104.608 Guru Terancam Tak Dapat Tunjangan
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 104.608 guru di jenjang SMP, SMA, dan SMK terancam tidak mendapat tunjangan profesi. Ini lantaran jam mengajar mereka terpotong akibat sekolah memakai kembali kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sumarna Surapranata mengatakan, 104.608 guru negeri dan swasta itu terbagi atas 94.308 guru di jenjang SMP dan 10.300 guru di jenjang SMA/SMK.
Mereka memang terancam tidak menerima tunjangan profesi (TP) bila tidak ada intervensi dari Kemendikbud agar ada penambahan jam mengajar melalui kegiatan pembelajaran lain. “Kami tidak ingin menzalimi mereka ketika sekolah ini kembali ke KTSP. Maka itu, kami menerbitkan Permendikbud No 4/2015 tentang ekuivalensi kegiatan pembelajaran/ pembimbingan bagi guru yang sekolahnya memakai KTSP,” ungkap Pranata di Kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin.
Pranata mengatakan, guru yang terkena dampak adalah yang mengajar mata pelajaran SMP meliputi Bahasa Indonesia, IPA, Matematika (MTK), PPKN, Olahraga dan Kesehatan, Seni Budaya, dan TIK. Untuk guru SMA meliputi Geografi, MTK, Olahraga dan Kesehatan, Sejarah, dan TIK. Untuk jenjang SMK yang berbeda hanya di pelajaran Sejarah. Pranata mengungkapkan, ekuivalensi ini hanya berlaku bagi guru SMP/SMA/SMK karena di SD tidak mengenal istilah 24 jam mengajar.
Sementara khusus SMP hanya rombongan belajar yang terdaftar pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) semester pertama tahun ajaran 2014/2015 sebagai rombongan belajar yang melaksanakan kurikulum 2013. “Ekuivalensi ini hanya akan berlaku dua tahun karena setelah itu kurikulum 2013 akan diberlakukan di seluruh sekolah secara nasional,” katanya.
Menurut dia, ada lima jenis kegiatan ekuivalensi yang dapat dipilih guru untuk menambah jam mengajar yaitu wali kelas dengan ekuivalensi dua jam pelajaran, Pembina Osis (satu jam), guru piket (satu jam), membina ekstrakurikuler seperti OSN, keagamaan, pramuka, olahraga, kesenian, UKS, PMR, KIR dan pencinta alam (dua jam), dan menjadi tutor Paket A, B, C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan kesetaraan (disesuaikan, maksimal enam jam).
“Kegiatan ekuivalensi bisa lebih dari satu. Namun, jumlah jam yang diakui maksimal 25% dari beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu atau enam jam tatap muka per minggu. Lima kegiatan ini kami pilih untuk ekuivalensi karena kegiatan berinteraksi langsung dengan peserta didik sehingga bermanfaat dalam pembelajaran di sekolah,” ungkapnya. Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menyambut baik ekuivalensi tersebut karena memang banyak guru yang berubah jam mengajarnya karena revisi kurikulum.
Menurut dia, jika guru tidak menerima tunjangan yang sesuai haknya hanya karena sekolahnya dikembalikan lagi ke KTSP, Kemendikbud yang harus bertanggung jawab. Guru sudah mengajar, mendidik, dan mendampingi siswa sesuai tugas dan fungsinya. Dia berpendapat, permendikbud ini mesti segera disosialisasikan. Jika sekolah terlalu lama tidak mengetahui peraturan baru ini, sekolah dan dinas pendidikan tidak bisa memberikan data guru-guru yang terkena dampak ekuivalensi ke Kemendikbud.
Imbasnya, surat keputusan (SK) tidak diterbitkan sehingga guru tidak menerima tunjangan. “Kami bersyukur usulan kami agar ada ekuivalensi ini diwujudkan Kemendikbud. Namun, jangan sampai ada keterlambatan penyampaian data agar tunjangan mereka dapat dicairkan pada waktunya,” paparnya.
Sulistyo juga mendesak pemerintah segera merealisasikan terbentuknya Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan di Kemendikbud. Ini agar penataan manajemen guru mulai dari perencanaan kebutuhan, rekrutmen, distribusi, pembinaan karier, perlindungan hukum dan profesi, serta pengakuan kesetaraan bagi guru bukan pegawai negeri sipil (PNS) dapat segera terwujud. Anggota Komisi X DPR Taufiqul Hadi menyambut baik ada ekuivalensi bagi guru ini.
Pemberlakuan kembali KTSP oleh Kemendikbud tidak boleh mengorbankan guru. Kemendikbud juga harus mendesak pemerintah daerah agar segera beradaptasi dan menyiapkan perangkat teknis pendataan pemberlakuan dua kurikulum ini. Ini terkait data yang masuk ke Kemendikbud yang akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan guru.
