MK Nilai Pilkada Bukan Rezim Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan kembali kepada DPR atas putusan MK bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan rezim pemilu. Karena itu Penyelenggara pilkada bukan menjadi kewenangan KPU, melainkan Pemda.
“Putusan MK ini berlaku untuk semua termasuk pembentuk undang-undang(DPR). Jadisaat ini terjadi debatable apakah KPU atau pemerintah daerah penyelenggaranya?” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman seusai rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan MK di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Rambe mengakui MK memberikan keleluasaan kepada DPR mengenai siap yang berhak menjadi penyelenggara pilkada. Namun, putusan MK menegaskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, apalagi terkait penyelenggara pilkada ini sudah digugat sebanyak dua kali. Selain itu, lanjut Rambe, peradilan sengketa pilkada juga menjadi perdebatan dengan MK. Karena pilkada bukan rezim pemilu, MK menolak untuk menangani sengketa pilkada.
Dengan begitu, peradilan sengketa pilkada akan masuk ke MA. “MAenggak boleh tolak kalau ini sudah diputuskan, soal bagaimana teknisnya nanti diatur lagi ke bawah,” imbuhnya. Adapun wacana pembuatan peradilan khusus pilkada, menurut Rambe, masih dalam kajian. Prinsipnya dalam revisi UU Pilkada semua akan dikaji dan diakomodasi termasuk usulan pembuatan peradilan khusus dan penambahan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ikut menangani sengketa pilkada.
“Kalau kita mau perkuat Bawaslu. Kuat enggak Bawaslu dengan fungsinya?” ujar politikus Partai Golkar itu. Selain itu, kata Rambe, MK juga menjelaskan bahwa maksud dari pemilu serentak yang dimaksud MK adalah serentak antara pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). “Jadi, apakah pilkada serentak siklusnya dibagi tiga gelombang atau hanya satu gelombang. Dari penjelasan tadi diserahkan kepada DPR,” ucapnya.
Sementara itu, hakim MK Patrialis Akbar mengatakan, MK dalam pertemuan konsultasi ini membatasi diri dengan hanya menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh DPR sejauh hal itu berkaitan dengan putusan MK. “Kami tidak memberikan opini di luar putusan MK,” kata Patrialis. Patrialis menjelaskan, sebelumnya MK memutuskan bahwa pilkada bukanlah bagian dari rezim pemilu. Keputusan ini berdasarkan Pasal 22E UUD 1945.
Sementara pilkada diatur dalam pasal berbeda yakni Pasal 18 UUD 1945. Karena itu mengacu pada konstitusi, posisinya sudah jelas antara pilkada dan pemilu. “Terserah pada pembentuk UU. Itu di luar kom-petensi dari kami. Kami menghormati undangan yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada MK,” ucapnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta KPU tidak melakukan tahapan pilkada hingga revisi UU Pilkada selesai. Menurut dia, meski sudah ada payung hukum tentang UU Pilkada, saat ini posisi penyelenggara pilkadanya belum jelas. “Kami berharap revisi segera tuntas agar ada kepastian. Dalam proses revisi sebaiknya penyelenggara pemilu tidak melakukan tahapan-tahapan pilkada,” kata dia.
Menurut dia, berdasarkan penjelasan hakim MK, DPR memahami bahwa pilkada tak lagi masuk rezim pemilu, melainkan rezim pemerintahan daerah (pemda). Karena itu, posisi penyelenggara pilkada menjadi tidak pasti, apakah KPU atau bukan. Karena itu, kata Fadli, Komisi II DPR akan membahas terlebih dahulu revisi UU Pilkada sehingga Komisi II akan memastikan sejumlah masukan dari semua fraksi mengenai revisi UU tersebut.
“Kita kan masih ada waktu sampai 18 Februari untuk melakukan ini (revisi UU Pilkada),” kata dia. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menilai ranah pemilihan kepala daerah (pilkada) masih berada di bawah naungan KPU. Itu didasarkan pada asas dari proses pemilihan dalam pilkada yang juga menggunakan kaidah-kaidah dalam pemilu nasional.
“Asas pemilihannya kan sama, jadi ya pemilihan umum juga,” kata Hadar. Dengan menganut sistem pemilu yang langsung, umum, bebas rahasia, pilkada juga dapat dikatakan bagian dari pemilu. “Sekarang pemilihan itu prinsip penyelenggaraannya sepertiapa sih? ternyataprinsipnya sama dengan prinsip penyelenggaraan pemilu jurdil, luber, dan sebagainya,” lanjutnya.
Menurut dia, sebagai penyelenggara pemilu di tingkat daerah, KPU provinsi maupun kabupaten/ kota juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari KPU. Sangat tidak tepat apabila pilkada hanya dibebankan pada KPU di tingkat daerah. “Kan lucu juga mereka itu bukan lembaga yang tersendiri dari kami, mereka juga bagian KPU. Buat apa KPU dibentuk kalau pilkada justru diselenggarakan oleh yang lain, kan mubazir,” ucapnya.
Senada, Ketua KPU Husni KamilManikmengatakan, kewajiban KPU menyelenggarakan pilkada terangkum dalam UU penyelenggara pemilu di mana mereka diperintahkan untuk menjalankan tugas pilkada sebagai perintah terakhir.
“Selagi UU menyatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota merupakan tanggung jawab bersama KPU, KPU provinsi, dan kabupaten/kota maka itulah yang berlaku,” kata Husni.
