Penambahan Dosen Belum Diperhatikan
A
A
A
Tidak seimbangnya jumlah dosen dengan penambahan mahasiswa menjadi fakta yang menyedihkan. Rendahnya minat generasi muda menjadi dosen pun tidak menjadi dering pengingat bagi pemerintah untuk membuat kebijakan baru agar jumlah dosen bertambah.
Sekretaris Umum Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Suyatno mengatakan, generasi muda saat ini jarang ada yang mau menjadi dosen saat tawaran gaji menggiurkan datang dari perusahaan swasta. Sejalan dengan itu, semakin banyak pula headhunter yang datang ke kampus untuk merekrut para mahasiswa terbaik untuk bekerja di perusahaan mereka dengan gaji fantastis.
“Bibit-bibit dosen itu semakin berkurang karena generasi muda lebih realistis dalam mencari pekerjaan yang bergaji besar dan bergengsi. Berbeda dengan zaman dulu ketika cita-cita menjadi dosen masih sangat mulia di mata masyarakat,” katanya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu menambahkan, saat ini Indonesia krisis tenaga dosen di bidang-bidang langka. Misalnya saja di eksakta seperti di bidang Fisika, Kimia, dan Biologi sangat jarang dosen bergelar S-2. Padahal, mahasiswa S-1 wajib diajar oleh dosen bergelar S-2.
Dia menuturkan, selain semakin sedikit mahasiswa yang kuliah di bidang eksakta tersebut, kondisi ini diperparah dengan mayoritas lulusan eksakta yang bekerja di industri. Suyatno mengatakan, semakin banyak mahasiswa yang ingin menjadi guru melalui Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) seiring dengan besarnya gaji guru hingga berjuta-juta karena adanya berbagai tunjangan.
Namun karena jurusan S-2 PGSD hanya ada di perguruan tinggi negeri (PTN), dosen untuk PGSD juga langka. Di bidang studi teknik, ujarnya, dosen teknik informatika sangat laku keras. Namun, untuk dosen sistem informatika sangat jarang SDM-nya. Begitu pula dengan dosen studi farmasi yang tidak mampu mengimbangi tingginya minat calon mahasiswa untuk kuliah dibidang tersebut.
Suyatno mengatakan, supervisi pemerintah sangat longgar pada perguruan tinggi yang ingin membuka program studi (prodi) baru. Ketika mengajukan izin pembukaan prodi baru, memang pihak kampus melampirkan berapa jumlah dosen yang dimiliki untuk menyeimbangkan prodi baru itu. Namun, tidak ada intervensi dari pemerintah ketika prodi tersebut berkembang dan jumlah mahasiswanya bertambah.
Suyatno juga menyesalkan pemerintah yang menarik kembali kebijakan dosen PTN yang diperbantukan ke kampus swasta (Dpk). Padahal, tidak dapat dimungkiri jumlah mahasiswa di kampus swasta lebih banyak daripada dosennya. Suyatno memberi solusi yakni dengan berupaya menjaring calon dosen dari tahap awal perkuliahan.
Pasalnya, tidak banyak mahasiswa berprestasi yang mau menjadi dosen dan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih simpel, tetapi bergaji tinggi. Dia juga meminta pemerintah mempermudah birokrasi menjadi dosen, sebab generasi muda pun mundur menjadi dosen karena rumitnya persyaratan saat menjadi CPNS atau dosen tetap di kampus negeri.
Sosialisasi menjadi dosen yang mudah dengan tawaran gaji yang menggiurkan, menurut dia, akan mempermudah pengaderan dosen di tahap awal. Pemerintah juga perlu memperbanyak program pascasarjana yang sedikit jumlahnya di Indonesia. Karena itu, tambahnya, peningkatan pendidikan dosen menjadi S-2 dan S-3 harus menjadi program pemerintah selanjutnya.
