Penyebab Utama Banjir Tak Tertangani
A
A
A
JAKARTA - Penanganan banjir di Ibu Kota selama ini dinilai kurang tepat. Dua penyebab utama banjir, yakni buruknya drainase dan tata ruang, belum tertangani dengan baik dan menyeluruh.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan, berdasarkan evaluasi banjir Ibu Kota pekan lalu seluruh sungai di Jakarta tidak ada yang meluap. Artinya, banjir disebabkan karena drainase dan penataan ruang yang buruk.
Sayangnya Pemprov DKI Jakarta tidak menjadikan dua masalah utama ini sebagai program utama jangka pendek dalam penanganan banjir. Pemprov DKI Jakarta lebih memilih mengadakan pompa, genset, membuat tanggul, betonisasi, hingga sodetan. ”Ini yang kita takutkan, banjir air ditangani dengan banjir proyek. Pemahaman mereka hujan dan banjir adalah bencana dan harus dibuang ke laut. Jadi yang lahir pengadaan pompa, sodetan, betonisasi, dan sebagainya itu,” kata Nirwono Yoga saat dihubungi kemarin.
Yoga menjelaskan, setelah meneliti banjir pekan lalu, lembaganya hanya mendapatkan 30% atau 1/3 saluran yang berfungsi. Selebihnya dipenuhi sampah, limbah, lumpur, dan berbagai macam utilitas, termasuk pipa air bersih. Berdasarkan catatannya, drainase di Jakarta saat ini hanya mampu menampung 60- 70 milimeter dengan curah hujan sebesar 220 milimeter per hari. Padahal lima tahun terakhir curah hujan di Jakarta mencapai 360 milimeter per hari.
Meski terjadi peningkatan curah hujan, nyatanya Pemprov DKI Jakarta tidak mau memperbaiki drainase. Yoga menyarankan Pemprov DKI Jakarta memperbaiki drainase segera, dengan memperluasnya tiga kali lipat. Misalnya luas drainase yang hanya sekitar 50 cm diperluas menjadi 1 meter. Drainase di Jalan Sudirman, MH Thamrin, Istana, dan Gatot Subroto yang kini memiliki luas 1 meter diperlebar menjadi 3 meter.
”Kalau sudah diperluas, fungsi utilitas kabel bisa ditaruh di sebelah kanan, pipa di sebelah kiri, dan tengah untuk air. Jadi tidak ada lagi tumpang tindih,” desaknya. Selain perbaikan drainase, Pemprov DKI Jakarta harus mengaudit kembali tata ruang. Sebanyak 80% daerah resapan kini berubah fungsi menjadi bangunan keras. Hal itu bisa terlihat dari banjir yang lama merendam kawasan Kelapa Gading, Green Garden, dan Grogol.
Artinya, Pemprov DKI harus berani mengembalikan daerah resapan dengan membeli sejumlah tanah di kawasan tersebut untuk jadikan waduk atau situ. ”Tangani dulu yang ada di depan mata. Jangan malah mengalihkan isu dengan giant sea wall, apalagi deep tunnel ,” ungkapnya. Sebagai penanganan banjir jangka panjang, Yoga menantang Pemprov DKI Jakarta menunjukkan progres normalisasi 13 sungai yang merupakan penanganan utama mengendalikan banjir, selain waduk.
Dia melihat tidak ada satu pun sungai yang beres dikerjakan, apalagi waduk. Lebih baik Pemprov DKI Jakarta fokus menangani satu sungai hingga berhasil dalam waktu 2-3 tahun sehingga kali lainnya bisa menjadi duplikasi. Jika satu saja gagal, dia pesimistis perbaikan 13 sungai dapat berhasil. ”Waduk Pluit memang ada perkembangan, tetapi masih ada 7.000 warga yang belum direlokasi. Waduk Ria-Rio sangat lambat penanganannya. Ingat masih ada 42 waduk dan 14 situ yang belum tersentuh,” sebutnya.
Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono mengatakan, perbaikan drainase merupakan kewenangan Dinas Bina Marga. Namun, dia berpendapat drainase yang ada saat ini belum saatnya diperluas lantaran curah hujan 360 mm tidak terjadi setiap musim hujan. Untuk tata ruang, dinasnya akan berkoordinasi dengan pihak terkait lain.
”Masalahnya adalah merelokasi warga dari bantaran kali atau waduk. Kami kan menunggu pembangunan rusun,” ujarnya. Sesuai rencana yang sudah disepakati dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Agus menuturkan penanganan banjir dalam jangka panjang dilakukan dengan strategi tiga aliran, yakni barat, tengah, dan timur dengan anggaran Rp118 triliun.
