Karangan Bunga : Imajinasi dan Birokrasi
A
A
A
Taufiq Ismail menggubah puisi tentang duka dan bunga. Puisi yang mendokumentasikan situasi Indonesia pada masa 1960-an. Lakon kekuasaan sedang buram. Kemanusiaan pun menjadi muram.
Kata-kata masih dimungkinkan dituliskan di kertas, ikhtiar mengabadikan tokoh dan kejadian. Puisi berjudul Karangan Bunga (1966) gubahan Taufiq Ismail biasa diajarkan di sekolah-sekolah, mengajak para murid untuk mengenang zaman tak keruan. Taufiq Ismail menulis: Tiga anak ketjil/ Dalam langkah malumalu/Datang ke Salemba/Sore itu/ “Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak jang ditembak mati/ Siang tadi.”
Puisi berempati, mengajukan tokoh anak kecil untuk turut mengerti tragedi di Salemba. Puisi bercerita, tak bermaksud sebagai propaganda. Taufiq Ismail mengajukan karangan bunga sebagai simbol, pengganti ucapan berduka. Karangan bunga pun mengartikan keindahan dan kewangian demi berdemokrasi.
Di karangan bunga, kita dapati pita hitam: lambang duka. Karangan bunga sering menceritakan episode-episode kekuasaan di Indonesia. Keserakahan dan kekuasaan disimbolkan oleh pelukis Djokopekik dengan celeng. Puluhan lukisan celeng memicu interpretasi atas situasi tak beres saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto.
Djokopekik sajikan simbol mencengangkan, tebar pesan agar publik mewaspadai lakon Orde Baru. Lukisan-lukisan celeng mengundang perhatian untuk kerja pemaknaan Indonesia. Sindhunata pun menulis buku cerita berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2001). Keberadaan celeng terakhir dan kematian para celeng penghancur bangsa tak memerlukan simpati atau air mata.
Djokopekik diceritakan mesti merenung lama untuk memberi judul lukisan. Detik demi detik berlalu. Djokopekik memberi judul “Tanpa Bunga dan Telegram Duka “. Sindhunata menulis: “Ia merasa judul itu indah dan teduh kedengarannya, tak mengandung rasa masgul, amarah, benci, dan dengki.”
Keruntuhan rezim Orde Baru tak memerlukan pengiriman karangan bunga atau tabur bunga di atas kuburan. Dua episode bersejarah 1965 dan 1998 telah berlalu. Sekarang, kita masih terus memikirkan kebermaknaan karangan bunga. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandy sibuk berpikir tentang karangan bunga, berkonteks agenda penghematan anggaran negara.
Sang menteri mengeluarkan kebijakan larangan pengiriman karangan bunga oleh sesama pejabat. Tradisi ingin diubah berargumentasi ongkos dan kepatutan. Di Indonesia, kebiasaan mengirim karangan bunga sebagai simbol untuk selebrasi pernikahan, pelantikan pejabat, ulang tahun, peresmian gedung, dan kematian telah menjadi tradisi panjang meski jarang bermakna.
Pemerintah ingin ada penghematan dan perubahan model interaksi di kalangan pejabat. Di Indonesia, peraturan resmi bertanda tangan pejabat dan cap pemerintah tapi jarang ditaati. Kebiasaan mengirim karangan bunga masih ditemukan saat Megawati Soekarnoputri berulang tahun ke-68, 23 Januari 2015.
Pejabat masih berkepentingan mengirim karangan bunga ke rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar 27, Menteng, Jakarta Pusat. Barangkali mereka menggunakan anggaran sendiri tapi mengesankan tak mengerti peraturan. Karangan bunga memang indah meski mulai mendapat pemaknaan berbeda berdalih reformasi birokrasi dan penghematan anggaran negara.
Kita bisa mengutip dari Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana, ditetapkan pada 20 November 2014. Kita baca penjelasan nomor 3: “Tidak memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan.” Kita bisa memberi tafsir bahwa kebiasaan saling memberi karangan bunga di kalangan birokrasi tak perlu dilanjutkan ke para elite partai politik, pengusaha, atau tokoh publik.
Pengamalan aturan di jajaran birokrasi memungkinkan tak ada lagi selebrasi karangan bunga berdalih penghormatan atau penguatan status sosial. Karangan bunga mulai tak terlalu bermakna bagi kerja birokrasi atau pemaknaan sosial-kultural. Kita masih memiliki ingatan atas karangan bunga dalam puisi gubahan Taufiq Ismail dan novel garapan Sindhunata.
Kita berhak mengenang sesuai konteks politik masa lalu. Sekarang, jajaran karangan bunga di halaman rumah pejabat kadang menjadi keangkuhan berdalih otoritas dan popularitas. Kita tak ingin lagi mendefinisikan pejabat melalui jumlah karangan bunga saat pelantikan atau mengadakan hajatan-hajatan sosial.
Karangan bunga adalah tradisi masa silam, mendingan tak berlanjut menjadi simbol berkonteks revolusi mental dan Tri Sakti. Kita malah ingin membahasakan para pejabat atau kaum birokrat adalah “bunga bangsa” alias pengabdi kepentingan bangsa dan negara. Mereka adalah pemberi keindahan dan wangi tanpa harus menjadi karangan bunga untuk dipajang dan dibuang ke tepat sampah. Begitu.
