Komisi Yudisial Keluhkan Eksekusi Hakim Nakal
A
A
A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) mengeluhkan eksekusi atas rekomendasi sanksi pelanggaran etik yang dijatuhkan kepada hakim dalam rapat pleno.
KY menemukan ada sejumlah rekomendasi sanksi yang tidak dijalankan Mahkamah Agung (MA). Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri mengaku ada beberapa rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti dengan eksekusi oleh MA. Padahal, jika merujuk Undang- Undang (UU) KY, rekomendasi yang diajukan berlaku otomatis apabila dalam waktu 60 hari MA tidak mengeksekusi.
“MA seharusnya menjatuhkan putusan paling lama 60 hari setelah KY mengusulkan penjatuhan sanksi. Kalautidak, itumenyalahi UU KY Pasal 22D ayat (3) dan memang ada beberapa putusan yang belum dilaksanakan MA. Ini memang ada masalah,” ungkap Taufiq di Jakarta kemarin.
Dalam Pasal 22D ayat (3) UU KY disebutkan bahwa MA menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik yang diusulkan KY dalam waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal usulan diterima. Karena itu seharusnya MA mengeksekusi rekomendasi sanksi yang diberikan KY. Namun memang bisa saja MA tidak mengeksekusi rekomendasi sanksi yang dijatuhkan KY apabila terdapat perbedaan pandangan.
Apabila itu terjadi, menurut Taufiq, harus ada pemeriksaan bersama antara MA dan KY sesuai dengan Pasal 22E ayat (2) UU KY. Namun, jika dalam pemeriksaan bersama tidak ditemukan titik tengah, rekomendasi sanksi KY tetap berlaku. Apalagi tidak ada kewenangan untuk menganulir rekomendasi sanksi KY.
“Jadi, kalau tidak dilaksanakan dalam 60 hari, secara administratif putusan KY berlaku tanpa ada pertentangan dari MA. Tapi, saya heran putusan KY itu kan final, kalau ada perbedaan ya kita periksa bersama, jangan pendapat sendiri paling benar,” ujarnya. Masalah yang akan timbul jika penegasan penjatuhan ini tidak diluruskan, lanjutnya, legalitas hakim saat mengadili dan memutus perkara akan dipertanyakan. Bahkan, bukan tidak mungkin, apabila pihak beperkara mengetahui aturan penjatuhan sanksi ini, akan dipermasalahkan putusannya.
“Misalnya dia memimpin sidang, padahal sedang dalam masa penjatuhan sanksi, berarti hakim yang dijatuhi sanksi itu ilegal dalam memutus. Ini perlu diperhatikan serius,” tandasnya. Sejauh ini, untuk mengomunikasikan permasalahan tersebut, KY akan menyurati MA agar segera mengeksekusi rekomendasi sanksi yang diberikan KY. Pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Asep Warlan Yusuf menilai usulan atau rekomendasi yang diajukan KY kepada MA dalam UU kurang tegas.
Karena itu, MA kadang merasa tidak terikat dengan rekomendasi sanksi KY. Karena itu, menurutnya, harus ada penegasan dalam UU jika rekomendasi KY harus dijalankan MA. “Idealnya UU diubah. Rekomendasi itu harus mengikat dan dipertegas. Maksud saya, harus ada daya ikat dan paksa agar MA terikat dengan KY. Tapi, kadang memang rekomendasi itu seolah-olah tidak mengikat, padahal harusnya mengikat dan MA wajib melaksanakan,” ungkap Asep.
Nurul adriyana
KY menemukan ada sejumlah rekomendasi sanksi yang tidak dijalankan Mahkamah Agung (MA). Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri mengaku ada beberapa rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti dengan eksekusi oleh MA. Padahal, jika merujuk Undang- Undang (UU) KY, rekomendasi yang diajukan berlaku otomatis apabila dalam waktu 60 hari MA tidak mengeksekusi.
“MA seharusnya menjatuhkan putusan paling lama 60 hari setelah KY mengusulkan penjatuhan sanksi. Kalautidak, itumenyalahi UU KY Pasal 22D ayat (3) dan memang ada beberapa putusan yang belum dilaksanakan MA. Ini memang ada masalah,” ungkap Taufiq di Jakarta kemarin.
Dalam Pasal 22D ayat (3) UU KY disebutkan bahwa MA menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik yang diusulkan KY dalam waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal usulan diterima. Karena itu seharusnya MA mengeksekusi rekomendasi sanksi yang diberikan KY. Namun memang bisa saja MA tidak mengeksekusi rekomendasi sanksi yang dijatuhkan KY apabila terdapat perbedaan pandangan.
Apabila itu terjadi, menurut Taufiq, harus ada pemeriksaan bersama antara MA dan KY sesuai dengan Pasal 22E ayat (2) UU KY. Namun, jika dalam pemeriksaan bersama tidak ditemukan titik tengah, rekomendasi sanksi KY tetap berlaku. Apalagi tidak ada kewenangan untuk menganulir rekomendasi sanksi KY.
“Jadi, kalau tidak dilaksanakan dalam 60 hari, secara administratif putusan KY berlaku tanpa ada pertentangan dari MA. Tapi, saya heran putusan KY itu kan final, kalau ada perbedaan ya kita periksa bersama, jangan pendapat sendiri paling benar,” ujarnya. Masalah yang akan timbul jika penegasan penjatuhan ini tidak diluruskan, lanjutnya, legalitas hakim saat mengadili dan memutus perkara akan dipertanyakan. Bahkan, bukan tidak mungkin, apabila pihak beperkara mengetahui aturan penjatuhan sanksi ini, akan dipermasalahkan putusannya.
“Misalnya dia memimpin sidang, padahal sedang dalam masa penjatuhan sanksi, berarti hakim yang dijatuhi sanksi itu ilegal dalam memutus. Ini perlu diperhatikan serius,” tandasnya. Sejauh ini, untuk mengomunikasikan permasalahan tersebut, KY akan menyurati MA agar segera mengeksekusi rekomendasi sanksi yang diberikan KY. Pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Asep Warlan Yusuf menilai usulan atau rekomendasi yang diajukan KY kepada MA dalam UU kurang tegas.
Karena itu, MA kadang merasa tidak terikat dengan rekomendasi sanksi KY. Karena itu, menurutnya, harus ada penegasan dalam UU jika rekomendasi KY harus dijalankan MA. “Idealnya UU diubah. Rekomendasi itu harus mengikat dan dipertegas. Maksud saya, harus ada daya ikat dan paksa agar MA terikat dengan KY. Tapi, kadang memang rekomendasi itu seolah-olah tidak mengikat, padahal harusnya mengikat dan MA wajib melaksanakan,” ungkap Asep.
Nurul adriyana
(ars)