Menanti Kontribusi Akademisi

Senin, 09 Maret 2015 - 09:29 WIB
Menanti Kontribusi Akademisi
Menanti Kontribusi Akademisi
A A A
Membaca buku Masyarakat Desa (2013) karya tim penulis LKM UNJ membuat kita miris akan keadaan petani di Desa Cikopak.

Selain harus menghadapi masalah teknis pertanian yang rumit, mereka juga harus menghadapi kondisi alam yang tidak menentu. Apalagi tanah yang mereka garap bukanlah tanah mereka sendiri. Panen ataupun tidak mereka tetap harus membayar uang sewa.

Pada pemerintahan Orde Baru kita mengenal Rencana Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I yang terfokus pada pertanian. Saat itu sektor pertanian negara kita mengalami masa kejayaan. Namun masa itu harus dikotori dengan adanya praktik KKN. Mau tidak mau Orde Baru tumbang beralih dengan era Reformasi.

Kemudian negara kita beralih fokus pada teknologi dan industri. Negara kita kala itu pun berhasil menciptakan pesawat terbang. Pabrik-pabrik banyak dibangun. Para buruh tani beralih mata pencaharian menjadi buruh pabrik. Karena penghasilan di pabrik lebih menjanjikan. Sayangnya pergantian pemerintahan terjadi begitu cepat. Pembangunan negara industri terbengkalai.

Negara kita bukan lagi negara industri maupun negara agraris. Padahal dengan segala potensi yang ada, Indonesia bisa menjadi negara yang benar-benar mandiri. Kita tengok dari segi agraris. Negara ini punya lahan subur yang cukup luas. Dengan iklim tropis, kita punya keuntungan yakni banyak tanaman yang dapat tumbuh di negara kita.

Didukung dengan adanya sekolah pertanian, mulai dari SMA hingga perguruan tinggi, sudah selayaknya negara kita menjadi negara swasembada pangan. Kenyataannya negara kita masih mengimpor bahan makanan pokok. Akibatnya kita sering dipermainkan oleh pasar. Kita tidak punya ketahanan yang cukup untuk sekadar mengendalikan harga bahan pokok ini di dalam negeri.

Ketika harga bahan pokok naik, kita pun kelabakan. Kita seperti ayam yang mati di lumbung padi. Bukan hanya pemerintah saja yang seharusnya memperbaiki keadaan ini. Partisipasi dari kalangan akademisi sangat dibutuhkan.

Satua Arif dan Adi Sasono (2013) menuturkan, pembangunan membutuhkan modal, ilmu, dan teknologi lebihutamalagi idealisme dan patriotisme sebagi landasannya. Sudah saatnya para akademisi di bidang pertanian turun ke lapangan. Melihat bagaimana mirisnya kondisi para petani kita. Membagi pengetahuan yang telah mereka pelajari semasa menuntut ilmu.

Petani kita menanti teknologi canggih dibidang pertanian. Tidak hanya penemuan sesaat yang lalu dilupakan. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat tani harus bekerja sama untuk menjadikan negara ini kembali menjadi negara swasembada.

Bukan lagi negara yang terus-menerus tergantung pada negara asing. Ke depannya tidak akan ada lagi desa pertanian dengan keadaan miris seperi Desa Cikopak.

Yanu S Harianti
Mahasiswi Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Jakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1246 seconds (0.1#10.140)