BANDUNG MAWARDI
Pengelola Jagat Abjad Solo Menulis di
bandungmawardi.wordpress.com
Kata-kata masih dimungkinkan dituliskan di kertas, ikhtiar mengabadikan tokoh dan kejadian. Puisi berjudul Karangan Bunga (1966) gubahan Taufiq Ismail biasa diajarkan di sekolah-sekolah, mengajak para murid untuk mengenang zaman tak keruan. Taufiq Ismail menulis: Tiga anak ketjil/ Dalam langkah malumalu/Datang ke Salemba/Sore itu/ “Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak jang ditembak mati/ Siang tadi.”
Puisi berempati, mengajukan tokoh anak kecil untuk turut mengerti tragedi di Salemba. Puisi bercerita, tak bermaksud sebagai propaganda. Taufiq Ismail mengajukan karangan bunga sebagai simbol, pengganti ucapan berduka. Karangan bunga pun mengartikan keindahan dan kewangian demi berdemokrasi.
Di karangan bunga, kita dapati pita hitam: lambang duka. Karangan bunga sering menceritakan episode-episode kekuasaan di Indonesia. Keserakahan dan kekuasaan disimbolkan oleh pelukis Djokopekik dengan celeng. Puluhan lukisan celeng memicu interpretasi atas situasi tak beres saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto.
Djokopekik sajikan simbol mencengangkan, tebar pesan agar publik mewaspadai lakon Orde Baru. Lukisan-lukisan celeng mengundang perhatian untuk kerja pemaknaan Indonesia. Sindhunata pun menulis buku cerita berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2001). Keberadaan celeng terakhir dan kematian para celeng penghancur bangsa tak memerlukan simpati atau air mata.
Djokopekik diceritakan mesti merenung lama untuk memberi judul lukisan. Detik demi detik berlalu. Djokopekik memberi judul “Tanpa Bunga dan Telegram Duka “. Sindhunata menulis: “Ia merasa judul itu indah dan teduh kedengarannya, tak mengandung rasa masgul, amarah, benci, dan dengki.”
Keruntuhan rezim Orde Baru tak memerlukan pengiriman karangan bunga atau tabur bunga di atas kuburan. Dua episode bersejarah 1965 dan 1998 telah berlalu. Sekarang, kita masih terus memikirkan kebermaknaan karangan bunga. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandy sibuk berpikir tentang karangan bunga, berkonteks agenda penghematan anggaran negara.
Sang menteri mengeluarkan kebijakan larangan pengiriman karangan bunga oleh sesama pejabat. Tradisi ingin diubah berargumentasi ongkos dan kepatutan. Di Indonesia, kebiasaan mengirim karangan bunga sebagai simbol untuk selebrasi pernikahan, pelantikan pejabat, ulang tahun, peresmian gedung, dan kematian telah menjadi tradisi panjang meski jarang bermakna.
Pemerintah ingin ada penghematan dan perubahan model interaksi di kalangan pejabat. Di Indonesia, peraturan resmi bertanda tangan pejabat dan cap pemerintah tapi jarang ditaati. Kebiasaan mengirim karangan bunga masih ditemukan saat Megawati Soekarnoputri berulang tahun ke-68, 23 Januari 2015.
Pejabat masih berkepentingan mengirim karangan bunga ke rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar 27, Menteng, Jakarta Pusat. Barangkali mereka menggunakan anggaran sendiri tapi mengesankan tak mengerti peraturan. Karangan bunga memang indah meski mulai mendapat pemaknaan berbeda berdalih reformasi birokrasi dan penghematan anggaran negara.
Kita bisa mengutip dari Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana, ditetapkan pada 20 November 2014. Kita baca penjelasan nomor 3: “Tidak memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan.” Kita bisa memberi tafsir bahwa kebiasaan saling memberi karangan bunga di kalangan birokrasi tak perlu dilanjutkan ke para elite partai politik, pengusaha, atau tokoh publik.
Pengamalan aturan di jajaran birokrasi memungkinkan tak ada lagi selebrasi karangan bunga berdalih penghormatan atau penguatan status sosial. Karangan bunga mulai tak terlalu bermakna bagi kerja birokrasi atau pemaknaan sosial-kultural. Kita masih memiliki ingatan atas karangan bunga dalam puisi gubahan Taufiq Ismail dan novel garapan Sindhunata.
Kita berhak mengenang sesuai konteks politik masa lalu. Sekarang, jajaran karangan bunga di halaman rumah pejabat kadang menjadi keangkuhan berdalih otoritas dan popularitas. Kita tak ingin lagi mendefinisikan pejabat melalui jumlah karangan bunga saat pelantikan atau mengadakan hajatan-hajatan sosial.
Karangan bunga adalah tradisi masa silam, mendingan tak berlanjut menjadi simbol berkonteks revolusi mental dan Tri Sakti. Kita malah ingin membahasakan para pejabat atau kaum birokrat adalah “bunga bangsa” alias pengabdi kepentingan bangsa dan negara. Mereka adalah pemberi keindahan dan wangi tanpa harus menjadi karangan bunga untuk dipajang dan dibuang ke tepat sampah. Begitu.
BANDUNG MAWARDI
Pengelola Jagat Abjad Solo Menulis di
bandungmawardi.wordpress.com
(bbg)