Target Ekspor 300% Tidak Realistis

Selasa, 24 Februari 2015 - 10:08 WIB
Target Ekspor 300% Tidak Realistis
Target Ekspor 300% Tidak Realistis
A A A
JAKARTA - Keinginan pemerintah meningkatkan ekspor nonmigas hingga 300% dalam lima tahun mendatang dinilai tidak realistis.

Target itu hampir mustahil terpenuhi di tengah situasi ekonomi global yang lesu. ”Seribu malaikat diturunkan pun tidak akan bisa (tercapai target itu). Bayangkan, ekspor tertinggi di dunia tahun ini hanya 3,8%, tapi kita (target) 28%, ya ngimpi lah ,” kata ekonom Faisal Basri di Jakarta kemarin.

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini meminta pemerintah realistis dan tidak membohongi diri sendiri. Tidak ada negara yang mengalami kenaikan ekspor terus-menerus jika basis ekspornya komoditas, karena harganya yang elastis.

Dia mencontohkan India yang berjuang sekuat tenaga menggenjot ekspor nonmigasnya, dalam lima tahun terakhir mencatat pertumbuhan 74,5% atau menjadi yang tertinggi. ”Lalu kita mau 300%? Jangan mimpi deh , kita berpijak di bumi yang realistis ini,” katanya.

Faisal menuturkan, jika nilai ekspor 2014 dijadikan basis, target ekspor 2019 harus mencapai USD528,9 miliar. Dengan kondisi ekspor migas terus melorot, konsekuensinya target ekspor nonmigas harus digenjot. ”Kalau ekspor nonmigasnya dianggap stabil saja atau tidak turun, pertumbuhan ekspor (nonmigas) rata-rata setahun harus 24%. Kalau turun maka harus lebih tinggi lagi,” kata dia.

Menurutnya, perdagangan hendaknya diposisikan sebagai agen pertumbuhan, bukan pencapaian angka. Tidak ada gunanya ekspor naik tiga kali lipat jika peningkatan impor mencapai lima kali lipat, yang berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah. Dia juga mengingatkan adanya perubahan paradigma di mana saat ini perda-gangan cenderung tumbuh lebih rendah dari PDB.

Di sisi lain, Faisal menilai perlunya Indonesia meningkatkan sektor manufaktur yang saat ini kontribusinya hanya 38%, sangat jauh bila dibandingkan dengan China yang sudah 94%. Jika Indonesia masih menyandarkan industri dan ekspornya pada komoditas, akan sulit untuk meningkatkan ekspor secara berkelanjutan.

”Hampir mustahil kalau ekspor kita naik tapi manufaktur terhadap GDP-nya turun terus. Peranan manufaktur di dalam total ekspor turun terus dari 57% menjadi 34%. Kita mengalami deindustrialisasi, di mana peranan industri saat ini tinggal 21% terhadap PDB. Penurunan ini makin menunjukkan industri kita terbata-bata,” katanya.

Sebagai catatan, neraca perdagangan Indonesia pada 2014 defisitUSD1,89miliar. Disisilain, kinerja ekspor 2014 yang senilai USD176,29 miliar mengalami penurunan 3,43% dibanding 2013. Pencapaian ini meleset dari target ekspor 2014 yang ditetapkan Kemendag, yaitu senilai USD184,3 miliar.

Memasuki 2015, ekspor Indonesia pada Januari tercatat USD13,30 miliar atau menurun 9,03% dibandingkan Desember 2014 dan turun 8,09% dibandingkan Januari 2014. Kemendag telah merancang target ekspor 2015 senilai USD192,9 miliar. Angka ekspor ini diharapkan mencapai USD458 miliar di 2019. Hal ini sejalan dengan komitmen Kemendag untuk menggenjot ekspor tiga kali lipat atau 300% hingga 2019.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengungkapkan, target ekspor yang tinggi justru menjadi pemacu kinerja pemerintah. ”Jangan lihat angka 300%, tetapi jumlahnya,” kata Gobel. Dia mengaku sudah punya strategi mencapai target ekspor 300% hingga lima tahun ke depan.

Salah satunya adalah memberdayakan Atase Perdagangan dan International Trade Promotion Center (ITPC) di beberapa negara. Pihaknya juga telah memikirkan agar pada pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) nanti tidak malah melemahkan industri di Indonesia.

Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini mengatakan perlu dukungan kebijakan strategis jika ingin mengembalikan Indonesia sebagai basis produksi.

Pemerintah juga harus menetapkan prioritas industri yang akan didorong. ”Contohnya untuk PMDN, 34% itu manufaktur dan sebagian besarnya untuk industri makanan. Apakah ini yang akan dijadikan salah satu prioritas? tetapkan saja,” ujarnya.

Ekonom Indef Enny Sri Hartati menilai sampai saat ini pemerintah belum punya kejelasan kebijakan industri. ”Bagaimana mungkin pemerintah bisa menargetkan produk-produk yang akan dijual ke negara lain manakala tidak ada pemetaan,” katanya.

Inda susanti
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7825 seconds (0.1#10.140)