Kewajiban Mendaftar BPJS Dinilai Diskriminatif
A
A
A
JAKARTA - Ketentuan yang hanya mewajibkan pemberi kerja dan pekerja terdaftar sebagai peserta dalam program kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif.
Seharusnya pemerintah memberikan kebebasan bagi pekerja untuk memilih lembaga jaminan kesehatannya. Pernyataan ini dilontarkan mantan hakim konstitusi Achmad Sodiki saat menjadi ahli dalam sidang pengujian Undang- Undang (UU) BPJS 24 Tahun 2014 yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh empat perusahaan yakni PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bakti Usaha, dan PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera.
Setidaknya ada empat pasal dalam UU BPJS yang diuji ke MK antara lain Pasal 15 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) dan (2); Pasal 17 ayat (1), (2) huruf c, dan (4); Pasal 19 ayat (1) dan (3). Empat pemohon menilai aturan yang hanya mewajibkan daftar pada BPJS telah membatasi masyarakat dan pekerja untuk memilih layanan kesehatan. Aturan tersebut bahkan berpotensi menyuburkan monopoli jasa pelayanan kesehatan.
Bukan tidak mungkin akan mematikan perusahaan penyedia layanan masyarakat lain dalam hal ini Badan Pelaksana Jaminan Pemelihara Kesehatan Masyarakat (JPKM) karena tidak diberikan ruang melalui UU BPJS. Atas dalil pemohon tersebut, Achmad Sodiki menyatakan, ketentuan yang mewajibkan karyawan perusahaan mendaftar ke BPJS tersebut perlakukan diskriminatif.
Jika bicara jaminan kesehatan, bidang ini bukan hanya milik pemerintah, melainkan pihak swasta pun dapat menyelenggarakan. Bila hanya mewajibkan mengikuti BPJS, ketentuan ini tidak adil bagi lembaga lain yang bergerak di bidang jaminan sosial di luar BPJS. Menurut Achmad Sodiki, langkah pemerintah yang mewajibkan mengikuti program BPJS tidak berarti mengikat pekerja atau dan masyarakat.
Para pekerja, pemberi kerja, dan setiap orang tetap bebas memiliki BPJS atau lembaga sosial lain untuk menjamin kesehatannya. “Jadi, kewajiban untuk masuk dalam BPJS merugikan pekerja karena kehilangan kebebasan untuk memilih dan menentukan lembaga mana yang paling baik dan layak sebagai lembaga penjamin sosial,” ungkap Achmad Sodiki di ruang sidang MK, Jakarta, kemarin.
Saksi ahli lain, Agus Suman, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menyatakan, beberapa kebijakan yang diatur dalam UU BPJS tidak sesuai roh ekonomi. Dia melihat dalam penerapannya, ketentuan masyarakat diwajibkan untuk membuat rekening agar bisa membayar iuran bulanan justru menyulitkan.
“Penerapan itu telah membingungkan dan merugikan rakyat miskin, padahal tujuan akhir kita keadilan sosial,” ungkap Agus. Potret arogan ketentuan BPJS lain terlihat ketika calon peserta yang sedang hamil wajib mendaftarkan janinnya dan kartu BPJS bisa digunakan tujuh hari setelah pembayaran iuran pertama.
Menurut dia, dua ketentuan tersebut justru menghilangkan hak masyarakat atas kesehatan. “Terdapat pemaksaan oleh negara untuk seluruh rakyat baik yang sudah tercatat dalam KK (kartu keluarga) maupun yang masih dalam kandungan. Ini pola etatisme,” ungkapnya.
Nurul adriyana
Seharusnya pemerintah memberikan kebebasan bagi pekerja untuk memilih lembaga jaminan kesehatannya. Pernyataan ini dilontarkan mantan hakim konstitusi Achmad Sodiki saat menjadi ahli dalam sidang pengujian Undang- Undang (UU) BPJS 24 Tahun 2014 yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh empat perusahaan yakni PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bakti Usaha, dan PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera.
Setidaknya ada empat pasal dalam UU BPJS yang diuji ke MK antara lain Pasal 15 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) dan (2); Pasal 17 ayat (1), (2) huruf c, dan (4); Pasal 19 ayat (1) dan (3). Empat pemohon menilai aturan yang hanya mewajibkan daftar pada BPJS telah membatasi masyarakat dan pekerja untuk memilih layanan kesehatan. Aturan tersebut bahkan berpotensi menyuburkan monopoli jasa pelayanan kesehatan.
Bukan tidak mungkin akan mematikan perusahaan penyedia layanan masyarakat lain dalam hal ini Badan Pelaksana Jaminan Pemelihara Kesehatan Masyarakat (JPKM) karena tidak diberikan ruang melalui UU BPJS. Atas dalil pemohon tersebut, Achmad Sodiki menyatakan, ketentuan yang mewajibkan karyawan perusahaan mendaftar ke BPJS tersebut perlakukan diskriminatif.
Jika bicara jaminan kesehatan, bidang ini bukan hanya milik pemerintah, melainkan pihak swasta pun dapat menyelenggarakan. Bila hanya mewajibkan mengikuti BPJS, ketentuan ini tidak adil bagi lembaga lain yang bergerak di bidang jaminan sosial di luar BPJS. Menurut Achmad Sodiki, langkah pemerintah yang mewajibkan mengikuti program BPJS tidak berarti mengikat pekerja atau dan masyarakat.
Para pekerja, pemberi kerja, dan setiap orang tetap bebas memiliki BPJS atau lembaga sosial lain untuk menjamin kesehatannya. “Jadi, kewajiban untuk masuk dalam BPJS merugikan pekerja karena kehilangan kebebasan untuk memilih dan menentukan lembaga mana yang paling baik dan layak sebagai lembaga penjamin sosial,” ungkap Achmad Sodiki di ruang sidang MK, Jakarta, kemarin.
Saksi ahli lain, Agus Suman, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menyatakan, beberapa kebijakan yang diatur dalam UU BPJS tidak sesuai roh ekonomi. Dia melihat dalam penerapannya, ketentuan masyarakat diwajibkan untuk membuat rekening agar bisa membayar iuran bulanan justru menyulitkan.
“Penerapan itu telah membingungkan dan merugikan rakyat miskin, padahal tujuan akhir kita keadilan sosial,” ungkap Agus. Potret arogan ketentuan BPJS lain terlihat ketika calon peserta yang sedang hamil wajib mendaftarkan janinnya dan kartu BPJS bisa digunakan tujuh hari setelah pembayaran iuran pertama.
Menurut dia, dua ketentuan tersebut justru menghilangkan hak masyarakat atas kesehatan. “Terdapat pemaksaan oleh negara untuk seluruh rakyat baik yang sudah tercatat dalam KK (kartu keluarga) maupun yang masih dalam kandungan. Ini pola etatisme,” ungkapnya.
Nurul adriyana
(ars)