DPD Gandeng ICW Tekan Korupsi
A
A
A
JAKARTA - Indonesia masih menjadi negara dengan indeks korupsi yang tinggi, yakni peringkat 114 dari 176 negara. Karena itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ingin turut berkontribusi menekan tingkat korupsi dengan menggandeng pegiat korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW).
“Memang banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus kita lakukan. ICW seharusnya bikin tim khusus dengan DPD, join resources . Kita bantu supaya modus-modus itu diketahui. Seharusnya (korupsi) tidak terjadi, keterlaluan itu,” tandas Ketua DPD Irman Gusman saat menerima delegasi ICW di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Irman berpendapat, berdasarkan data dari ICW membuktikan bahwa modus korupsi di daerah masih primitif dengan cara proyek fiktif atau mark up anggaran, sehingga mudah untuk diketahui. Sementara di pusat, tren pemberantasan korupsinya menurun dan ini menunjukkan bahwa modus di pusat sudah semakin canggih.
“Kalau kata Muchtar Lubis, korupsi sudah jadi budaya Indonesia, maka bukan pekerjaan yang mudah memang, karena korupsi ini sudah jadi budaya,” ungkap Senator asal Sumatera Barat itu. Menurut Irman, masih tingginya indeks korupsi di Indonesia merupakan alarm keras yang mengingatkan bangsa ini untuk berubah.
Karena itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) harus berusaha keras menegakan hukum sebagaimana yang tertulisdalamprogramNawacita. “Ini alarm bagi kita bersama mengenaikorupsiyangsudahsangat mengkhawatirkan,” tandasnya. Irman menilai, dalam memberantas korupsi diperlukan langkah paralel, yakni penindakan dan pencegahan, serta diperlukan definisi yang jelas mengenai korupsi itu.
Misalnya kerugian negara itu dikatakan korupsi, tapi ada kesalahan administrasi yang menyebabkan kerugian negara sehingga dikatakan korupsi. “Jadi harus jelas apa yang dikategorikan korupsi dan kesalahan administrasi, sehingga benar-benar dipahami betul. Bisa jadi di daerah banyak karena mereka tidak tahu ini korupsi,” paparnya.
Karena itu, lanjut Irman, DPD sebagai salah satu lembaga tinggi negara mencoba memberikan contoh yang baik kepada publik dan turut membantu menekan angka korupsi ini. Dia pun mendorong agar KPK, Polri, dan kejaksaan terus bersinergi dan bukannya saling meniadakan. “Diperlukan komitmen politik, presiden, dan juga sistem. Hukuman juga harus kita tingkatkan, hukuman sosial.
Kesimpulan ini akan jadi catatan kami dan akan kami follow up nanti, supervisi, dan menyampaikan di setiap daerah,” tandasnya. Peneliti Divisi Investigasi ICW Tama S Langkun mengungkapkan, data tren pemberantasan korupsi Indonesia meningkat dari semester I ke semester II 2014, yakni, dari 308 menjadi 321 perkara korupsi dengan jumlah tersangka dari 659 di semester I menjadi 669 di semester II.
Sepanjang 2014, KPK memproses kasus korupsi yang melibatkan aktor yang hampir merata dari menteri hingga kepala daerah. Sementara kejaksaan dan kepolisian rata-rata memproses tersangka seperti pejabat atau pegawai kementerian dan pejabat pemda, kepala daerah, dan rekanan swasta.
“Di 2014, pelaku korupsi terbanyak adalah pejabat atau pegawai pemda dan kementerian. Dan korupsi tersebut banyak terjadi di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota,” ujarnya. Menurut Tama, modus korupsi yang terjadi masih sangat konvensional dan sektor yang paling banyak ditargetkan adalah pengadaan barang/jasa (sektor belanja).
Melihat historis penanganan kasus dugaan korupsi, kerja KPK masih sangat signifikan dan DPD perlu memback up . “DPD perlu mengawal kinerja penegak hukum di daerah dan perlu mendorong penguatan lembaga-lembaga pengawas di internal pemda seperti inspektorat,” ujarnya.
