Satu Spirit Dua Tokoh
A
A
A
Lukisan Diponegoro karya Raden Saleh dipajang di Galeri Nasional Indonesia (GNI) saat ini. Sama seperti Pangeran Diponegoro, Raden Saleh–salah satu perintis seni rupa modern Indonesia–memiliki spirit yang sama dengan Diponegoro tentang kesadaran nasional.
Sejatinya sejarah memang harus dikenali dan dipahami, bukan hanya menjadi kenangan dan cerita belaka. Sejarah bersifat dinamis dan tidak boleh ditasbihkan hanya sebagai mitos ataupun klenik. Termasuk sejarah tentang perjalanan pahlawan bangsa, Pangeran Diponegoro.
Sosoknya memang tak lagi asing. Banyak wajahnya yang memakai sorban panjang dan menunggang kuda dipasang di berbagai sudut ruang kelasdibanyaksekolahdiseluruh pelosok Indonesia. Pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini” tampaknya ingin kembali membangkitkan ingatan lawas itu.
Biasanya, kebanyakan masyarakat di Tanah Air mengenang Pangeran Diponegoro sebagai pejuang kemerdekaan abad ke-19 yang memimpin rakyat Jawa melawan kolonialisme Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Melaluipameranyangdiambil dari sudut pandang pelukis klasik, seniman kontemporer serta publik umum, ingatan-ingatan itu pun dibangkitkan kembali.
Di mata kurator seperti Jim Supangkat, bagian penting dalam pameran ini adalah penangkapan Diponegoro yang masih menjadi fokus utama. “Melalui pameran ini kita belajar bahwa sejarah tidak pernah tetap, bisa jadi lebih detil dan berubah. Kita harus kritikal terhadap sejarah karena sejarah bukan mitos,” tegasnya.
Jim mengutarakan, Raden Saleh baru dikenal sebagai sosok perintis seni rupa modern di Indonesia mulai 1980-an. Sedangkan sebelum 1980-an, Raden Saleh tidak dianggap sebagai seniman atau pelukis, malah dianggap sebagai pengkhianat karena bersekutu dengan Belanda. Lalu mengapa Diponegoro dicap sebagai ikon besar dalam sejarah? Karena, Diponegoro dinilai sebagai embrio nasionalisme yang mengarah ke tandatanda awal pemberontakan terhadap negara penjajah.
Terlebih, saat itu belum ada negara Indonesia. Sama halnya dengan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh juga tidak hanya berperan sebagai pelukis, perintis seni rupa modern Indonesia, tapi dia juga memiliki spirit yang sama dengan Diponegoro tentang kesadaran nasional pada abad ke-19. “Ini harus diteliti karena ada lapisan- lapisan kritik di setiap lukisan,” terangnya.
Bagi kurator lainnya, Peter Carey, pameran ini pada hakikatnya adalah mengenai jati diri bangsa. Dia menuturkan, semua bangsa yang memiliki jati diri harus mempunyai akal, jadi bisa mengetahui siapa dirinya, dan asal-usulnya. Dan, pameran ini menyingkap semua hal itu. Pameran ini pun diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan antara masa lalu dan sekarang.
Hal ini bertujuan untuk mendorong pemahaman yang lebih dalam akan ingatan budaya dan komemoratif, memungkinkan publik Indonesia untuk membangun sebuah gambar naratif akan masa lalu dan kemudian mengembangkan citra dan identitasnya sendiri. Tak hanya itu, pameran ini juga merupakan pameran monografi pertama dari karya sang pelukis di Tanah Airnya, dengan menghadirkan lukisan dan drawing dari koleksi pribadi dan publik.
Acara ini dibuka pada Kamis (5/02) malam di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta. Pameran dihelat selama sebulan lebih, yakni hingga 8 Maret. Acara pembukaan pameran cukup variatif. Mulai dari diskusi panel dan lokakarya, termasuk pameran paralel “Pangeran Diponegoro dalam Perspektif Belanda sejak 1800 Hingga Kini” yang digelar di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis.
Tak hanya itu, beberapa acara pun dihelat untuk anak-anak. Aku Diponegoro terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing mewakili pendekatan yang berbeda terhadap Diponegoro. Bagian pertama, Diponegoro di Mulut Sejarah Seni: Pembentukan seorang Pahlawan , memusatkan perhatian pada karya seni Indonesia yang memiliki topik Diponegoro.
Sorotan utamanya adalah lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) karya Raden Saleh yang baru saja direstorasi. Tak hanya itu, lukisan ini juga dilengkapi dengan sejumlah potret (semu) Diponegoro, karya seniman Tanah Air seperti Soedjono Abdullah, Basuki Abdullah, Harijadi Sumodidjojo dan banyak lainnya.
Pengunjung juga bisa melihat dokumentasi foto dan video yang menjelaskan proses restorasi yangsangat teliti, yangdikerjakan GRUPPE Koln (Cologne, Jerman) yang dipimpin Susanne Erhards.
