Publik Nilai Jokowi Lamban dan Kurang Tegas
A
A
A
JAKARTA - Kembali berulangnya konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat masyarakat Indonesia makin prihatin dengan kondisi hukum di Indonesia saat ini.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Denny JA menunjukkan mayoritas publik menilai kondisi hukum di Indonesia belum menjanjikan harapan. “Sebesar 66,89% publik menyatakan kondisi hukum akhir-akhir ini memprihatinkan, sedangkan 22,5% menyatakan sama saja dengan periode sebelumnya dan hanya 3,97% menilai kondisi hukum saat ini lebih baik dari sebelumnya,” kata peneliti LSI Rully Akbar di Jakarta kemarin.
Pendapat publik tersebut bermula ketika Komjen Pol Budi Gunawan dicalonkan sebagai kapolri, kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Keprihatinan publik terhadap kondisi hukum Indonesia ini disertai dengan anggapan ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK.
Meski Polri beralasan ada bukti hukum untuk menjerat pimpinan KPK, publik menilai penetapan tersangka dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, lebih besar nuansa politisnya dibandingkan nuansa hukumnya. Di sisi lain, kesan pelemahan terhadap KPK dan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka mendapatkan sentimennegatifdari publikdanmembuat wibawa Polri menurun.
Keprihatinan publik terhadap hukum di Indonesia juga disebabkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai lamban dalam menyelesaikan kisruh KPK Polri. Jokowi dinilai banyak mengambil jalan tengah dan kurang tegas dalam mengambil keputusan. “Bimbangnya Presiden terhadap status pencalonan BG dinilai publik karena Jokowi diintervensi pihak lain.
Sebanyak 55,65% publik menyatakan Jokowi lamban dan tak tegas menyikapi polemik KPK-Polri. Ada 33,87 menyatakan sebaliknya,” papar Rully. Sementara itu, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menilai sejak dulu kondisi hukum Indonesia memang sudah memprihatinkan. Kondisi dulu dengan era pemerintahan baru saat ini disebutnya tidak banyak berubah.
Margarito mengaku tak melihat iktikad kuat pemerintah untuk memperbaiki kondisi hukum dengan mengoptimalkan peran organ-organ penegak hukum. “Tidak ada performa Presiden dalam upaya perbaikan hukum, tidak bisa diukur keberhasilan atau kegagalannya karena memang tidak ada upaya untuk itu,” kata Margarito kemarin.
Menurut Margarito, perbaikan penegakan hukum bisa dilakukanketika Presiden memiliki garis dan haluan yang jelas sebagai dasar penetapan kebijakan hukum. Setelah itu Presiden tidak boleh keluar dari garis yang telah dia tetapkan sendiri. Garis itu juga harus berpihak pada kepentingan nasional. “Saya tidak melihat Presiden punya garis itu, padahal seharusnya ada agar kebijakannya dapat terukur,” ujarnya.
Khoirul muzakki/Ant
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Denny JA menunjukkan mayoritas publik menilai kondisi hukum di Indonesia belum menjanjikan harapan. “Sebesar 66,89% publik menyatakan kondisi hukum akhir-akhir ini memprihatinkan, sedangkan 22,5% menyatakan sama saja dengan periode sebelumnya dan hanya 3,97% menilai kondisi hukum saat ini lebih baik dari sebelumnya,” kata peneliti LSI Rully Akbar di Jakarta kemarin.
Pendapat publik tersebut bermula ketika Komjen Pol Budi Gunawan dicalonkan sebagai kapolri, kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Keprihatinan publik terhadap kondisi hukum Indonesia ini disertai dengan anggapan ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK.
Meski Polri beralasan ada bukti hukum untuk menjerat pimpinan KPK, publik menilai penetapan tersangka dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, lebih besar nuansa politisnya dibandingkan nuansa hukumnya. Di sisi lain, kesan pelemahan terhadap KPK dan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka mendapatkan sentimennegatifdari publikdanmembuat wibawa Polri menurun.
Keprihatinan publik terhadap hukum di Indonesia juga disebabkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai lamban dalam menyelesaikan kisruh KPK Polri. Jokowi dinilai banyak mengambil jalan tengah dan kurang tegas dalam mengambil keputusan. “Bimbangnya Presiden terhadap status pencalonan BG dinilai publik karena Jokowi diintervensi pihak lain.
Sebanyak 55,65% publik menyatakan Jokowi lamban dan tak tegas menyikapi polemik KPK-Polri. Ada 33,87 menyatakan sebaliknya,” papar Rully. Sementara itu, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menilai sejak dulu kondisi hukum Indonesia memang sudah memprihatinkan. Kondisi dulu dengan era pemerintahan baru saat ini disebutnya tidak banyak berubah.
Margarito mengaku tak melihat iktikad kuat pemerintah untuk memperbaiki kondisi hukum dengan mengoptimalkan peran organ-organ penegak hukum. “Tidak ada performa Presiden dalam upaya perbaikan hukum, tidak bisa diukur keberhasilan atau kegagalannya karena memang tidak ada upaya untuk itu,” kata Margarito kemarin.
Menurut Margarito, perbaikan penegakan hukum bisa dilakukanketika Presiden memiliki garis dan haluan yang jelas sebagai dasar penetapan kebijakan hukum. Setelah itu Presiden tidak boleh keluar dari garis yang telah dia tetapkan sendiri. Garis itu juga harus berpihak pada kepentingan nasional. “Saya tidak melihat Presiden punya garis itu, padahal seharusnya ada agar kebijakannya dapat terukur,” ujarnya.
Khoirul muzakki/Ant
(ars)