Indonesia Bisa Swasembada!
A
A
A
RAHMAT AJI PRASETYO
Mahasiswa Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada
Tidak dimungkiri bahwa Indonesia adalah negeri yang dikenal dengan mega biodiversitas di mana memiliki berbagai macam sumber daya alam. Tanahnya yang subur dan cahaya matahari yang menyinari setiap hari membuat berbagai tanaman mampu tumbuh optimal.
Akan tetapi, ternyata itu semua hanya merupakan ketenaran belaka. Faktanya Indonesia masih mengimpor berbagai macam kebutuhan pangan terutama beras dari negara-negara lain yang kekayaan alamnya justru tidak sebesar di Indonesia. Dilansir CNN Indonesia, Sabtu (9/8/2014) pada semester awal 2014, impor beras terbesar tercatat dari Thailand sebesar 90.763 ton atau USD42,6 juta, disusul India 61.546 ton atau USD22,3 juta, Pakistan 8.950 ton atau USD3,33 juta.
Vietnam berada di peringkat keempat dengan 6.206 ton atau USD3,3 juta, dan Myanmar 8.136 ton atau USD2,7 juta. Selain itu, belum lagi gandum, di mana seratus persen impor dari negara lain. Indonesia tidak hanya dihadapkan pada permasalahan pangan saja, tetapi juga dihadapkan pada permasalahan lingkungan.
Daily Mail (3/10/2014) melansir Indonesia menghasilkan 2,05 miliar ton emisi karbon, menjadikannya negara nomor enam penghasil emisi terbesar. Belum lagi ditambah dengan permasalahan perebutan berbagai kepentingan pada kawasan hutan seperti untuk pertanian dalam memenuhi permintaan pangan, terutama padi sehingga mengharuskan pembukaan lahan hutan secara besar.
Hutan dan pangan adalah dua komponen yang sangat penting bagi kehidupan. Oleh karena itu, kita harus menyinergikan peran keduanya. Salah satu caranya adalah dengan agroforestri. Agroforestri adalah titik temu antara dua komponen tersebut di mana merupakan suatu sistem penanaman terpadu antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan, sehingga konsep dasar yang harus ditanamkan dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah diversifikasi pangan.
Kita tidak harus terpaku pada padi dan gandum, sebab masih banyak tanaman-tanaman lain yang merupakan sumber karbohidrat dan dapat diolah menjadi beras, contohnya singkong, garut, talas, ubi, gembili, ganyong, sukun, dan gadung. Menurut Suhardi, dkk (2002) tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa penanaman dan pemeliharaan komoditas-komoditas tersebut relatif sangat mudah dan memiliki tingkat produksi yang tinggi.
Misalnya, ketela pohon mampu menghasilkan 30-60 ton/ha, garut 40 ton/ha, ganyong 30 ton/ha, dan sukun 30 ton/ha. Hasil tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan produksi beras yang hanya 4-6 ton/ha. Berdasarkan riset tersebut, kemungkinan besar Indonesia bisa mewujudkan kedaulatan pangan bahkan dapat melakukan swasembada. Selain itu, tanamantanaman tersebut juga mampu ditanam di bawah naungan hutan, tidak seperti padi yang mensyaratkan mendapatkan sinar matahari penuh.
Mahasiswa Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada
Tidak dimungkiri bahwa Indonesia adalah negeri yang dikenal dengan mega biodiversitas di mana memiliki berbagai macam sumber daya alam. Tanahnya yang subur dan cahaya matahari yang menyinari setiap hari membuat berbagai tanaman mampu tumbuh optimal.
Akan tetapi, ternyata itu semua hanya merupakan ketenaran belaka. Faktanya Indonesia masih mengimpor berbagai macam kebutuhan pangan terutama beras dari negara-negara lain yang kekayaan alamnya justru tidak sebesar di Indonesia. Dilansir CNN Indonesia, Sabtu (9/8/2014) pada semester awal 2014, impor beras terbesar tercatat dari Thailand sebesar 90.763 ton atau USD42,6 juta, disusul India 61.546 ton atau USD22,3 juta, Pakistan 8.950 ton atau USD3,33 juta.
Vietnam berada di peringkat keempat dengan 6.206 ton atau USD3,3 juta, dan Myanmar 8.136 ton atau USD2,7 juta. Selain itu, belum lagi gandum, di mana seratus persen impor dari negara lain. Indonesia tidak hanya dihadapkan pada permasalahan pangan saja, tetapi juga dihadapkan pada permasalahan lingkungan.
Daily Mail (3/10/2014) melansir Indonesia menghasilkan 2,05 miliar ton emisi karbon, menjadikannya negara nomor enam penghasil emisi terbesar. Belum lagi ditambah dengan permasalahan perebutan berbagai kepentingan pada kawasan hutan seperti untuk pertanian dalam memenuhi permintaan pangan, terutama padi sehingga mengharuskan pembukaan lahan hutan secara besar.
Hutan dan pangan adalah dua komponen yang sangat penting bagi kehidupan. Oleh karena itu, kita harus menyinergikan peran keduanya. Salah satu caranya adalah dengan agroforestri. Agroforestri adalah titik temu antara dua komponen tersebut di mana merupakan suatu sistem penanaman terpadu antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan, sehingga konsep dasar yang harus ditanamkan dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah diversifikasi pangan.
Kita tidak harus terpaku pada padi dan gandum, sebab masih banyak tanaman-tanaman lain yang merupakan sumber karbohidrat dan dapat diolah menjadi beras, contohnya singkong, garut, talas, ubi, gembili, ganyong, sukun, dan gadung. Menurut Suhardi, dkk (2002) tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa penanaman dan pemeliharaan komoditas-komoditas tersebut relatif sangat mudah dan memiliki tingkat produksi yang tinggi.
Misalnya, ketela pohon mampu menghasilkan 30-60 ton/ha, garut 40 ton/ha, ganyong 30 ton/ha, dan sukun 30 ton/ha. Hasil tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan produksi beras yang hanya 4-6 ton/ha. Berdasarkan riset tersebut, kemungkinan besar Indonesia bisa mewujudkan kedaulatan pangan bahkan dapat melakukan swasembada. Selain itu, tanamantanaman tersebut juga mampu ditanam di bawah naungan hutan, tidak seperti padi yang mensyaratkan mendapatkan sinar matahari penuh.
(bbg)