Berikan beasiswa tidak hanya di kampus negeri, tetapi juga swasta. “Kita menghadapi masalah antara kebutuhan meningkatkan kualitas dosen dan keterbatasan kemampuan, kesempatan, serta fasilitas untuk itu. Sebab, tidak mungkin mahasiswa yang merupakan calon sarjana diajar oleh dosen dengan gelar strata 1 saja,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Penelitian Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat ADI Firdaus Ali mengatakan saat ini rasio dosen dengan mahasiswa tidak seimbang, khususnya di daerah. Pengelola kampus asal merekrut dosen tanpa ada tes dan uji kelayakan. Mereka mengejar jumlah dosen karena minat lulusan sekolah menengah yang melanjutkan ke pendidikan tinggi semakin banyak.
“Kampus mencari dosen dari mulut ke mulut. Kalau ada yang tertarik ya diangkat jadi dosen, meski kualitas akademik mereka rendah,” katanya. Firdaus mengungkapkan, perekrutan yang tidak sesuai dengan kualifikasi akademik dosen dengan mata pelajaran yang diampu juga menyebabkan banyak dosen tidak kompeten mengajar.
Hal ini pula yang menyebabkan banyak dosen melakukan plagiasi. Firdaus menuturkan, semestinya pemerintah, khususnya Kemenristek- Dikti, tidak hanya mengawasi perekrutan dosen di perguruan tinggi negeri, namun juga swasta. Apalagi, banyak kampus yang memalsukan data dosen dan mahasiswa untuk mendapatkan akreditasi.
Sayang, sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah sangat lemah, baik pada perekrutan dosen maupun pengajuan hasil karya. Firdaus menuturkan, pemerintah memang menghadapi masalah dilematis jika ingin menerapkan sanksi pemecatan bagi dosen yang nakal.
Di satu sisi, anggaran negara akan tergerus karena pemerintah harus membayar pesangon dosen yang bekerja di kampus negeri. Sementara di sisi lain, pemerintah juga belum mampu menambah jumlah dosen. “Sementara itu, budaya mencontek sudah menjadi bagian dari kehidupan di negara ini. Ini hanya puncak gunung es atas bobroknya sistem pendidikan di Indonesia,” terangnya.
Perlu Pemetaan
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid menilai, krisis dosen yang terjadi di Indonesia memang disebabkan pemetaan yang tidak dibuat dengan benar oleh pemerintah. Semestinya harus ada pemetaan secara berkala untuk melihat posisi dosen, sehingga sebelum ada dosen yang pensiun ada pula rencana pengisian dosen baru.
Edy mengingatkan, pola menunggu dosen yang pensiun baru ada rekrutmen harus dihilangkan, sebab akan ada kekosongan dalam jenjang jabatan akademik. Mantan rektor Universitas Islam Indonesia ini mengatakan, pengaderan dosen memang perlu dilakukan sejak awal.
Rekrutmennya juga harus dilakukan secara rutin, sebab jika ada dosen yang pensiun dengan gelar profesor maka dosen penggantinya juga harus bergelar yang sama. “Jadi, jauh sebelum ada yang pensiun, level di bawahnya sudah disiapkan untuk mengisi jumlah dan jenjang kepangkatan yang kurang lebih sama. Jadi, tidak terjadi krisis dosen dengan jenjang pangkat akademik tertentu,” ungkapnya.
Direktur Institute for Education Reform Mohammad Abduhzen menjelaskan, pemerintah harus membuat skema pembiayaan bagi mahasiswa yang ingin menjadi dosen namun terkendala ketiadaan biaya.
Caranya dengan memperbanyak beasiswa, baik di kampus negeri maupun swasta. Jika pemerintah merasa anggaran untuk pengembangan SDM ini kurang, gandeng pihak swasta untuk mengucurkan dana CSR-nya bagi beasiswa calon dosen. “Ketiadaan biaya sering menjadi alasan dosen untuk tidak melanjutkan pendidikan,” ujarnya.
Ketua Litbang PGRI ini juga mengingatkan pemerintah untuk memperbanyak dosen dengan kualifikasi akademik serta latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya. Penghasilanyanglayakdanwajarpunpatutdiperhatikan agar para dosen ini mempunyai tanggung jawab lebih untuk mengajar mahasiswanya.