Penanganan tiga aliran itu meliputi normalisasi, pengadaan pompa, dan membuat polder atau sumur resapan. Penanganan ketiga aliran dimulai tahun ini dengan memprioritaskan titik yang dinilai darurat. Di aliran timur diprioritaskan di Kelapa Gading dan Cawang.
Nantinya penanganan di sejumlah aliran sungai di kawasan timur itu diharapkan dapat mengeringkan banjir di sisi barat kawasan Kelapa Gading dan Cawang. Di aliran tengah, Agus memilih untuk terlebih dulu mengerjakan kawasan kali Ciliwung, Gunung Sahari, Banjir Kanal Barat, dan Kali Krukut. Dia berharap banjir di kawasan Kebon Baru, Bidara Cina, Sun g a i Mampang, dan Pondok Jaya hilang.
Untuk aliran Barat, penanganan diprioritaskan di Jalan S Parman, tepatnya depan Universitas Trisakti. Selain meninggikan tanggul di Kali Grogol yang melintas di kawasan tersebut, pompa dan pembuatan penampungan air ditambah. Kepala Dinas Bina Marga DKI JakartaYusmada Faizal menyatakan belum berencana memperbesar drainase.
Dinasnya berencana membuat sumur resapan dan menormalisasi kali penghubung sertai sungai-sungai. Apabila program ini berjalan normal, Yusmada mengklaim d r a i n a s e mampu menampung air di permukaan jalan. ”Drainase di pinggir jalan itu kan fungsinya menampung air di permukaan jalan. Kalau sumur resapan diperbanyak dan kali dinormalisasi, saya rasa fungsi awal drainase akan kembali normal. Tetapi kami akan berkoordinasi kembali dengan Dinas Tata Air untuk menangani drainase,” ujarnya.
Selain itu, Yusmada mengakui banjir menyebabkan sejumlah jalan tersebut rusak dan berlubang. Sedikitnya ada 700 titik yang rusak. Dari ratusan titik tersebut, 50% sudah diperbaiki dengan anggaran mendahului sebesar 30% dari total Rp40 miliar di masing-masing wilayah. Yusmada menjelaskan, setiap hari petugas Bina Marga mampu memperbaiki jalan dengan 90 ton aspal.
Dalam perhitungannya, setiap 1 ton digunakan untuk memperbaiki jalan seluas 12 meter persegi. ”Itu kalau nggak hujan. Kalau hujan ya berhenti,” katanya.
Bima setiyadi
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan, berdasarkan evaluasi banjir Ibu Kota pekan lalu seluruh sungai di Jakarta tidak ada yang meluap. Artinya, banjir disebabkan karena drainase dan penataan ruang yang buruk.
Sayangnya Pemprov DKI Jakarta tidak menjadikan dua masalah utama ini sebagai program utama jangka pendek dalam penanganan banjir. Pemprov DKI Jakarta lebih memilih mengadakan pompa, genset, membuat tanggul, betonisasi, hingga sodetan. ”Ini yang kita takutkan, banjir air ditangani dengan banjir proyek. Pemahaman mereka hujan dan banjir adalah bencana dan harus dibuang ke laut. Jadi yang lahir pengadaan pompa, sodetan, betonisasi, dan sebagainya itu,” kata Nirwono Yoga saat dihubungi kemarin.
Yoga menjelaskan, setelah meneliti banjir pekan lalu, lembaganya hanya mendapatkan 30% atau 1/3 saluran yang berfungsi. Selebihnya dipenuhi sampah, limbah, lumpur, dan berbagai macam utilitas, termasuk pipa air bersih. Berdasarkan catatannya, drainase di Jakarta saat ini hanya mampu menampung 60- 70 milimeter dengan curah hujan sebesar 220 milimeter per hari. Padahal lima tahun terakhir curah hujan di Jakarta mencapai 360 milimeter per hari.
Meski terjadi peningkatan curah hujan, nyatanya Pemprov DKI Jakarta tidak mau memperbaiki drainase. Yoga menyarankan Pemprov DKI Jakarta memperbaiki drainase segera, dengan memperluasnya tiga kali lipat. Misalnya luas drainase yang hanya sekitar 50 cm diperluas menjadi 1 meter. Drainase di Jalan Sudirman, MH Thamrin, Istana, dan Gatot Subroto yang kini memiliki luas 1 meter diperlebar menjadi 3 meter.
