Pemakaian Baju Adat Resmi Diterapkan

Selasa, 17 Februari 2015 - 14:00 WIB
Pemakaian Baju Adat Resmi Diterapkan
Pemakaian Baju Adat Resmi Diterapkan
A A A
SEMARANG - Pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mengenakan berbagai pakaian adat Jateng pada apel pagi hari kemarin. Upacara itu juga menggunakan bahasa Jawa.

Namun, kebijakan pemakaian busana adat itu tetap akan dievaluasi. Dalam apel tersebut, ratarata pejabat eselon II mengenakan pakaian beskap, sementara eselon di bawahnya mengenakan baju lurik. Usai pelaksanaan apel pagi dan sebelum melanjutkan aktivitas sebagai abdi negara, PNS menyempatkan diri berfoto dengan sejumlah rekan kerja dengan mengenakan berbagai jenis pakaian tradisional Jawa.

Seorang staf Setda Pemprov Jateng Mei Kristianti mengaku tidak merasa repot mengenakan busana jenis kebaya karena dia memilih pakaian yang sederhana. ”Karena yang saya pakai itu simpel, jadi tidak repot,” kata dia di Semarang kemarin. Karena tidak di keraton, lanjut dia, rambutnya juga tidak perlu disanggul dan tidak merias diri di salon.

”Persiapan seperti biasa-biasa saja, hanya pakaiannya saja yang beda. Jadi, saya mendukung kebijakan itu karena ini untuk melestarikan budaya,” ungkapnya. Kabag Humas Sekretariat DPRD Jateng Rani Ratnaningdyah menyatakan hal sama. Sebelumnya dia mengaku berpikir akan kerepotan dengan mengenakan pakaian adat. ”Ternyata setelah dijalani, ya asyik-asyik saja.

Hanya, pegawai yang mengendarai sepeda motor harus pakai celana dulu dari rumah, baru ganti dengan kebaya sesampai di kantor. Saya pikir, itu tidak apa-apa, bahkan terasa indah,” imbuh Rani. Meski dirasakan nyaman oleh para PNS di lingkungan Pemprov Jateng, Sekretaris Provinsi Jateng Sri Puryono tetap akan meminta masukan dari kalangan ahli, mulai dari perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan Dewan Kesenian terkait kebijakan berbusana adat itu.

Dia tak ingin PNS asal mengenakan pakaian adat tanpa mengetahui pakem kelengkapannya. ”Kami akan meminta masukan ahli, tentang busana adat. Baju adat Solo seperti apa, Mataraman, Semarangan, Banyumasan, dan Samin seperti apa,” sebutnya. Menurut Puryono, setiap kelengkapan busana adat ada maknanya. Modifikasi pakaian dipersilakan agar lebih fleksibel, namun tidak boleh kebablasan. Misalnya pemberian resleting pada jarit.

”Pakaian jangan asal nempel karena ada maknanya,” kata dia. Puryono menjelaskan, pemakaian busana adat ini juga sesuai Perda Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Budaya Jawa. Penggunaan pakaian adat adalah langkah nyata kedua setelah penggunaan bahasa Jawa tiap Kamis.

”Pertama adalah bahasa, kedua busana, dan harapannya akan merembet pada perilaku. Sopan santun dan tutur kata selalu terjaga. Kinerja juga harus terus membaik,” lanjutnya. Ke depan kebijakan ini akan diterapkan ke seluruh jajaran pemerintah kabupaten/kota di Jateng. Sesuai rencana, kebijakan pemakaian busana adat Jateng ini akan terus dilakukan setiap tanggal 15.

”Namun, karena 15 Februari 2015 jatuh pada Minggu, pelaksanaan kebijakan mengenakan pakaian tradisional Jawa itu diundur pada Senin (16/2),” katanya. Anggota Komisi A DPRD Jateng Sriyanto Saputro mengaku sepakat bila kebijakan pemakaian baju adat itu dievaluasi. Praktiknya pemakaian baju adat itu banyak yang tidak sesuai pakem.

Dia mencontohkan, pakaian kebaya seharusnya dipadu dengan rambut disanggul, tapi banyak yang tidak dilakukan. ”Begitu juga, ada yang memakai busana samin, tapi bersepatu. Pakaian sorjan sebenarnya juga adat Jawa Timur. Ini kan tidak sesuai dengan adat aslinya. Saya harap bisa disinkronkan,” ungkap dia. Politikus Partai Gerindra Jateng ini meminta agar nilai-nilai kebudayaan Jawa Tengah seperti sopan santun dan ramah lebih dicerminkan para pegawai.

Amin fauziGeng
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6431 seconds (0.1#10.140)