Merajut Kampus Inklusif

Sabtu, 14 Februari 2015 - 09:18 WIB
Merajut Kampus Inklusif
Merajut Kampus Inklusif
A A A
Muhammad Khambali.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ. Universitas Negeri Jakarta


Ada beragam pandangan mengenai cara untuk memajukan perguruan tinggi kita. Kebanyakan gagasan melulu mengenai riset dan tridarma.

Itu memang penting, tetapi kita jarang melihat bahwa kemajuan perguruan tinggi atau kampus dapat dilihat dari pemberian kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk berkuliah. Bagaimana kelompok penyandang disabilitas juga dapat mengenyam pendidikan tinggi? Kita kerap memungkiri hal itu.

Penyandang disabilitas adalah kelompok minoritas di negeri ini yang terus terabaikan dan terlupakan. Ada semacam stigma mengakar yang memandang kelompok penyandang disabilitas tidak mampu untuk berkuliah sehingga akses dan hak pendidikan bagi mereka ditutup. Cara pandang demikian adalah dangkal dan usang. Pada 20tahunlalu, dalamdeklarasiSalamanca tahun1994 yang terkenal, ide mengenai pendidikan untuk semua digagas oleh para menteri pendidikan sedunia.

Mereka menginsafi untuk menjamin hak pendidikan semuaorang tanpa memandang perbedaan ataupun kesulitan yang mungkin ada. Menggagas pendidikan yang inklusif. Sudah selayaknya kita sesegera mungkin menghapus kebijakan dan pandangan segregatif dalam perguruan tinggi kita. Sebab sebuah kemunduran ketika saat ini pendidikan dasar dan menengah tengah merajut sekolah inklusif meskipun itu masih banyak kekurangan.

Menciptakan kampus inklusif dapat dimulai dari proses seleksi masuk mahasiswa. Sampai pada pemenuhan layanan pendidikan dan lingkungan kampus yang aksesibel bagi para mahasiswa penyandang disabilitas seperti menyediakan braille dan guiding block bagi mahasiswa tunanetra. Gagasan inklusi sebenarnya mempersoalkan pemberian dan pemenuhan hak. Mengenai akses dan kesempatan pendidikan yang sama, adil, bermoral, dan egaliter.

Inilah yang belum diberikan oleh perguruan tinggi bagi kelompok penyandang disabilitas. Perguruan tinggi kita saat ini dipenuhi gagasan keseragaman, sebuah pandangan yang tidak mengindahkan keberagaman kelompok minoritas seperti penyandang disabilitas.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5155 seconds (0.1#10.140)