Neneng zubaidah
Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sumarna Surapranata mengatakan, 104.608 guru negeri dan swasta itu terbagi atas 94.308 guru di jenjang SMP dan 10.300 guru di jenjang SMA/SMK.
Mereka memang terancam tidak menerima tunjangan profesi (TP) bila tidak ada intervensi dari Kemendikbud agar ada penambahan jam mengajar melalui kegiatan pembelajaran lain. “Kami tidak ingin menzalimi mereka ketika sekolah ini kembali ke KTSP. Maka itu, kami menerbitkan Permendikbud No 4/2015 tentang ekuivalensi kegiatan pembelajaran/ pembimbingan bagi guru yang sekolahnya memakai KTSP,” ungkap Pranata di Kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin.
Pranata mengatakan, guru yang terkena dampak adalah yang mengajar mata pelajaran SMP meliputi Bahasa Indonesia, IPA, Matematika (MTK), PPKN, Olahraga dan Kesehatan, Seni Budaya, dan TIK. Untuk guru SMA meliputi Geografi, MTK, Olahraga dan Kesehatan, Sejarah, dan TIK. Untuk jenjang SMK yang berbeda hanya di pelajaran Sejarah. Pranata mengungkapkan, ekuivalensi ini hanya berlaku bagi guru SMP/SMA/SMK karena di SD tidak mengenal istilah 24 jam mengajar.
Sementara khusus SMP hanya rombongan belajar yang terdaftar pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) semester pertama tahun ajaran 2014/2015 sebagai rombongan belajar yang melaksanakan kurikulum 2013. “Ekuivalensi ini hanya akan berlaku dua tahun karena setelah itu kurikulum 2013 akan diberlakukan di seluruh sekolah secara nasional,” katanya.
Menurut dia, ada lima jenis kegiatan ekuivalensi yang dapat dipilih guru untuk menambah jam mengajar yaitu wali kelas dengan ekuivalensi dua jam pelajaran, Pembina Osis (satu jam), guru piket (satu jam), membina ekstrakurikuler seperti OSN, keagamaan, pramuka, olahraga, kesenian, UKS, PMR, KIR dan pencinta alam (dua jam), dan menjadi tutor Paket A, B, C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan kesetaraan (disesuaikan, maksimal enam jam).
“Kegiatan ekuivalensi bisa lebih dari satu. Namun, jumlah jam yang diakui maksimal 25% dari beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu atau enam jam tatap muka per minggu. Lima kegiatan ini kami pilih untuk ekuivalensi karena kegiatan berinteraksi langsung dengan peserta didik sehingga bermanfaat dalam pembelajaran di sekolah,” ungkapnya. Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menyambut baik ekuivalensi tersebut karena memang banyak guru yang berubah jam mengajarnya karena revisi kurikulum.
Menurut dia, jika guru tidak menerima tunjangan yang sesuai haknya hanya karena sekolahnya dikembalikan lagi ke KTSP, Kemendikbud yang harus bertanggung jawab. Guru sudah mengajar, mendidik, dan mendampingi siswa sesuai tugas dan fungsinya. Dia berpendapat, permendikbud ini mesti segera disosialisasikan. Jika sekolah terlalu lama tidak mengetahui peraturan baru ini, sekolah dan dinas pendidikan tidak bisa memberikan data guru-guru yang terkena dampak ekuivalensi ke Kemendikbud.
Imbasnya, surat keputusan (SK) tidak diterbitkan sehingga guru tidak menerima tunjangan. “Kami bersyukur usulan kami agar ada ekuivalensi ini diwujudkan Kemendikbud. Namun, jangan sampai ada keterlambatan penyampaian data agar tunjangan mereka dapat dicairkan pada waktunya,” paparnya.
Sulistyo juga mendesak pemerintah segera merealisasikan terbentuknya Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan di Kemendikbud. Ini agar penataan manajemen guru mulai dari perencanaan kebutuhan, rekrutmen, distribusi, pembinaan karier, perlindungan hukum dan profesi, serta pengakuan kesetaraan bagi guru bukan pegawai negeri sipil (PNS) dapat segera terwujud. Anggota Komisi X DPR Taufiqul Hadi menyambut baik ada ekuivalensi bagi guru ini.
Pemberlakuan kembali KTSP oleh Kemendikbud tidak boleh mengorbankan guru. Kemendikbud juga harus mendesak pemerintah daerah agar segera beradaptasi dan menyiapkan perangkat teknis pendataan pemberlakuan dua kurikulum ini. Ini terkait data yang masuk ke Kemendikbud yang akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan guru.
Neneng zubaidah
(ars)