Pasalnya, jika dosen tidak sejahtera maka tidak akan ada motivasi untuk mengembangkan pengajaran di saat ilmu pengetahuan berkembang cepat dari segi metode dan inovasi.
Neneng zubaidah
Sekretaris Umum Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Suyatno mengatakan, generasi muda saat ini jarang ada yang mau menjadi dosen saat tawaran gaji menggiurkan datang dari perusahaan swasta. Sejalan dengan itu, semakin banyak pula headhunter yang datang ke kampus untuk merekrut para mahasiswa terbaik untuk bekerja di perusahaan mereka dengan gaji fantastis.
“Bibit-bibit dosen itu semakin berkurang karena generasi muda lebih realistis dalam mencari pekerjaan yang bergaji besar dan bergengsi. Berbeda dengan zaman dulu ketika cita-cita menjadi dosen masih sangat mulia di mata masyarakat,” katanya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu menambahkan, saat ini Indonesia krisis tenaga dosen di bidang-bidang langka. Misalnya saja di eksakta seperti di bidang Fisika, Kimia, dan Biologi sangat jarang dosen bergelar S-2. Padahal, mahasiswa S-1 wajib diajar oleh dosen bergelar S-2.
Dia menuturkan, selain semakin sedikit mahasiswa yang kuliah di bidang eksakta tersebut, kondisi ini diperparah dengan mayoritas lulusan eksakta yang bekerja di industri. Suyatno mengatakan, semakin banyak mahasiswa yang ingin menjadi guru melalui Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) seiring dengan besarnya gaji guru hingga berjuta-juta karena adanya berbagai tunjangan.
Namun karena jurusan S-2 PGSD hanya ada di perguruan tinggi negeri (PTN), dosen untuk PGSD juga langka. Di bidang studi teknik, ujarnya, dosen teknik informatika sangat laku keras. Namun, untuk dosen sistem informatika sangat jarang SDM-nya. Begitu pula dengan dosen studi farmasi yang tidak mampu mengimbangi tingginya minat calon mahasiswa untuk kuliah dibidang tersebut.
Suyatno mengatakan, supervisi pemerintah sangat longgar pada perguruan tinggi yang ingin membuka program studi (prodi) baru. Ketika mengajukan izin pembukaan prodi baru, memang pihak kampus melampirkan berapa jumlah dosen yang dimiliki untuk menyeimbangkan prodi baru itu. Namun, tidak ada intervensi dari pemerintah ketika prodi tersebut berkembang dan jumlah mahasiswanya bertambah.
Suyatno juga menyesalkan pemerintah yang menarik kembali kebijakan dosen PTN yang diperbantukan ke kampus swasta (Dpk). Padahal, tidak dapat dimungkiri jumlah mahasiswa di kampus swasta lebih banyak daripada dosennya. Suyatno memberi solusi yakni dengan berupaya menjaring calon dosen dari tahap awal perkuliahan.
Pasalnya, tidak banyak mahasiswa berprestasi yang mau menjadi dosen dan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih simpel, tetapi bergaji tinggi. Dia juga meminta pemerintah mempermudah birokrasi menjadi dosen, sebab generasi muda pun mundur menjadi dosen karena rumitnya persyaratan saat menjadi CPNS atau dosen tetap di kampus negeri.
Sosialisasi menjadi dosen yang mudah dengan tawaran gaji yang menggiurkan, menurut dia, akan mempermudah pengaderan dosen di tahap awal. Pemerintah juga perlu memperbanyak program pascasarjana yang sedikit jumlahnya di Indonesia. Karena itu, tambahnya, peningkatan pendidikan dosen menjadi S-2 dan S-3 harus menjadi program pemerintah selanjutnya.
Berikan beasiswa tidak hanya di kampus negeri, tetapi juga swasta. “Kita menghadapi masalah antara kebutuhan meningkatkan kualitas dosen dan keterbatasan kemampuan, kesempatan, serta fasilitas untuk itu. Sebab, tidak mungkin mahasiswa yang merupakan calon sarjana diajar oleh dosen dengan gelar strata 1 saja,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Penelitian Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat ADI Firdaus Ali mengatakan saat ini rasio dosen dengan mahasiswa tidak seimbang, khususnya di daerah. Pengelola kampus asal merekrut dosen tanpa ada tes dan uji kelayakan. Mereka mengejar jumlah dosen karena minat lulusan sekolah menengah yang melanjutkan ke pendidikan tinggi semakin banyak.
