Nasib Petani Indonesia Dulu, Kini, dan Nanti

Kamis, 12 Maret 2015 - 10:33 WIB
Nasib Petani Indonesia...
Nasib Petani Indonesia Dulu, Kini, dan Nanti
A A A
RAHMASARI NUR FATIMAH
Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab,
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Beras yang setiap hari dikonsumsi masyarakat Indonesia, tidak pernah lepas dari peran petani, sawah, dan juga Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa petani, sawah atau lahan yang luas tak berarti apa-apa.

Tanpa ada campur tangan sang Khalik pun, petani dan sawah juga tidak bisa berbuat banyak. Betapa semua itu saling berkaitan, ibarat koin yang berbeda pada kedua sisinya, namun saling memberi keuntungan dan memberi manfaat.

Sebagai penduduk terbesar yang mengonsumsi beras, pernahkah kita berpikir atau terbesit sedikit pun bagaimana nasib petani Indonesia yang telah susah payah mengolah lahan, menanaminya, mengurus, memberi pupuk, dan sebagainya? Bagaimana pula jadinya jika beras yang kita konsumsi di negeri sendiri ialah beras impor?

Bukankah sikap kita—maupun pemerintah yang terus mengonsumsi beras impor semakin membuat nasib petani semakin kurang beruntung? Mengenai nasib petani, pahlawan yang berjasa, tentunya negeri ini mempunyai sejarah panjang yang bisa dikatakan sangatlah memilukan bahkan menyayat hati.

Menengok ke masa lampau, bangsa Indonesia tahu bahwa dulunya Negeri Kincir Angin pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya, sedangkan Jepang menguasai Ibu Pertiwi selama 3,5 tahun dengan sistem romusha. Ketika itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang menggabungkan sistem ”pajak tanah dan sewa tanah” serta ”penyerahan semua hasil bumi” yang harus dilakukan oleh petani setiap harinya.

Bisa dibayangkan, betapa tersiksanya petani Indonesia kala itu, wajib bekerja tanpa istirahat di tanah sendiri. Nestapa derita pun tidak hanya terjadi sampai di situ. Memasuki era liberal, bersamaan dengan adanya migrasi besar-besaran ke Indonesia. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Petani Indonesia pun semakin tidak jelas kapan bisa sejahtera.

Hidup para petani tambah terjepit oleh kepentingan modal kuat swasta Belanda, eksploitasi pemerintah kolonial Belanda, dan kepentingan ekonomi etnis Tionghoa. Orang bijak pernah mengatakan: ”Life should be understood backward, but it should be lived forward.” Kita harus belajar dari masa lalu guna membangun masa depan yang lebih baik.

Itu artinya, pemerintah Indonesia harus belajar dari masa silam petani yang penuh derita dan segera membangun strategi-strategi untuk menyejahterakan petani dari luka para nenek moyang mereka yang belum pernah mereguk kesejahteraan. Oleh karena itu, apakah pantas jika zaman seperti sekarang yang apa-apa sudah modern dan canggih, banyak sarjana muda berbakat,

tapi kok di bidang pertanian sekaligus petaninya belum bisa maju dan sejahtera, sebaiknya Pemerintah cepat berbenah. Sebab, petani tetap orang yang paling penting di negeri ini, negeri yang terbentang luas alamnya, kaya sumber dayanya. Semoga pemerintahan Pak Jokowi sekarang dan tahun-tahun selanjutnya dapat mengubah nasib petani Indonesia. Petani Ibu Pertiwi harus sejahtera
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0778 seconds (0.1#10.140)