Berawal dari Kopi dan Piringan Hitam
A
A
A
Melejitnya popularitas Pasar Santa sejak pertengahan 2014 lalu tak lepas dari ABCD School of Coffee.
Tempat ini bisa dikatakan sebagai kios pertama yang hadir di lantai satu Pasar Santa dengan konsep anak muda. Menurut Ve Handojo, sang pemilik, dia membuka kios kopi untuk umum didasari rasa prihatin mencermati kondisi lantai satu Pasar Santa yang sepi dan terbengkalai. Kebetulan, saat itu Ve dan sejumlah temannya sesama barista membutuhkan ruang yang lebih luas sebagai tempat berlatih bersama dan berbagi ilmu meracik kopi.
”Ada tiga kios yang bisa digabung menjadi satu. Harga sewanya terjangkau dan lokasinya sangat strategis. Akhirnya tempat itu menjadi ‘A Bunch of Caffeine Dealers’. ABCD,” kisah pria kelahiran 11 April 1975 ini. Dengan kepanjangan tersebut, kata Ve, nama ABCD School of Coffee tidak bisa disingkat menjadi ”ABCD Coffee” atau ”Kopi ABCD”. Menurut dia, ABCD School of Coffee bukan kafe, bukan warung kopi, bukan kedai kopi, bukan tempat nongkrong.
”Kami tidak punya kopi yang kami produksi sendiri. Kami tidak jualan apa-apa,” katanya. Ve menekankan, mereka yang datang ke ABCD School of Coffee adalah para penikmat specialty coffee yang bisa meracik atau ingin belajar meracik kopi serta memberi apresiasi yang tinggi terhadap specialty coffee. Kopinya adalah jenis kopi arabika dari berbagai belahan dunia, berbagai roastersdengan kualitas specialty grade.
Ve juga mengatakan, awalnya dia tidak memiliki niat atau bahkan rencana untuk mengajak komunitas-komunitas lain bergabung di Pasar Santa. Semua terjadi begitu saja. ”Teman-teman yang datang ke acara #ngopidipasar yang kami gelar tergerak untuk membuka berbagai usaha kreatif di sini. Mereka prihatin melihat kios-kios yang tujuh tahun dibiarkan terbengkalai begitu saja oleh developer,” terangnya.
Menurut Ve, ide untuk membuka berbagai bisnis sub-sektor ekonomi kreatif datang murni dari teman-temannya, bukan dari dia, bukan juga dari pengembang atau dari pihak pengelola pasar. Kepala Pasar Santa kemudian memberi fasilitasi. Pengembang pun menyewakan kios-kios tersebut kepada mereka. Pionir lainnya di lantai satu adalah Aria Anggadwipa.
Dia membuka ”Sub Store” singkatan dari Small-Unique- Bookstore yang menjual piringan hitam, buku, majalah, CD, t-shirt, dan segala pernak-pernik terkait musik baik baru maupun second. Dengan tarif sewa yang murah yakni Rp3 juta, Aria pun tidak ragu membuka kios di sana. Berbagai koleksi vinyl di sini didatangkan langsung dari Tokyo dengan kualitas terjaga dan harga terjangkau.
”Pasar Santa bisa keren dengan kekuatan daya kreativitas,” tegas Aria. Terbukti, kiosnya tidak pernah sepi pelanggan mulai pengusaha, anak sekolah, seniman, artis, musisi, penulis, hingga fotografer. Sekarang, sekitar 350 kios di lantai satu sudah terisi semua. Kios lain di lantai satu adalah ”Ketan Pasar”.
Menurut Diaskar Sekarwidhi, pemilik ”Ketan Pasar”, dia menawarkan aneka varian menu ketan seperti ketan nangka, ketan serundeng manis, hingga ketan kelapa susu wijen dengan cara penyajian yang unik. Harganya mulai Rp8.000 hingga Rp12.000 seporsi.
”Dalam sehari, bisa laku 100-150 porsi,” sebut editor sebuah majalah ini. Rahmi, salah satu pengunjung lantai satu Pasar Santa, mengaku datang karena penasaran mendengar cerita teman-temannya. ”Cerita mereka asikasik banget. Ternyata benar. Kulinernya variatif dan enak-enak,” tuturnya.
Bukan Sekadar Berniaga
Selain menjadi ajang jual beli, pasar tradisional juga menjadi wadah bersosialisasi serta berinteraksi antarpedagang bahkan antarpembeli. Tak hanya antara pedagang dan pembeli. Adanya proses tawar menawar menambah kedekatan. Tak jarang sesama pedagang dan sesame pembeli memiliki minat mendalam yang sama akan suatu hal.
