Perempuan asal Jerman Sukses Menjadi Fotografer di Georgia
A
A
A
Georgia adalah salah satu negara yang dihindari lantaran banyaknya penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang serta menjadi basis kaum Islam radikal.
Namun bagi Devi Asmadiredja, Georgia adalah rumah terbaik. Empat tahun lalu Asmadiredja hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang menetap di Jerman bersama suami dan dua anaknya. Tapi, pada suatu hari suaminya memaksa Asmadiredja untuk meninggalkan negara itu, menyuruhnya belajar bahasa Chechnya di sebuah pondok kecil di Georgia.
Tiket pesawat dan akomodasi sudah dipersiapkan untuk Asmadiredja. Namun setelah menempuh jarak 3.000 kilometer, Asmadiredja tak menemukan satu pun guru. Yang ada hanyalah sebuah pondok kecil tua. Asmadiredja berusaha mencari penjelasan namun sang suami tidak menggubrisnya dan bahkan menyuruhnya untuk tidak kembali ke Jerman.
Sejak itulah Asmadiredja sadar bahwa dirinya tengah dibuang jauh dari Jerman, jauh dari anak-anaknya. Hingga akhirnya Pankisi menjadi kota tempat Asmadiredja membuka lembaran baru. Daerah yang terkenal karena penjualan obat-obatan terlarang, penyelundupan senjata, dan tempat lahirnya salah satu pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Abu Omar al-Shishani.
Ketika orang-orang menghindari daerah ini, Asmadiredja justru menjadikan Pankisi sebagai tempat berlindung. “Saat tiba di sana saya tidak memiliki apa pun bahkan tidak mengenal satu pun orang di sana,” terang Asmadiredja, dilansir BBC. Dengan uang seadanya, Asmadiredja meminta penduduk setempat untuk mengajarkan bahasa Chechnya serta memberikan akomodasi untuk beberapa hari.
Tak membutuhkan waktu lama Asmadiredja mampu menguasai bahasa Chechnya dengan baik dan memiliki nama baru, Khedijat. Namun keberadaannya yang seorang diri dan memiliki tujuh tato serta membawa belati khas Indonesia membuatnya dicurigai oleh para imam. Dia dituduh sebagai mata-mata Rusia. Asmadiredja terpaksa bermigrasi ke daerah lain sebelum para imam mengajak masyarakat setempat untuk memburunya.
Atas arahan beberapa orang kampung, Asmadiredja pergi ke pegunungan, tinggal di sebuah bangunan batu sederhana tanpa pemanas, listrik, dan air yang mengalir. Hanya satu kenyamanan modern yang Asmadiredja dapat yakni ponsel dengan kamera yang dicharge menggunakan solar. Selama dua bulan Asmadiredja menghabiskan hidup sendiri. Dia mendapat makanan dari sumbangan yang sesekali diberikan oleh para gembala yang kebetulan melewati pondok.
Namun, Asmadiredja tak ingin terus hidup seperti itu dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melintasi Desa Khevsureti, Tusheti, dan sebagian besar pegunungan terpencil Georgia.
“Saya tidak punya pilihan, jika ingin tetap hidup saya harus terus berjalan,” kata Asmadiredja. Tapi, perjalanan itu juga tidak mudah. Beberapa gembala jarang melihat perempuan seperti Asmadiredja. Tak jarang Asmadiredja harus beradu dengan banyak pria untuk mempertahankan hidup dan kehormatannya. Ketika kehebatannya melawan pria terdengar di seantaro Georgia, tak ada lagi gembala yang berani mengganggu.
Di sinilah perubahan hidupnya mulai terjadi. Sebagai satu-satunya perempuan yang pandai berbahasa Inggris, Jerman, dan Cechnya, Asmadiredja ditawari pekerjaan oleh sebuah agen perjalanan Jerman untuk menjadi pemandu wisata.
Dia mendapat USD100 per hari untuk memandu wisatawan yang ingin menjelajahi pegunungan Kaukasus. Hidupnya terus berubah ketika seorang kawan memberinya kamera sehingga Asmadiredja dapat menyalurkan hobinya memotret.
Selama memandu ia pun memotret kehidupan Pankisi. Tak disangka, foto-fotonya banyak diminati dan kini sudah terpampang di galeri di seluruh Tbilisi. Kini Asmadiredja mengaku lebih bahagia menjalani hidup dan sudah melupakan keluarganya di Jerman.
“Saya tidak berencana kembali ke Jerman karena belum tentu saya diterima oleh mereka. Saya memiliki kehidupan baru di sini di pegunungan Georgia yang membuat saya merasa lebih bebas,” ungkap Asmadiredja.