Kiswondari/ Dian ramadhani
“Putusan MK ini berlaku untuk semua termasuk pembentuk undang-undang(DPR). Jadisaat ini terjadi debatable apakah KPU atau pemerintah daerah penyelenggaranya?” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman seusai rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan MK di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Rambe mengakui MK memberikan keleluasaan kepada DPR mengenai siap yang berhak menjadi penyelenggara pilkada. Namun, putusan MK menegaskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, apalagi terkait penyelenggara pilkada ini sudah digugat sebanyak dua kali. Selain itu, lanjut Rambe, peradilan sengketa pilkada juga menjadi perdebatan dengan MK. Karena pilkada bukan rezim pemilu, MK menolak untuk menangani sengketa pilkada.
Dengan begitu, peradilan sengketa pilkada akan masuk ke MA. “MAenggak boleh tolak kalau ini sudah diputuskan, soal bagaimana teknisnya nanti diatur lagi ke bawah,” imbuhnya. Adapun wacana pembuatan peradilan khusus pilkada, menurut Rambe, masih dalam kajian. Prinsipnya dalam revisi UU Pilkada semua akan dikaji dan diakomodasi termasuk usulan pembuatan peradilan khusus dan penambahan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ikut menangani sengketa pilkada.
“Kalau kita mau perkuat Bawaslu. Kuat enggak Bawaslu dengan fungsinya?” ujar politikus Partai Golkar itu. Selain itu, kata Rambe, MK juga menjelaskan bahwa maksud dari pemilu serentak yang dimaksud MK adalah serentak antara pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). “Jadi, apakah pilkada serentak siklusnya dibagi tiga gelombang atau hanya satu gelombang. Dari penjelasan tadi diserahkan kepada DPR,” ucapnya.
Sementara itu, hakim MK Patrialis Akbar mengatakan, MK dalam pertemuan konsultasi ini membatasi diri dengan hanya menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh DPR sejauh hal itu berkaitan dengan putusan MK. “Kami tidak memberikan opini di luar putusan MK,” kata Patrialis. Patrialis menjelaskan, sebelumnya MK memutuskan bahwa pilkada bukanlah bagian dari rezim pemilu. Keputusan ini berdasarkan Pasal 22E UUD 1945.
Sementara pilkada diatur dalam pasal berbeda yakni Pasal 18 UUD 1945. Karena itu mengacu pada konstitusi, posisinya sudah jelas antara pilkada dan pemilu. “Terserah pada pembentuk UU. Itu di luar kom-petensi dari kami. Kami menghormati undangan yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada MK,” ucapnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta KPU tidak melakukan tahapan pilkada hingga revisi UU Pilkada selesai. Menurut dia, meski sudah ada payung hukum tentang UU Pilkada, saat ini posisi penyelenggara pilkadanya belum jelas. “Kami berharap revisi segera tuntas agar ada kepastian. Dalam proses revisi sebaiknya penyelenggara pemilu tidak melakukan tahapan-tahapan pilkada,” kata dia.
Menurut dia, berdasarkan penjelasan hakim MK, DPR memahami bahwa pilkada tak lagi masuk rezim pemilu, melainkan rezim pemerintahan daerah (pemda). Karena itu, posisi penyelenggara pilkada menjadi tidak pasti, apakah KPU atau bukan. Karena itu, kata Fadli, Komisi II DPR akan membahas terlebih dahulu revisi UU Pilkada sehingga Komisi II akan memastikan sejumlah masukan dari semua fraksi mengenai revisi UU tersebut.
“Kita kan masih ada waktu sampai 18 Februari untuk melakukan ini (revisi UU Pilkada),” kata dia. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menilai ranah pemilihan kepala daerah (pilkada) masih berada di bawah naungan KPU. Itu didasarkan pada asas dari proses pemilihan dalam pilkada yang juga menggunakan kaidah-kaidah dalam pemilu nasional.
“Asas pemilihannya kan sama, jadi ya pemilihan umum juga,” kata Hadar. Dengan menganut sistem pemilu yang langsung, umum, bebas rahasia, pilkada juga dapat dikatakan bagian dari pemilu. “Sekarang pemilihan itu prinsip penyelenggaraannya sepertiapa sih? ternyataprinsipnya sama dengan prinsip penyelenggaraan pemilu jurdil, luber, dan sebagainya,” lanjutnya.
Menurut dia, sebagai penyelenggara pemilu di tingkat daerah, KPU provinsi maupun kabupaten/ kota juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari KPU. Sangat tidak tepat apabila pilkada hanya dibebankan pada KPU di tingkat daerah. “Kan lucu juga mereka itu bukan lembaga yang tersendiri dari kami, mereka juga bagian KPU. Buat apa KPU dibentuk kalau pilkada justru diselenggarakan oleh yang lain, kan mubazir,” ucapnya.
Senada, Ketua KPU Husni KamilManikmengatakan, kewajiban KPU menyelenggarakan pilkada terangkum dalam UU penyelenggara pemilu di mana mereka diperintahkan untuk menjalankan tugas pilkada sebagai perintah terakhir.
“Selagi UU menyatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota merupakan tanggung jawab bersama KPU, KPU provinsi, dan kabupaten/kota maka itulah yang berlaku,” kata Husni.
Kiswondari/ Dian ramadhani
(ars)