Keguyuban antarpedagang tak hanya terjadi di lantai satu yang pedagangnya didominasi anak-anak muda. Interaksi antara pedagang baru dengan pedagang lama di basement dan lantai dasar pun cukup akrab. Mereka menggelar kegiatan bersama untuk menjalin rasa kekeluargaan. Forum akhirnya menjelma menjadi sebuah asosiasi yang mewadahi semua pedagang pasar di semua lantai. Rasa solidaritas pun tumbuh secara alamiah.
”Pernah ada perusahaan yang ingin menyumbang kipas angin khusus untuk lantai satu. Tapi kami meminta semua lantai dipasangi. Akhirnya mereka mundur,” ungkap Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Santa, Dian Estey. Diaskar Sekarwidhi, pemilik kios ”Ketan Pasar”, menambahkan, kegiatan rutin yang menunjukkan keakraban dan saling dukung antarsesama pedagang Pasar Santa misalnya dalam proses produksi makanan olahan sehari-hari.
”Bahan-bahan mentah, bumbu dapur, dan perlengkapan masak dibeli dari basement. Setidaknya 30% bahan dan perlengkapan kios-kios kuliner di lantai satu dibeli dari para pedagang di lantai bawah,” ujarnya. Wijaya, pedagang sayur di basement Pasar Santa mengaku senang dengan pembelanjaan rutin dari lantai satu meski tidak begitu signifikan. ”Meski tidak banyak tapi ada peningkatan,” kata pria yang sudah berjualan sekitar 20 tahun di Pasar Santa ini.
Menurut dia, Pasar Santa sebelum direvitalisasi jauh lebih ramai. Namun, dia meyakini kehadiran anak-anak muda dengan berbagai usaha kreatifnya di lantai satu akan membawa Pasar Santa kembali menjadi tempat belanja yang populer di Jakarta seperti dulu.
Dasun, pemilik kios plastik di basement, juga merasa terbantu dengan dibukanya kios-kios baru di lantai satu. ”Omzet ya naik tapi memang tidak banyak. Kios di atas belinya kan sedikit-sedikit,” ujarnya.
Robi ardianto
Tempat ini bisa dikatakan sebagai kios pertama yang hadir di lantai satu Pasar Santa dengan konsep anak muda. Menurut Ve Handojo, sang pemilik, dia membuka kios kopi untuk umum didasari rasa prihatin mencermati kondisi lantai satu Pasar Santa yang sepi dan terbengkalai. Kebetulan, saat itu Ve dan sejumlah temannya sesama barista membutuhkan ruang yang lebih luas sebagai tempat berlatih bersama dan berbagi ilmu meracik kopi.
”Ada tiga kios yang bisa digabung menjadi satu. Harga sewanya terjangkau dan lokasinya sangat strategis. Akhirnya tempat itu menjadi ‘A Bunch of Caffeine Dealers’. ABCD,” kisah pria kelahiran 11 April 1975 ini. Dengan kepanjangan tersebut, kata Ve, nama ABCD School of Coffee tidak bisa disingkat menjadi ”ABCD Coffee” atau ”Kopi ABCD”. Menurut dia, ABCD School of Coffee bukan kafe, bukan warung kopi, bukan kedai kopi, bukan tempat nongkrong.
”Kami tidak punya kopi yang kami produksi sendiri. Kami tidak jualan apa-apa,” katanya. Ve menekankan, mereka yang datang ke ABCD School of Coffee adalah para penikmat specialty coffee yang bisa meracik atau ingin belajar meracik kopi serta memberi apresiasi yang tinggi terhadap specialty coffee. Kopinya adalah jenis kopi arabika dari berbagai belahan dunia, berbagai roastersdengan kualitas specialty grade.
Ve juga mengatakan, awalnya dia tidak memiliki niat atau bahkan rencana untuk mengajak komunitas-komunitas lain bergabung di Pasar Santa. Semua terjadi begitu saja. ”Teman-teman yang datang ke acara #ngopidipasar yang kami gelar tergerak untuk membuka berbagai usaha kreatif di sini. Mereka prihatin melihat kios-kios yang tujuh tahun dibiarkan terbengkalai begitu saja oleh developer,” terangnya.
