Kebijakan Anggaran dan Jaminan Sosial

Selasa, 27 Januari 2015 - 09:35 WIB
Kebijakan Anggaran dan...
Kebijakan Anggaran dan Jaminan Sosial
A A A
Tauchid Komara Yuda
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Gadjah Mada

Sejak presiden terpilih Joko Widodo menduduki aras kepresidenan, wacana pengalihan anggaran subsidi BBM kepada pembangunan infrastruktur menjadi aksen kebijakan yang dilematis.

Joko Widodo dalam pidatonya di Forum APEC, November 2014 lalu, berkomitmen untuk meliberalisasi arus investasi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan politik kebijakan Jokowi cenderung akan memperkuat peranan pasar dalam pembangunan.

Liberalisasi sebagaimana Stiglizt (2002; Baswir 2006) mensyaratkan adanya pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, dan pelaksanaan privatisasi BUMN.

Pada gilirannya, efek liberalisasi akan memangkas pengeluaran negara, terutama pada sektor yang dianggap tidak produktif seperti subsidi, sehingga akses jaminan kesejahteraan baik itu pensiun, pendidikan, kecelakaan kerja, maupun kesehatan terpaksa harus dilakukan dengan skema asuransi.

Dalam praktiknya, asuransi hanya dapat berjalan dan diklaim bergantung pada pembayaran premi dengan jumlah biaya tertentu. Hal tersebutlah yang membuat skema asuransi tidak menjangkau mereka yang bekerja pada sektor informal ataupun ekstraktif, yang secara penghasilan tidak menentu.

Seperti asuransi kesehatan yang dikelola negara, BPJS-K dan KIP. Walaupun pada mekanismenya orang fakir bebas iuran sehingga seolah-olah asuransi menjangkau setiap orang, bukan berarti ada jaminan masyarakat terbebas dari penyakit.

Terlebih dalam fase-fase epidemiological transition , yaitu perubahan jenis penyakit dari yang semula bersifat menular, terhadap penyakit kronis sebagai akibat dari perubahan gaya hidup. Mengapa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seseorang harus sakit terlebih dahulu? Menengok program jaminan kesejahteraan sosial yang bernama Bolsa Familia di Brasil.

Dengan asumsi produktivitas akan tumbuh jika masyarakatnya sejahtera, melalui menggunakan konsep investasi sosial, program ini menginvestasikan sejumlah anggaran yang ditujukan masyarakat dengan syarat mereka harus membuktikan anak-anak mereka bersekolah dan bersedia divaksinasi.

Satu payung dengan Bolsa Familia, program Fomme Zero bertujuan memberantas kelaparan dan perbaikan gizi guna menghindari risiko sosial yang timbul dari masalah kesehatan. Konsep “investasi sosial” tersebut di Indonesia sebenarnya sudah ada seperti PNPM, PKH, BOS.

Namun dalam ranah kesehatan masih belum diterapkan, dan sudah seharusnya segera diprioritaskan, mengingat penyakit kronis yang merebak saat ini kian beragam.

Oleh karena itu, dari segi urgensi akan lebih efektif jika subsidi dialihkan pada pemberian vitamin, vaksinasi, pengembangan tanaman obat, program pangan sehat, dan sejenisnya dibanding membuat tol laut yang belum tentu faedahnya dirasakan semua orang.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1104 seconds (0.1#10.140)