Meretas Jalan Menuju Kemakmuran

Minggu, 08 Maret 2015 - 10:05 WIB
Meretas Jalan Menuju...
Meretas Jalan Menuju Kemakmuran
A A A
Lembaga keuangan (bank) -baik swasta maupun pemerintahmemainkan peran sentral dalam proses pembangunan.

Besar dan kecil jumlah modal (uang) yang dikucurkan lembaga itu akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Secara teoretis laju pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh penambahan jumlah investasi.

Jika modal (investasi) yang digelontorkan bank—karena fungsi bank dioptimalkan—semakin besar, pertumbuhan akan tinggi. Ujungnya, pertumbuhan ekonomi akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi, sebanyak 600.000 orang tenaga kerja baru bisa diserap.

Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa lembaga keuangan selaku roda penggerak pembangunan belum dimanfaatkan secara optimal. Survei membuktikan, dalam skala global masyarakat belum memanfaatkan berbagai produk yang ditawarkan lembaga keuangan. Penyebabnya, pertama, faktor rendahnya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan produk lembaga keuangan.

Kedua, masyarakat selalu menghadapi persoalan klasik yaitu agunan yang dirasa sulit dipenuhi. Dalam konteks Indonesia, persoalan yang sama juga mengemuka. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengoptimalkan peran lembaga keuangan. Mengacu pada data yang dirilis BI pada 2011, total populasi penduduk Indonesia sebanyak 237,56 juta orang.

Dari jumlah itu, sekitar 138 juta orang atau 64% merupakan penduduk dewasa. Dari 138 juta penduduk dewasa itu, hanya 58 juta orang atau sekitar 42% sudah memiliki rekening bank. Selebihnya tidak memiliki atau belum menggunakan jasa lembaga keuangan formal. Menariknya, 90% dari seluruh rekening di bank tersebut rata-rata berisi kurang dari Rp100 juta. Buku Financial Inclusion; Membongkar Hegemoni Keuangan karya Nusron Wahid membeberi teori, fakta, dan data seputar persoalan kemiskinan, peran lembaga bank yang tak optimal, dan program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menurut penulis, hegemoni perbankan— dalam bentuk penguasaan aset sebesar 80% di dalam sistem keuangan— telah membuat kalangan miskin berpenghasilan rendah tetap terisolasi dalam kemiskinan. Salah satu prasyarat penting untuk meningkatkan mutu kualitas hidupnya yaitu modal, terkonsentrasi di institusi ini. Inklusi finansial, sebagai sebuah ide, dimaksudkan untuk membongkar hegemoni institusi perbankan dalam struktur perekonomian Indonesia.

Maka itu, ikhtiar atau langkah-langkah optimalisasi pemanfaatan institusi perbankan suatu keniscayaan. Lebih lanjut, penulis menilai, wujud dari gagasan inklusi finansial sudah terlihat pada program KUR yang mulai diterapkan pemerintah pada 2007. Program yang mempermudah para pengusaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK) mendapatkan batuan permodalan dari perbankan tersebut didesain untuk menjawab persoalan klasik tadi yaitu agunan.

Dengan skema 70% agunan ditanggung pemerintah dan 30% oleh peminjam, KUR mendapat sambutan luas di masyarakat. Hasilnya, dalam kurun lima tahun terakhir, KUR telah mendorong sektor UMKMK berkembang pesat. Indikatornya bisa dilihat pada kontribusi UMKMK terhadap PDB, jumlah unit usaha, dan jumlah tenaga kerja pada sektor tersebut. Pada 2008 misalnya kontribusi UNKMK terhadap PDB sebesar 55,67%.

Angka kontribusi itu terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu sebesar 56,53% pada 2009; 57,12% pada 2010; 57,94 pada 2011; dan 59,08 pada 2012. Dengan demikian, rata-rata kontribusi terhadap PDB per tahun sejak 2008-2012 adalah 57,26%. Persentase sebesar itu menyumbangkan 3,35% dari pertumbuhan nasional rata-rata 5,68% per tahun. Dengan hasil yang dicapai KUR selama lima tahun terakhir, penulis menilai, program tersebut perlu dipertahankan dan bahkan lebih dioptimalkan lagi.

Namun, menurutnya, dengan KUR, pemerintah hanya menciptakan satu landasan pacu dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Untuk lebih cepat lagi, dibutuhkan landasan pacu yang lain yaitu apa yang disebut formal property system. “Indonesia belum berhasil membangun apa yang disebut Hernando de Soto sebagai formal property system. Sistem kepemilikan formal potensial bisa membantu kalangan miskin agar bisa terintegrasi dengan pasar modal yang lebih luas dan memanfaatkan itu untuk mencapai kemajuan ekonomi”.

(hal 128-129) Masyarakat, merujuk pada Hernando de Soto, bukan tidak memiliki aset. Namun, aset yang dimiliki masyarakat tidak bisa dijadikan agunan. Aset-aset tersebut masih berupa death capital. Misalnya saja, bukti kepemilikan tanah yang masih berbentuk girik belum berupa sertifikat yang dikeluarkan BPN. Bagi de Soto, setiap aset memiliki additional value atau nilai tambah. Untuk dapat mengekstrak nilai tambah, aset perlu didokumentasi ke dalam catatan legal dan diintegrasi ke dalam sistem kepemilikan formal.

Dengan langkah ini, landasan pacu bagi perkembangan sektor UMKM diperluas. (hal 7) Buku ini mendorong pemerintah agar akses keuangan atau modal bagi rakyat kecil diperhatikan secara serius sehingga usaha kecil menengah semakin maju dan berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Khusus bagi penulis buku ini yaitu Nusron Wahid yang kini menjadi kepala BNP2TKI, kiranya apa yang ditulis dalam bukunya dapat teraplikasikan dalam kebijakan membuka akses modal, khususnya bagi para TKI bermasalah yang dipulangkan untuk bisa mengembangkan menjadi wirausaha dan pengembangan ekonomi kreatif.

Dengan begitu, tanggung jawab pemerintah tidak hanya memulangkan para TKI di luar negeri yang bermasalah, tetapi juga jauh lebih penting pemberdayaan setelah mereka dipulangkan. Semoga.

Rahmat Sahid,
jurnalis KORAN SINDO, penulis buku Pak Taufiq dan Bu Mega -Catatan Ringan, Lucu, dan Unik dari Keluarga Politik
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0928 seconds (0.1#10.140)