoditas pangan, sesungguhnya tidak terletak pada produksi yang berlebih atau surplus. Akan tetapi, lebih kepada kebijakan domestik yang memihak. Misalnya, untuk kasus beras, terlihat bahwa kebijakan perdagangan memang bersifat anomali dan lebih pro impor. Wallahu alam.
Mahasiswa Matematika,
Fakultas Sains dan Teknologi,
Aktivis HMI,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dewasa ini Indonesia mendapat sebutan dua sekaligus, yakni negeri agraris sekaligus pengimpor. Sebutan negeri agraris-pengimpor tidak bisa ditampik. Sebutan negeri agraris telah lama melekat pada negeri ini, akan tetapi sebutan negeri pengimpor juga melekat pada negeri ini.
Indonesia disebut sebagai negeri agraris adalah fakta yang tidak bisa ditampik. Data dari Bank Dunia setidaknya dapat membuktikannya. Pada tahun 2010, Indonesia memiliki sisa hutan sekitar 94.432.000 ha dan sekitar 31.065.846 ha di antaranya hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kemudian, Indonesia disebut sebagai negeri pengimpor juga adalah fakta yang tidak bisa ditampik.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dapat membuktikan bahwa dalam sektor pangan Indonesia begitu gemar mengimpor. Tercatat impor pangan selama Januari- Juni 2013, untuk impor beras tercatat sebesar 826.000 ton atau USD393 juta, impor kedelai sebesar 826.000 ton atau USD509,5 juta, impor tepung terigu mencapai 82.501 ton atau USD36,9 juta, dan impor garam tercatat 923.000 ton atau senilai USD43,1 juta.
Melihat fakta Indonesia sebagai negeri agraris-pengimpor, sungguh memilukan hati segenap rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, umumnya negeri agraris adalah produsen pangan yang berorientasi ekspor, tetapi ini justru mengimpor. Karena itu, para pemimpin negeri ini tidak boleh berpangku tangan. Indonesia harus dikembalikan menjadi negeri agraris yang tentu dapat membuat rakyat sejahtera.
Berbagai kebijakan harus diambil untuk menghentikan realitas negeri agraris tapi juga pengimpor. Sudah sepantasnya para pemimpin mendorong seluruh rakyat Indonesia terus mendorong seluruh rakyat Indonesia agar menggunakan hasil pertanian lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kebijakan pemimpin seharusnya fokus untuk meningkatkan kualitas petani, memperbaiki infrastruktur pertanian, dan mempermudah skema pembiayaan sektor pertanian. Kemudian juga perlu adanya regulasi keberpihakan terhadap petani yang mendapat dukungan bersama dari sektor industri dan diiringi political will yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif.
Apalagi dalam konteks persoalan impor komoditas pangan, sesungguhnya tidak terletak pada produksi yang berlebih atau surplus. Akan tetapi, lebih kepada kebijakan domestik yang memihak. Misalnya, untuk kasus beras, terlihat bahwa kebijakan perdagangan memang bersifat anomali dan lebih pro impor. Wallahu alam.
(bbg)