Saatnya Perppu dan Komite Etik KPK

Kamis, 29 Januari 2015 - 10:23 WIB
Saatnya Perppu dan Komite...
Saatnya Perppu dan Komite Etik KPK
A A A
Gede Pasek Suardika SH MH
Anggota DPD RI, Sekjen Pimnas PPI

Polemik KPK-Polri makin menarik dikaji secara hukum. Sebab posisi dilematis secara hukum, multitafsir soal isi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan berbagai ideterobosan hukum berwacana di publik.

Namun, yang pasti polemik tidak produktif itu harus diakhiri. Karena masalah hukum, penyelesaiannya pun harus dengan pendekatan hukum. Saat ini calon Kepala Polri Komjen Budi Gunawan (BG) berstatus tersangka oleh KPK dengan sangkaan tindak pidana pada 2003-2006 dan mandek pelantikannya.

Di sisi lain, wakil ketua KPK Bambang Widjajanto (BW) juga berstatus tersangka kasus saksi palsu di Mahkamah Konstitusi dari kasus Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Tidak hanya itu, wakil ketua lain Adnan Pandu Praja juga dalam posisi sebagai terlapor soal memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik untuk sebuah kasus yang ada di Kalimantan Timur. Zulkarnaen juga dilaporkan untuk kasus suap saat menjadi Kajati Jatim.

Ketiganya dilaporkan untuk kasus yang terjadi saat yang bersangkutan belum menjadi komisioner. Hanya ketua KPK Abraham Samad yang dilaporkan terkait kasus saat dirinya menjadi komisioner yaitu kasus dugaan menjual pengaruh sebagai komisioner dalam kasus kader PDIP Emir Moeis dan kasus tindak pidana pencucian uang.

Belum jelas bagaimana kasus yang dilaporkan untuk Abraham Samad. Namun, sebelumnya Plt Sekjen Hasto Kristyanto sempat membeber ada pertemuan sampai enam kali dengan Ketua KPK Abraham Samad yang ingin menjadi wakil presiden dengan menunjukkan perannya telah memperingan hukuman kaderkader PDIP yang terkena kasus korupsi.

Di sisi lain, isu soal rekening gendut itu bukanlah hanya menimpa BG. Masih ada banyak petinggi Polri juga diduga terlibat rekening gendut. Kalau semua itu juga dijadikan tersangka oleh KPK, akan semakin heboh. Republik ini makin gaduh.

*** Melihat hal ini, sudah saatnya dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu) oleh Presiden Jokowi. Posisi saat ini secara kondisi objektif sudah memenuhi syarat kondisi kegentingan yang memaksa dalam program penegakan hukum. Ada dua institusi penegak hukum yaitu Polri dan KPK dalam masalah di pucuk pimpinannya.

Hanya, bukan perppu untuk imunitas komisioner KPK seperti yang banyak didengungkan oleh beberapa kalangan. Justru perppu yang harus dibuat adalah perppu yang mengatur percepatan pergantian semua komisioner KPK di UU No 30 Tahun 2002 dan perppu tentang mekanisme pergantian kepala Polri yang diatur dalam UU No 2 Tahun 2002.

Mekanismepenggantian yang dipercepat justru akan jauh lebih menyehatkan daripada membiarkan KPK ditangani oleh komisioner yang cacat dan bermasalah secara hukum. Perppu untuk UU KPK berisi tentang ketentuan percepatan pembentukan panitia seleksi, mekanisme mengisi kekosongan komisioner agar tetap berjumlah lima orang.

Selain itu, pengaturan soal penyadapan, pembentukan lembaga pengawas juga bisa dimasukkan dalam perppu tersebut. KPK sudah saatnya sebagai lembaga superbodi juga memiliki lembaga pengawas agar kinerjanya tetap profesional dan fokus sebagai penegakan hukum yang ad hoc .

Di sisi lain perppu terkait UU Polri juga mengatur mekanisme pembatalan keputusan DPR yang telah menyetujui kepala Polri yang dipilih Presiden sehingga ada mekanisme untuk penggantian calon kepala Polri yang telah ditetapkan DPR. Selain itu, KPK juga harus segera membentuk Komite Etik. Ada beberapa kesalahan mendasar yang dilakukan ketua KPK. Seperti yang dituduhkan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristyanto itu sangat mendasar sekali.

Kesalahan yang kedua adalah sikap tiga komisioner KPK (Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja) yang mengambil sikap menolak pengunduran diri BW sesuai perintah UU KPK. Tidak ada kewenangan dari tiga pimpinan tersebut untuk menolak atau menerima pengunduran diri tersebut.

Karena itu, perintah UU yang harus dijalankan. KPK adalah pelaksana UU, bukan pembuat UU sehingga tidak bisa menjadikan dirinya bebas menafsirkan sendiri isi UU. Berhenti sementara atau berhenti tetap adalah aturan yang tegas diatur dalam UU KPK bagi komisioner yang menjadi tersangka atau terdakwa. Problemnya, apa bisa Komite Etik dibentuk? Sebab yang bermasalah semua komisionernya.

Sementara yang harus berinisiatif membentuk adalah para komisioner itu sendiri dengan melibatkan tokoh independen. Karena itu, kalau Komite Etik tidak mau dibentuk dengan alasan subjektif, Perppu UU KPK harus mengatur lembaga pengawas KPK yang bisa memeriksa secara etik atas penyimpangan perilaku para komisioner. Jadi perppu tentang UU KPK sangat diperlukan, tetapi bukan untuk perppu meminta kekebalan bagi komisionernya.

Biarlah soal kekebalan menjadi kekayaan budaya spiritual Nusantara dengan ilmu debus, rawe rontek , ajian pancasona, atau benda-benda unik seperti besi kuning, rantai babi, kul buntet, dan lainnya. Atau kekebalan untuk kepentingan kesehatan seperti vaksinasi dan imunisasi. Untuk hukum, tetaplah semua orang sama di depan hukum (equality before the law).
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1565 seconds (0.1#10.140)