Kemudian bagian kedua adalah “Diponegoro, Raden Saleh dan Sejarah di Mata Seniman Indonesia” memberikan kesempatan bagi sejumlah seniman Indonesia kontemporer. Di antaranya Srihadi Soedarsono, Heri Dono, Nasirun, Entang Wiharso dan lainnya.
Susi susanti
Sejatinya sejarah memang harus dikenali dan dipahami, bukan hanya menjadi kenangan dan cerita belaka. Sejarah bersifat dinamis dan tidak boleh ditasbihkan hanya sebagai mitos ataupun klenik. Termasuk sejarah tentang perjalanan pahlawan bangsa, Pangeran Diponegoro.
Sosoknya memang tak lagi asing. Banyak wajahnya yang memakai sorban panjang dan menunggang kuda dipasang di berbagai sudut ruang kelasdibanyaksekolahdiseluruh pelosok Indonesia. Pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini” tampaknya ingin kembali membangkitkan ingatan lawas itu.
Biasanya, kebanyakan masyarakat di Tanah Air mengenang Pangeran Diponegoro sebagai pejuang kemerdekaan abad ke-19 yang memimpin rakyat Jawa melawan kolonialisme Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Melaluipameranyangdiambil dari sudut pandang pelukis klasik, seniman kontemporer serta publik umum, ingatan-ingatan itu pun dibangkitkan kembali.
Di mata kurator seperti Jim Supangkat, bagian penting dalam pameran ini adalah penangkapan Diponegoro yang masih menjadi fokus utama. “Melalui pameran ini kita belajar bahwa sejarah tidak pernah tetap, bisa jadi lebih detil dan berubah. Kita harus kritikal terhadap sejarah karena sejarah bukan mitos,” tegasnya.
Jim mengutarakan, Raden Saleh baru dikenal sebagai sosok perintis seni rupa modern di Indonesia mulai 1980-an. Sedangkan sebelum 1980-an, Raden Saleh tidak dianggap sebagai seniman atau pelukis, malah dianggap sebagai pengkhianat karena bersekutu dengan Belanda. Lalu mengapa Diponegoro dicap sebagai ikon besar dalam sejarah? Karena, Diponegoro dinilai sebagai embrio nasionalisme yang mengarah ke tandatanda awal pemberontakan terhadap negara penjajah.
Terlebih, saat itu belum ada negara Indonesia. Sama halnya dengan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh juga tidak hanya berperan sebagai pelukis, perintis seni rupa modern Indonesia, tapi dia juga memiliki spirit yang sama dengan Diponegoro tentang kesadaran nasional pada abad ke-19. “Ini harus diteliti karena ada lapisan- lapisan kritik di setiap lukisan,” terangnya.
Bagi kurator lainnya, Peter Carey, pameran ini pada hakikatnya adalah mengenai jati diri bangsa. Dia menuturkan, semua bangsa yang memiliki jati diri harus mempunyai akal, jadi bisa mengetahui siapa dirinya, dan asal-usulnya. Dan, pameran ini menyingkap semua hal itu. Pameran ini pun diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan antara masa lalu dan sekarang.
Hal ini bertujuan untuk mendorong pemahaman yang lebih dalam akan ingatan budaya dan komemoratif, memungkinkan publik Indonesia untuk membangun sebuah gambar naratif akan masa lalu dan kemudian mengembangkan citra dan identitasnya sendiri. Tak hanya itu, pameran ini juga merupakan pameran monografi pertama dari karya sang pelukis di Tanah Airnya, dengan menghadirkan lukisan dan drawing dari koleksi pribadi dan publik.
Acara ini dibuka pada Kamis (5/02) malam di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta. Pameran dihelat selama sebulan lebih, yakni hingga 8 Maret. Acara pembukaan pameran cukup variatif. Mulai dari diskusi panel dan lokakarya, termasuk pameran paralel “Pangeran Diponegoro dalam Perspektif Belanda sejak 1800 Hingga Kini” yang digelar di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis.
Tak hanya itu, beberapa acara pun dihelat untuk anak-anak. Aku Diponegoro terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing mewakili pendekatan yang berbeda terhadap Diponegoro. Bagian pertama, Diponegoro di Mulut Sejarah Seni: Pembentukan seorang Pahlawan , memusatkan perhatian pada karya seni Indonesia yang memiliki topik Diponegoro.
Sorotan utamanya adalah lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) karya Raden Saleh yang baru saja direstorasi. Tak hanya itu, lukisan ini juga dilengkapi dengan sejumlah potret (semu) Diponegoro, karya seniman Tanah Air seperti Soedjono Abdullah, Basuki Abdullah, Harijadi Sumodidjojo dan banyak lainnya.
Pengunjung juga bisa melihat dokumentasi foto dan video yang menjelaskan proses restorasi yangsangat teliti, yangdikerjakan GRUPPE Koln (Cologne, Jerman) yang dipimpin Susanne Erhards.
Kemudian bagian kedua adalah “Diponegoro, Raden Saleh dan Sejarah di Mata Seniman Indonesia” memberikan kesempatan bagi sejumlah seniman Indonesia kontemporer. Di antaranya Srihadi Soedarsono, Heri Dono, Nasirun, Entang Wiharso dan lainnya.
Susi susanti
(ars)