Status Honorer dalam UU ASN Digugat
A
A
A
JAKARTA - Aturan yang memuat perbedaan status tenaga honorer dengan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dalam Undang-Undang (UU) 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
Seharusnya kualifikasi tenaga honorer dengan PPPK tidak dibedakan. Pernyataan ini diungkapkan seorang pegawai negeri sipil (PNS), Rochmadi Sutarsono, dalam sidang perdana pengujian UU 5 Tahun 2014 tentang ASN di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin. Beberapa pasal yang diuji materiilkan antara lain Pasal 2 huruf a, Pasal 2 huruf j, Pasal 6, Pasal 61, Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 137 UU ASN. Rochmadi mengatakan, tidak dicantumkan tenaga honorer dalam klasifikasi pegawai ASN menyebabkan ketidakpastian hukum.
Bukan hanya itu, dalam UU ASN pun tidak diterangkan posisi tenaga honorer sehingga tidak ada kejelasan bagi tenaga honorer apakah otomatis diangkat menjadi tenaga PPPK atau tidak. Menurut Rochmadi, dalam UU ASN hanya dikatakan, pelamar PPK berpengalaman kerja nol tahun. ”Sehingga menjadi PPK bukanlah pegawai honorer yang selama ini ada, jadi tidak diartikan tenaga honorer otomatis jadi tenaga PPPK,” ungkap Rochmadi di hadapan majelis sidang MK.
Selain itu, dia juga mempermasalahkan klasifikasi pegawai ASN yang terdiri atas PNS dan pegawai PPPK. Namun, dalam Pasal 66 ayat (2) terkait pengucapan sumpah tidak menyebutkan PPPK. ”Untuk itu, kami meminta MK menyatakan pasal-pasal UU ASN bertentangan dengan konstitusi,” ucapnya. Menanggapi pemohon itu, MK menyatakan alasan yang digunakan Rochmadi terkait pengujian UU ASN tidak terarah dan membingungkan majelis hakim.
Dalam berkas permohonan tidak dijelaskan secara detail kerugian konstitusional yang ditimbulkan atau terlanggar dari berlakunya beberapa norma dalam UU ASN itu. ”Jadi, harus dijelaskan kerugian konstitusionalnya itu apa? Ini (kerugian konstitusional) belum tampak. Kesannya membingungkan dan tidak terarah tentang apa yang anda minta,” kata ketua majelis sidang Aswanto.
Apalagi, ungkap Aswanto, permohonan ini diajukan oleh seorangPNS, namunnormayang dipermasalahkan justru mengenai tenaga honorer. Permohonan yang diajukan justru tidak meyakinkan bahwa sudah terjadi pelanggaran hak konstitusional.
Anggota majelis hakim Maria Farida justru melihat sebenarnya ada beberapa permasalahan yang bisa diujikan melalui pasal-pasal UU ASN. Namun, bila berkas permohonan tidak memenuhi syarat, MK pun tidak memiliki kewenangan untuk melanjutkan perkara.
Nurul adriyana
Seharusnya kualifikasi tenaga honorer dengan PPPK tidak dibedakan. Pernyataan ini diungkapkan seorang pegawai negeri sipil (PNS), Rochmadi Sutarsono, dalam sidang perdana pengujian UU 5 Tahun 2014 tentang ASN di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin. Beberapa pasal yang diuji materiilkan antara lain Pasal 2 huruf a, Pasal 2 huruf j, Pasal 6, Pasal 61, Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 137 UU ASN. Rochmadi mengatakan, tidak dicantumkan tenaga honorer dalam klasifikasi pegawai ASN menyebabkan ketidakpastian hukum.
Bukan hanya itu, dalam UU ASN pun tidak diterangkan posisi tenaga honorer sehingga tidak ada kejelasan bagi tenaga honorer apakah otomatis diangkat menjadi tenaga PPPK atau tidak. Menurut Rochmadi, dalam UU ASN hanya dikatakan, pelamar PPK berpengalaman kerja nol tahun. ”Sehingga menjadi PPK bukanlah pegawai honorer yang selama ini ada, jadi tidak diartikan tenaga honorer otomatis jadi tenaga PPPK,” ungkap Rochmadi di hadapan majelis sidang MK.
Selain itu, dia juga mempermasalahkan klasifikasi pegawai ASN yang terdiri atas PNS dan pegawai PPPK. Namun, dalam Pasal 66 ayat (2) terkait pengucapan sumpah tidak menyebutkan PPPK. ”Untuk itu, kami meminta MK menyatakan pasal-pasal UU ASN bertentangan dengan konstitusi,” ucapnya. Menanggapi pemohon itu, MK menyatakan alasan yang digunakan Rochmadi terkait pengujian UU ASN tidak terarah dan membingungkan majelis hakim.
Dalam berkas permohonan tidak dijelaskan secara detail kerugian konstitusional yang ditimbulkan atau terlanggar dari berlakunya beberapa norma dalam UU ASN itu. ”Jadi, harus dijelaskan kerugian konstitusionalnya itu apa? Ini (kerugian konstitusional) belum tampak. Kesannya membingungkan dan tidak terarah tentang apa yang anda minta,” kata ketua majelis sidang Aswanto.
Apalagi, ungkap Aswanto, permohonan ini diajukan oleh seorangPNS, namunnormayang dipermasalahkan justru mengenai tenaga honorer. Permohonan yang diajukan justru tidak meyakinkan bahwa sudah terjadi pelanggaran hak konstitusional.
Anggota majelis hakim Maria Farida justru melihat sebenarnya ada beberapa permasalahan yang bisa diujikan melalui pasal-pasal UU ASN. Namun, bila berkas permohonan tidak memenuhi syarat, MK pun tidak memiliki kewenangan untuk melanjutkan perkara.
Nurul adriyana
(ars)