KY Minta Libatkan Perguruan Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) meminta pelibatan kalangan perguruan tinggi khususnya fakultas hukum dalam proses rekrutmen calon hakim.
Perguruan tinggi dapat diberdayakan dengan menyediakan calon terbaik untuk menduduki posisi hakim. Apalagi saat ini posisi hakim sebagai pejabat negara sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya sudah harus dipersiapkan sejak awal. “Kita sebenarnya mulai berpikir melibatkan perguruan tinggi. SDM hakim itu khusus, tidak semua orang bisa dan memang harus dihuni orang-orang istimewa,” ungkap Ketua KY Suparman Marzuki di Jakarta akhir pekan lalu.
Suparman menyatakan, keterlibatan perguruan tinggi bisa dari penyediaan calon hakim berkualitas. Langkah ini sudah berhasil diterapkan di Jepang dan Jerman. Dengan begitu, ada sistem di mana mahasiswanya didesain dan diarahkan sejak dari perguruan tinggi untuk menduduki posisi hakim dengan kualitas yang baik.
“Kalau di Jerman sama Jepang itu meski mereka tidak punya KY, sistem rekrutmennya sudah didesain sejak perguruan tinggi. Nah, mereka masuk pendidikan khusus, 10 orang terbaik direkomendasikan perguruan tinggi untuk menjadi hakim. Lalu sisanya jaksa, polisi. Kita belum punya yang seperti itu,” paparnya. Menanggapi gagasan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi mengatakan, untuk jangka panjang keterlibatan perguruan tinggi bisa saja dilakukan untuk menjaring calon hakim.
Menurut Yuddy, keterlibatan perguruan tinggi untuk mempersiapkan calon hakim bukan tidak mungkin akan memangkas biaya seleksi. “Mungkin bisa kalau memang kita bicara jangka panjang misalnya perguruan tinggi terbaik yang ada fakultas hukumnya itu bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA) lalu the best-nya mereka itu dikirim. Mungkin bisa nanti kalau itu pendidikannya khusus soal hakim,” ungkap Yuddy.
Menurut dia, terlibatnya perguruan tinggi bisa menjadi salah satu alternatif menghasilkan hakim dengan kualitas yang sudah dibangun sejak awal. Seperti di Jepang dan Jerman, nanti fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi terbaik bisa mengirimkan 10 orang yang diajukan sebagai hakim. Bahkan bisa juga kuota calon hakim yang dikirimkan perguruan tinggi menyesuaikan kebutuhan hakim saat itu.
“Misalnya tahun ini kita butuh 500, yadibagi secara proporsional ada sekian PT dibagi misalnya tiga orang atau perguruan tinggi terbaik kuotanya diperbesar. Ini otomatis bisa mempermurah biaya dan dapat kualitas yang terjaga, memperpendek masa pembinaan. Mungkin ini bisa ke depannya,”paparnya. Saat ini dunia peradilan tingkat pertama setidaknya kekurangan 500 hakim.
Kekurangan hakim ini karena tidak ada rekrutmen yang dilakukan sejak lima tahun terakhir sejak 2010. Perubahan status hakim sebagai pejabat negara dan ketiadaan payung hukum untuk pendidikan hakim menyebabkan ketidakjelasan rekrutmen hakim.
Nurul adriyana
Perguruan tinggi dapat diberdayakan dengan menyediakan calon terbaik untuk menduduki posisi hakim. Apalagi saat ini posisi hakim sebagai pejabat negara sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya sudah harus dipersiapkan sejak awal. “Kita sebenarnya mulai berpikir melibatkan perguruan tinggi. SDM hakim itu khusus, tidak semua orang bisa dan memang harus dihuni orang-orang istimewa,” ungkap Ketua KY Suparman Marzuki di Jakarta akhir pekan lalu.
Suparman menyatakan, keterlibatan perguruan tinggi bisa dari penyediaan calon hakim berkualitas. Langkah ini sudah berhasil diterapkan di Jepang dan Jerman. Dengan begitu, ada sistem di mana mahasiswanya didesain dan diarahkan sejak dari perguruan tinggi untuk menduduki posisi hakim dengan kualitas yang baik.
“Kalau di Jerman sama Jepang itu meski mereka tidak punya KY, sistem rekrutmennya sudah didesain sejak perguruan tinggi. Nah, mereka masuk pendidikan khusus, 10 orang terbaik direkomendasikan perguruan tinggi untuk menjadi hakim. Lalu sisanya jaksa, polisi. Kita belum punya yang seperti itu,” paparnya. Menanggapi gagasan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi mengatakan, untuk jangka panjang keterlibatan perguruan tinggi bisa saja dilakukan untuk menjaring calon hakim.
Menurut Yuddy, keterlibatan perguruan tinggi untuk mempersiapkan calon hakim bukan tidak mungkin akan memangkas biaya seleksi. “Mungkin bisa kalau memang kita bicara jangka panjang misalnya perguruan tinggi terbaik yang ada fakultas hukumnya itu bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA) lalu the best-nya mereka itu dikirim. Mungkin bisa nanti kalau itu pendidikannya khusus soal hakim,” ungkap Yuddy.
Menurut dia, terlibatnya perguruan tinggi bisa menjadi salah satu alternatif menghasilkan hakim dengan kualitas yang sudah dibangun sejak awal. Seperti di Jepang dan Jerman, nanti fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi terbaik bisa mengirimkan 10 orang yang diajukan sebagai hakim. Bahkan bisa juga kuota calon hakim yang dikirimkan perguruan tinggi menyesuaikan kebutuhan hakim saat itu.
“Misalnya tahun ini kita butuh 500, yadibagi secara proporsional ada sekian PT dibagi misalnya tiga orang atau perguruan tinggi terbaik kuotanya diperbesar. Ini otomatis bisa mempermurah biaya dan dapat kualitas yang terjaga, memperpendek masa pembinaan. Mungkin ini bisa ke depannya,”paparnya. Saat ini dunia peradilan tingkat pertama setidaknya kekurangan 500 hakim.
Kekurangan hakim ini karena tidak ada rekrutmen yang dilakukan sejak lima tahun terakhir sejak 2010. Perubahan status hakim sebagai pejabat negara dan ketiadaan payung hukum untuk pendidikan hakim menyebabkan ketidakjelasan rekrutmen hakim.
Nurul adriyana
(ftr)