Menurut Ve, ide untuk membuka berbagai bisnis sub-sektor ekonomi kreatif datang murni dari teman-temannya, bukan dari dia, bukan juga dari pengembang atau dari pihak pengelola pasar. Kepala Pasar Santa kemudian memberi fasilitasi. Pengembang pun menyewakan kios-kios tersebut kepada mereka. Pionir lainnya di lantai satu adalah Aria Anggadwipa.
Dia membuka ”Sub Store” singkatan dari Small-Unique- Bookstore yang menjual piringan hitam, buku, majalah, CD, t-shirt, dan segala pernak-pernik terkait musik baik baru maupun second. Dengan tarif sewa yang murah yakni Rp3 juta, Aria pun tidak ragu membuka kios di sana. Berbagai koleksi vinyl di sini didatangkan langsung dari Tokyo dengan kualitas terjaga dan harga terjangkau.
”Pasar Santa bisa keren dengan kekuatan daya kreativitas,” tegas Aria. Terbukti, kiosnya tidak pernah sepi pelanggan mulai pengusaha, anak sekolah, seniman, artis, musisi, penulis, hingga fotografer. Sekarang, sekitar 350 kios di lantai satu sudah terisi semua. Kios lain di lantai satu adalah ”Ketan Pasar”.
Menurut Diaskar Sekarwidhi, pemilik ”Ketan Pasar”, dia menawarkan aneka varian menu ketan seperti ketan nangka, ketan serundeng manis, hingga ketan kelapa susu wijen dengan cara penyajian yang unik. Harganya mulai Rp8.000 hingga Rp12.000 seporsi.
”Dalam sehari, bisa laku 100-150 porsi,” sebut editor sebuah majalah ini. Rahmi, salah satu pengunjung lantai satu Pasar Santa, mengaku datang karena penasaran mendengar cerita teman-temannya. ”Cerita mereka asikasik banget. Ternyata benar. Kulinernya variatif dan enak-enak,” tuturnya.
Bukan Sekadar Berniaga
Selain menjadi ajang jual beli, pasar tradisional juga menjadi wadah bersosialisasi serta berinteraksi antarpedagang bahkan antarpembeli. Tak hanya antara pedagang dan pembeli. Adanya proses tawar menawar menambah kedekatan. Tak jarang sesama pedagang dan sesame pembeli memiliki minat mendalam yang sama akan suatu hal.
Keguyuban antarpedagang tak hanya terjadi di lantai satu yang pedagangnya didominasi anak-anak muda. Interaksi antara pedagang baru dengan pedagang lama di basement dan lantai dasar pun cukup akrab. Mereka menggelar kegiatan bersama untuk menjalin rasa kekeluargaan. Forum akhirnya menjelma menjadi sebuah asosiasi yang mewadahi semua pedagang pasar di semua lantai. Rasa solidaritas pun tumbuh secara alamiah.
”Pernah ada perusahaan yang ingin menyumbang kipas angin khusus untuk lantai satu. Tapi kami meminta semua lantai dipasangi. Akhirnya mereka mundur,” ungkap Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Santa, Dian Estey. Diaskar Sekarwidhi, pemilik kios ”Ketan Pasar”, menambahkan, kegiatan rutin yang menunjukkan keakraban dan saling dukung antarsesama pedagang Pasar Santa misalnya dalam proses produksi makanan olahan sehari-hari.
”Bahan-bahan mentah, bumbu dapur, dan perlengkapan masak dibeli dari basement. Setidaknya 30% bahan dan perlengkapan kios-kios kuliner di lantai satu dibeli dari para pedagang di lantai bawah,” ujarnya. Wijaya, pedagang sayur di basement Pasar Santa mengaku senang dengan pembelanjaan rutin dari lantai satu meski tidak begitu signifikan. ”Meski tidak banyak tapi ada peningkatan,” kata pria yang sudah berjualan sekitar 20 tahun di Pasar Santa ini.
Menurut dia, Pasar Santa sebelum direvitalisasi jauh lebih ramai. Namun, dia meyakini kehadiran anak-anak muda dengan berbagai usaha kreatifnya di lantai satu akan membawa Pasar Santa kembali menjadi tempat belanja yang populer di Jakarta seperti dulu.
Dasun, pemilik kios plastik di basement, juga merasa terbantu dengan dibukanya kios-kios baru di lantai satu. ”Omzet ya naik tapi memang tidak banyak. Kios di atas belinya kan sedikit-sedikit,” ujarnya.
Robi ardianto
(ars)