Kiswondari
“Memang banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus kita lakukan. ICW seharusnya bikin tim khusus dengan DPD, join resources . Kita bantu supaya modus-modus itu diketahui. Seharusnya (korupsi) tidak terjadi, keterlaluan itu,” tandas Ketua DPD Irman Gusman saat menerima delegasi ICW di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Irman berpendapat, berdasarkan data dari ICW membuktikan bahwa modus korupsi di daerah masih primitif dengan cara proyek fiktif atau mark up anggaran, sehingga mudah untuk diketahui. Sementara di pusat, tren pemberantasan korupsinya menurun dan ini menunjukkan bahwa modus di pusat sudah semakin canggih.
“Kalau kata Muchtar Lubis, korupsi sudah jadi budaya Indonesia, maka bukan pekerjaan yang mudah memang, karena korupsi ini sudah jadi budaya,” ungkap Senator asal Sumatera Barat itu. Menurut Irman, masih tingginya indeks korupsi di Indonesia merupakan alarm keras yang mengingatkan bangsa ini untuk berubah.
Karena itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) harus berusaha keras menegakan hukum sebagaimana yang tertulisdalamprogramNawacita. “Ini alarm bagi kita bersama mengenaikorupsiyangsudahsangat mengkhawatirkan,” tandasnya. Irman menilai, dalam memberantas korupsi diperlukan langkah paralel, yakni penindakan dan pencegahan, serta diperlukan definisi yang jelas mengenai korupsi itu.
Misalnya kerugian negara itu dikatakan korupsi, tapi ada kesalahan administrasi yang menyebabkan kerugian negara sehingga dikatakan korupsi. “Jadi harus jelas apa yang dikategorikan korupsi dan kesalahan administrasi, sehingga benar-benar dipahami betul. Bisa jadi di daerah banyak karena mereka tidak tahu ini korupsi,” paparnya.
Karena itu, lanjut Irman, DPD sebagai salah satu lembaga tinggi negara mencoba memberikan contoh yang baik kepada publik dan turut membantu menekan angka korupsi ini. Dia pun mendorong agar KPK, Polri, dan kejaksaan terus bersinergi dan bukannya saling meniadakan. “Diperlukan komitmen politik, presiden, dan juga sistem. Hukuman juga harus kita tingkatkan, hukuman sosial.
Kesimpulan ini akan jadi catatan kami dan akan kami follow up nanti, supervisi, dan menyampaikan di setiap daerah,” tandasnya. Peneliti Divisi Investigasi ICW Tama S Langkun mengungkapkan, data tren pemberantasan korupsi Indonesia meningkat dari semester I ke semester II 2014, yakni, dari 308 menjadi 321 perkara korupsi dengan jumlah tersangka dari 659 di semester I menjadi 669 di semester II.
Sepanjang 2014, KPK memproses kasus korupsi yang melibatkan aktor yang hampir merata dari menteri hingga kepala daerah. Sementara kejaksaan dan kepolisian rata-rata memproses tersangka seperti pejabat atau pegawai kementerian dan pejabat pemda, kepala daerah, dan rekanan swasta.
“Di 2014, pelaku korupsi terbanyak adalah pejabat atau pegawai pemda dan kementerian. Dan korupsi tersebut banyak terjadi di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota,” ujarnya. Menurut Tama, modus korupsi yang terjadi masih sangat konvensional dan sektor yang paling banyak ditargetkan adalah pengadaan barang/jasa (sektor belanja).
Melihat historis penanganan kasus dugaan korupsi, kerja KPK masih sangat signifikan dan DPD perlu memback up . “DPD perlu mengawal kinerja penegak hukum di daerah dan perlu mendorong penguatan lembaga-lembaga pengawas di internal pemda seperti inspektorat,” ujarnya.
Kiswondari
(bbg)