“Kampus mencari dosen dari mulut ke mulut. Kalau ada yang tertarik ya diangkat jadi dosen, meski kualitas akademik mereka rendah,” katanya. Firdaus mengungkapkan, perekrutan yang tidak sesuai dengan kualifikasi akademik dosen dengan mata pelajaran yang diampu juga menyebabkan banyak dosen tidak kompeten mengajar.
Hal ini pula yang menyebabkan banyak dosen melakukan plagiasi. Firdaus menuturkan, semestinya pemerintah, khususnya Kemenristek- Dikti, tidak hanya mengawasi perekrutan dosen di perguruan tinggi negeri, namun juga swasta. Apalagi, banyak kampus yang memalsukan data dosen dan mahasiswa untuk mendapatkan akreditasi.
Sayang, sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah sangat lemah, baik pada perekrutan dosen maupun pengajuan hasil karya. Firdaus menuturkan, pemerintah memang menghadapi masalah dilematis jika ingin menerapkan sanksi pemecatan bagi dosen yang nakal.
Di satu sisi, anggaran negara akan tergerus karena pemerintah harus membayar pesangon dosen yang bekerja di kampus negeri. Sementara di sisi lain, pemerintah juga belum mampu menambah jumlah dosen. “Sementara itu, budaya mencontek sudah menjadi bagian dari kehidupan di negara ini. Ini hanya puncak gunung es atas bobroknya sistem pendidikan di Indonesia,” terangnya.
Perlu Pemetaan
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid menilai, krisis dosen yang terjadi di Indonesia memang disebabkan pemetaan yang tidak dibuat dengan benar oleh pemerintah. Semestinya harus ada pemetaan secara berkala untuk melihat posisi dosen, sehingga sebelum ada dosen yang pensiun ada pula rencana pengisian dosen baru.
Edy mengingatkan, pola menunggu dosen yang pensiun baru ada rekrutmen harus dihilangkan, sebab akan ada kekosongan dalam jenjang jabatan akademik. Mantan rektor Universitas Islam Indonesia ini mengatakan, pengaderan dosen memang perlu dilakukan sejak awal.
Rekrutmennya juga harus dilakukan secara rutin, sebab jika ada dosen yang pensiun dengan gelar profesor maka dosen penggantinya juga harus bergelar yang sama. “Jadi, jauh sebelum ada yang pensiun, level di bawahnya sudah disiapkan untuk mengisi jumlah dan jenjang kepangkatan yang kurang lebih sama. Jadi, tidak terjadi krisis dosen dengan jenjang pangkat akademik tertentu,” ungkapnya.
Direktur Institute for Education Reform Mohammad Abduhzen menjelaskan, pemerintah harus membuat skema pembiayaan bagi mahasiswa yang ingin menjadi dosen namun terkendala ketiadaan biaya.
Caranya dengan memperbanyak beasiswa, baik di kampus negeri maupun swasta. Jika pemerintah merasa anggaran untuk pengembangan SDM ini kurang, gandeng pihak swasta untuk mengucurkan dana CSR-nya bagi beasiswa calon dosen. “Ketiadaan biaya sering menjadi alasan dosen untuk tidak melanjutkan pendidikan,” ujarnya.
Ketua Litbang PGRI ini juga mengingatkan pemerintah untuk memperbanyak dosen dengan kualifikasi akademik serta latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya. Penghasilanyanglayakdanwajarpunpatutdiperhatikan agar para dosen ini mempunyai tanggung jawab lebih untuk mengajar mahasiswanya.
Pasalnya, jika dosen tidak sejahtera maka tidak akan ada motivasi untuk mengembangkan pengajaran di saat ilmu pengetahuan berkembang cepat dari segi metode dan inovasi.
Neneng zubaidah
(ftr)