Keluarga Tak Mampu Terancam Penjara

Sabtu, 28 Februari 2015 - 11:14 WIB
Keluarga Tak Mampu Terancam...
Keluarga Tak Mampu Terancam Penjara
A A A
BANTUL - Pasangan suami-istri (pasutri) Muhammad Thosim, 37, dan Siti Munawaroh, 22, dilema. Mereka harus memilih kehilangan rumah atau masuk penjara karena tidak mampu membayar rumah sakit saat anak mereka dirawat pada 2009.

Sejak Rabu (25/2), pasutri asal Dusun Sorogenen, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta, ini memang dilanda kegelisahan. Mereka merasa tidak mampu membayar utang kepada Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito sebesar Rp15.781.750 beserta bunganya 10 % atau Rp1,5 juta.

Mereka makin meradang setelah mendapat surat tagih paksa dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Jawa Tengah DIY Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Nomor PB 14/SUPNS.16.2015, Rabu (25/2).

Thosim yang tinggal satu rumah bersama keluarga sang adik memang mengaku memiliki utang Rp15 juta plus bunga Rp1,5 juta itu kepada RSUP dr Sardjito saat anak pertama mereka, Eva Muribatul Musinah, dirawat di rumah sakit itu. Anak mereka divonis sakit lever sehingga menjalani rawat inap selama sebulan sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit terbesar di DIY tersebut. ”Anak saya dirawat dari 13 September 2009 sampai 8 Oktober 2009. Namun, nyawanya tidak tertolong lagi,” cerita Thosim kemarin.

Setelah anaknya meninggal, pria yang hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah Sorogenen ini langsung mengurus jenazah anaknya agar cepat dikebumikan. Untuk merawat anaknya selama sebulan itu ternyata menelan biaya Rp40 juta. Meski tertolong dengan kartu Jaminan Sosial (Jamkesos), dia tetap diharuskan membayar sebagian biaya tersebut.

Klaim kartu Jamkesos hanya mendapat alokasi tertinggi Rp15 juta sehingga dia masih memiliki tunggakan Rp25 juta. Oleh pihak rumah sakit, jenazah sang anak diperbolehkan dibawa pulang asalkan Thosim membayar jaminan Rp3 juta. Setelah membayar uang jaminan, anaknya pun boleh dibawa pulang dan langsung dikebumikan. ”Saya pikir tidak ada masalah lagi karena sudah boleh pulang,” ujar Thosim yang kini memiliki anak perempuan lagi, Khalisa, berusia 1,5 tahun.

Selang beberapa waktu, dia mendapat surat panggilan untuk menyelesaikan persoalan administrasi rumah sakit. Dia pun lantas menghadap ke rumah sakit bersama kakaknya yang ketua rukun tetangga (RT). Di rumah sakit mereka membayar Rp5 juta dan mengatakan tetap tidak bisa melunasi urusan administrasi tersebut.

Sebelum kembali ke rumah, pihak rumah sakit menjelaskan bahwa jika tidak urusan itu diselesaikan, akan ditangani Kantor Lelang. Ironisnya, setelah sekian lama tidak ada kabar, Thosim tiba-tiba mendapat surat panggilan dari Kantor Lelang untuk membayar utang kepada RSUP dr Sardjito pada 22 Januari lalu. ”Saya pun datang lagi dengan kakak saya untuk meminta penjelasan,” tambah buruh bangunan yang mendapat penghasilan Rp50 ribu per hari ini.

Saat ditelepon dari Kantor Lelang, mereka disuruh membawa fotokopi surat jaminan dan surat keterangan tidak mampu. Thosim pun mengikuti perintah itu dengan menyerahkan fotokopi kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan surat keterangan tidak mampu.

Di kantor Lelang, Thosim mengaku mendapat beberapa pertanyaan, termasuk soal pekerjaan dan penghasilannya dalam sehari. Dia juga menandatangani 10 lembar kertas tanpa membacanya terlebih dahulu karena petugas Kantor Lelang telah membacakan bagian atas kertas tersebut. ”Ya, saya tanda tangan saja, tapi tidak tahu isinya apa,” tuturnya.

Namun, Rabu (25/2) lalu Thosim dan istrinya mendapat surat tagih paksa dari Kantor Lelang. Mereka harus segera membayar utang kepada RSUP dr Sardjito sebesar Rp15 juta ditambah bunga Rp1,5 juta. Dalam surat itu juga disebutkan, jika tidak bersedia membayar, akan dilakukan penyitaan atau paksa badan alias dipenjara.

Setelah dia cermati, dalam surat tagih paksa itu ada lampiran yang berisi kesanggupannya membayar utang. Jika tidak, Kantor Lelang akan menyita jaminan yang digunakan dalam utang tersebut. Padahal, dia tidak merasa memberikan surat jaminan baik berupa sertifikat tanah atau apa pun ke pihak RSUP dr Sardjito atau Kantor Lelang. ”Surat kesanggupan tersebut ada tanda tangan saya,” katanya lirih.

Dia menduga, dalam tumpukan kertas yang ditandatanganinya itu ada surat kesanggupan. Namun, dia merasa tidak menandatanganinya karena petugas di Kantor Lelang tidak pernah memberi tahu atau membacakan surat yang harus ditandatangani di samping dia juga tidak membaca surat kesanggupan itu. ”Jangankan membayar utang Rp15 juta dan bunganya, pinjaman yang Rp5 juta untuk mencicil RSUP dr Sardjito dulu sampai sekarang juga belum lunas,” ucapnya.

Kepala Humas RSUP dr Sardjito Tresno Heru mengatakan, pihak rumah sakit menyerahkan sepenuhnya itu kepada negara. Untuk memutuskan apakah akan ditagih atau tidak, semua sudah di tangan KPKNL. ”KPKNL yang memutuskan mau ditagih atau diputihkan,” ujarnya.

Namun, untuk memutihkan itu tidak mungkin karena pihak rumah sakit memiliki bukti dan tidak mau disalahkan jika nanti ada audit ke rumah sakit.

Erfant linangkung
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8084 seconds (0.1#10.140)