Rini Agustina
Namun bagi Devi Asmadiredja, Georgia adalah rumah terbaik. Empat tahun lalu Asmadiredja hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang menetap di Jerman bersama suami dan dua anaknya. Tapi, pada suatu hari suaminya memaksa Asmadiredja untuk meninggalkan negara itu, menyuruhnya belajar bahasa Chechnya di sebuah pondok kecil di Georgia.
Tiket pesawat dan akomodasi sudah dipersiapkan untuk Asmadiredja. Namun setelah menempuh jarak 3.000 kilometer, Asmadiredja tak menemukan satu pun guru. Yang ada hanyalah sebuah pondok kecil tua. Asmadiredja berusaha mencari penjelasan namun sang suami tidak menggubrisnya dan bahkan menyuruhnya untuk tidak kembali ke Jerman.
Sejak itulah Asmadiredja sadar bahwa dirinya tengah dibuang jauh dari Jerman, jauh dari anak-anaknya. Hingga akhirnya Pankisi menjadi kota tempat Asmadiredja membuka lembaran baru. Daerah yang terkenal karena penjualan obat-obatan terlarang, penyelundupan senjata, dan tempat lahirnya salah satu pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Abu Omar al-Shishani.
Ketika orang-orang menghindari daerah ini, Asmadiredja justru menjadikan Pankisi sebagai tempat berlindung. “Saat tiba di sana saya tidak memiliki apa pun bahkan tidak mengenal satu pun orang di sana,” terang Asmadiredja, dilansir BBC. Dengan uang seadanya, Asmadiredja meminta penduduk setempat untuk mengajarkan bahasa Chechnya serta memberikan akomodasi untuk beberapa hari.
Tak membutuhkan waktu lama Asmadiredja mampu menguasai bahasa Chechnya dengan baik dan memiliki nama baru, Khedijat. Namun keberadaannya yang seorang diri dan memiliki tujuh tato serta membawa belati khas Indonesia membuatnya dicurigai oleh para imam. Dia dituduh sebagai mata-mata Rusia. Asmadiredja terpaksa bermigrasi ke daerah lain sebelum para imam mengajak masyarakat setempat untuk memburunya.
Atas arahan beberapa orang kampung, Asmadiredja pergi ke pegunungan, tinggal di sebuah bangunan batu sederhana tanpa pemanas, listrik, dan air yang mengalir. Hanya satu kenyamanan modern yang Asmadiredja dapat yakni ponsel dengan kamera yang dicharge menggunakan solar. Selama dua bulan Asmadiredja menghabiskan hidup sendiri. Dia mendapat makanan dari sumbangan yang sesekali diberikan oleh para gembala yang kebetulan melewati pondok.
Namun, Asmadiredja tak ingin terus hidup seperti itu dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melintasi Desa Khevsureti, Tusheti, dan sebagian besar pegunungan terpencil Georgia.
“Saya tidak punya pilihan, jika ingin tetap hidup saya harus terus berjalan,” kata Asmadiredja. Tapi, perjalanan itu juga tidak mudah. Beberapa gembala jarang melihat perempuan seperti Asmadiredja. Tak jarang Asmadiredja harus beradu dengan banyak pria untuk mempertahankan hidup dan kehormatannya. Ketika kehebatannya melawan pria terdengar di seantaro Georgia, tak ada lagi gembala yang berani mengganggu.
Di sinilah perubahan hidupnya mulai terjadi. Sebagai satu-satunya perempuan yang pandai berbahasa Inggris, Jerman, dan Cechnya, Asmadiredja ditawari pekerjaan oleh sebuah agen perjalanan Jerman untuk menjadi pemandu wisata.
Dia mendapat USD100 per hari untuk memandu wisatawan yang ingin menjelajahi pegunungan Kaukasus. Hidupnya terus berubah ketika seorang kawan memberinya kamera sehingga Asmadiredja dapat menyalurkan hobinya memotret.
Selama memandu ia pun memotret kehidupan Pankisi. Tak disangka, foto-fotonya banyak diminati dan kini sudah terpampang di galeri di seluruh Tbilisi. Kini Asmadiredja mengaku lebih bahagia menjalani hidup dan sudah melupakan keluarganya di Jerman.
“Saya tidak berencana kembali ke Jerman karena belum tentu saya diterima oleh mereka. Saya memiliki kehidupan baru di sini di pegunungan Georgia yang membuat saya merasa lebih bebas,” ungkap Asmadiredja.
Rini Agustina
(ars)