”Kalau sudah diperluas, fungsi utilitas kabel bisa ditaruh di sebelah kanan, pipa di sebelah kiri, dan tengah untuk air. Jadi tidak ada lagi tumpang tindih,” desaknya. Selain perbaikan drainase, Pemprov DKI Jakarta harus mengaudit kembali tata ruang. Sebanyak 80% daerah resapan kini berubah fungsi menjadi bangunan keras. Hal itu bisa terlihat dari banjir yang lama merendam kawasan Kelapa Gading, Green Garden, dan Grogol.
Artinya, Pemprov DKI harus berani mengembalikan daerah resapan dengan membeli sejumlah tanah di kawasan tersebut untuk jadikan waduk atau situ. ”Tangani dulu yang ada di depan mata. Jangan malah mengalihkan isu dengan giant sea wall, apalagi deep tunnel ,” ungkapnya. Sebagai penanganan banjir jangka panjang, Yoga menantang Pemprov DKI Jakarta menunjukkan progres normalisasi 13 sungai yang merupakan penanganan utama mengendalikan banjir, selain waduk.
Dia melihat tidak ada satu pun sungai yang beres dikerjakan, apalagi waduk. Lebih baik Pemprov DKI Jakarta fokus menangani satu sungai hingga berhasil dalam waktu 2-3 tahun sehingga kali lainnya bisa menjadi duplikasi. Jika satu saja gagal, dia pesimistis perbaikan 13 sungai dapat berhasil. ”Waduk Pluit memang ada perkembangan, tetapi masih ada 7.000 warga yang belum direlokasi. Waduk Ria-Rio sangat lambat penanganannya. Ingat masih ada 42 waduk dan 14 situ yang belum tersentuh,” sebutnya.
Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono mengatakan, perbaikan drainase merupakan kewenangan Dinas Bina Marga. Namun, dia berpendapat drainase yang ada saat ini belum saatnya diperluas lantaran curah hujan 360 mm tidak terjadi setiap musim hujan. Untuk tata ruang, dinasnya akan berkoordinasi dengan pihak terkait lain.
”Masalahnya adalah merelokasi warga dari bantaran kali atau waduk. Kami kan menunggu pembangunan rusun,” ujarnya. Sesuai rencana yang sudah disepakati dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Agus menuturkan penanganan banjir dalam jangka panjang dilakukan dengan strategi tiga aliran, yakni barat, tengah, dan timur dengan anggaran Rp118 triliun.
Penanganan tiga aliran itu meliputi normalisasi, pengadaan pompa, dan membuat polder atau sumur resapan. Penanganan ketiga aliran dimulai tahun ini dengan memprioritaskan titik yang dinilai darurat. Di aliran timur diprioritaskan di Kelapa Gading dan Cawang.
Nantinya penanganan di sejumlah aliran sungai di kawasan timur itu diharapkan dapat mengeringkan banjir di sisi barat kawasan Kelapa Gading dan Cawang. Di aliran tengah, Agus memilih untuk terlebih dulu mengerjakan kawasan kali Ciliwung, Gunung Sahari, Banjir Kanal Barat, dan Kali Krukut. Dia berharap banjir di kawasan Kebon Baru, Bidara Cina, Sun g a i Mampang, dan Pondok Jaya hilang.
Untuk aliran Barat, penanganan diprioritaskan di Jalan S Parman, tepatnya depan Universitas Trisakti. Selain meninggikan tanggul di Kali Grogol yang melintas di kawasan tersebut, pompa dan pembuatan penampungan air ditambah. Kepala Dinas Bina Marga DKI JakartaYusmada Faizal menyatakan belum berencana memperbesar drainase.
Dinasnya berencana membuat sumur resapan dan menormalisasi kali penghubung sertai sungai-sungai. Apabila program ini berjalan normal, Yusmada mengklaim d r a i n a s e mampu menampung air di permukaan jalan. ”Drainase di pinggir jalan itu kan fungsinya menampung air di permukaan jalan. Kalau sumur resapan diperbanyak dan kali dinormalisasi, saya rasa fungsi awal drainase akan kembali normal. Tetapi kami akan berkoordinasi kembali dengan Dinas Tata Air untuk menangani drainase,” ujarnya.
Selain itu, Yusmada mengakui banjir menyebabkan sejumlah jalan tersebut rusak dan berlubang. Sedikitnya ada 700 titik yang rusak. Dari ratusan titik tersebut, 50% sudah diperbaiki dengan anggaran mendahului sebesar 30% dari total Rp40 miliar di masing-masing wilayah. Yusmada menjelaskan, setiap hari petugas Bina Marga mampu memperbaiki jalan dengan 90 ton aspal.
Dalam perhitungannya, setiap 1 ton digunakan untuk memperbaiki jalan seluas 12 meter persegi. ”Itu kalau nggak hujan. Kalau hujan ya berhenti,” katanya.
Bima setiyadi
(ars)