SDM Perguruan Tinggi Menghadapi MEA 2015
A
A
A
Suatu dialog yang sangat mencerahkan terjadi antara pengurus Pusat dan Wilayah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dengan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prof M Nasir dalam forum Higher Education Stakeholder Dialogue yang bertema “Solusi Kebijakan Pendidikan Tinggi untuk Tercapainya Daya Saing Bangsa Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” yang digelar APTISI Pusat di Jakarta, Kamis (8/1/2015).
Menteri menyatakan kesiapannya untuk menjalin komunikasi, mendengarkan suara akar rumput dari stakeholders- nya, membuat forum terbatas, serta mengkaji berbagai aturan yang dirasakan tidak terap atau tidak relevan.
Menteri juga secara tegas menyatakan tidak ingin melihat ada praktik yang dikotomis antara PTN dan PTS. Semua adalah aset bangsa, anak bangsa, yang harus mendapatkan perlakuan yang sama.
Menteri menegaskan, “Apapun bisa kita lakukan dan ubah, asal jangan meminta saya menurunkan kualitas!” Sikap Menristek-Dikti ini layak diapresiasi, tapi sekaligus perlu menjadi perhatian semua elemen yang terkait dengan pengelolaan perguruan tinggi di Tanah Air. Lebih-lebih kalimat terakhir yang penulis cetak tebal tersebut. Semua perguruan tinggi, entah itu PTN atau PTS, harus peduli pada upaya untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas.
Kewenangan perguruan tinggi untuk mengeluarkan ijazah hendaknya tidak disalahgunakan. Selembar ijazah harus mencerminkan kompetensi keilmuan di baliknya, memiliki keterampilan tertentu, mempunyai kemampuan yang sesuai dengan standar minimal kelulusannya. Hanya, dalam persaingan yang semakin ketat, bukan saja pada level domestik melainkan juga global, tentu tidak cukup hanya sebatas standar minimal, katakanlah sesuai Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).
Namun, harus jauh di atasnya. Akan lebih baik kalau yang dipenuhi bukan saja standar nasional, melainkan internasional, yang tercermin dari programstudiyangterakreditasidari lembaga akreditasi global bereputasi. Pada tingkat ASEAN, mulai 1 Januari 2016 kita akan bersaing secara terbuka untuk sektor jasa dan tenaga profesional pada delapan bidang keahlian melalui skim ASEAN Economic Community (AEC).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ada dua hal dari lima skim elemen pasar tunggal yang perlu mendapat perhatian, yakni kebebasan arus jasa dan kebebasan serta kebebasan arus tenaga kerja terdidik. Implementasi skim ini mengandung arti adanya “akses penuh ke pasar jasa dan tenaga kerja terdidik intra-ASEAN dan menghapus semua larangan yang substansial untuk jasa dan tenaga kerja”.
Pendidikan tinggi termasuk bagian dari jasa tersebut. Hal ini jelas telah menempatkan jasa pendidikan Indonesia pada kondisi yang sulit karena banyaknya persoalan yang saat ini dihadapi. Perguruan tinggi yang sudah siap memang akan sangat diuntungkan karena semakin luas cakupan pasarnya.
Sebaliknya, yang tidak siap dalam menghadapi booming AEC 2015 terancam mengecil atau bahkan tersingkirkan dari dunia pendidikan tinggi nasional. Hal yang sama juga akan terjadi pada produk atau lulusan perguruan tinggi.
PT Harus Siap!
Dengan AEC, perguruan tinggi nasional secara kelembagaan harus siap bersaing bebas dengan PT ASEAN yang akan lebih bebas keluar masuk Indonesia. Demikian juga lulusan perguruan tinggi, khususnya yang dalam tahap pertama melingkupi delapan bidang yang sudah disepakati dalam mutual recognition arrangement (MRA), yakni tenaga pariwisata, kesehatan (mencakup profesi dokter), keperawatan, akuntansi, teknik, survei, arsitektur, dan perawatan gigi, tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha.
Hanya lulusan yang sudah memiliki sertifikat kompetensi yang nanti bisa bertebaran dalam bursa kerja ASEAN. Pasar tenaga kerja kita akan semakin luas, dan lulusan bidang- bidang tersebut akan mudah masuk ke ASEAN. Namun, hal ini tidak akan mudah kalau kualitas lulusan PT kita hanya pas-pasan.
Kunci untuk memenangkan persaingan itu adalah: PT harus selalu mengorientasikan diri pada peningkatan kualitas kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) sehingga bisa melahirkan karya-karya inventifinovatif yang bermanfaat bagi masyarakat, terus melakukan pengembangan ilmu pengetahuan, serta menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Jika kita berbicara dalam forum global, maka harus diakui peringkat PT di Tanah Air, lebih-lebih sebagian PTS dan PTN di luar Jawa , masih tertinggal, bahkan dalam level ASEAN sekalipun.
Belum baiknya peringkat perguruan tinggi nasional ini dapat dipastikan terutama dikarenakan unsur SDM di perguruan tinggi yang relatif terbatas kuantitas maupun kualitasnya. Ini mempengaruhi produktivitas dosen untuk mengajar, menulis karya ilmiah, melakukan penelitian, atau menghasilkan karya-karya monumental ataupun yang bisa dipatenkan.
Dengan gambaran persaingan yang semakin ketat dan lambatnya peningkatan kualitas secara relatif dibandingkan PT kelas dunia, maka upayaupaya meningkatkan daya saing merupakan suatu keniscayaan. Perguruan tinggi di tanah air harus berusaha keras untuk meningkatkan daya saing tersebut, bukan sekadar untuk bisa bertahan atas persaingan yang kian ketat itu, melainkan juga untuk bisa masuk dalam jajaran perguruan tinggi yang baik pada level nasional, Asia Tenggara, Asia, bahkan global.
Ini bukan sesuatu yang mustahil. Jika kita melihat pengalaman negeri serumpun Malaysia, yang dalam tiga dekade terakhir sangat pesat pertumbuhannya, maka kita pun bisa mengikutinya. Pada masa lalu Malaysia banyak mengirimkan pelajar dan mahasiswanya ke Indonesia, dan sampai sekarang banyak menggunakan tenaga pengajar di perguruan tingginya dari Indonesia, bisa menyumbangkan 19 perguruan dalam 300 terbaik Asia, yang tiga di antaranya masuk 100 terbaik.
Bahkan satu di antaranya, University Kebangsaan, berada pada peringkat ke-32 Asia versi QS. Penguatan pendidikan ini memang harusdidukungposisiSDMyangbaik. Peta kelemahan SDM Indonesia bukan hanya pada levelpendidikantinggi, tetapijenjang lebih rendah. Sejauh ini kita masih tertinggal dibanding negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, atau Filipina, dan dalam beberapa hal bahkan di bawah Brunei.
Jika kita lihat kualifikasi pendidikan dari angkatan kerja kita, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, per Februari 2014 dari total angkatan kerja 118,17 juta orang, lulusan diplomaI/ II/III3,13juta (2,65%), dan sisanya universitas hanya 8,85%. Kalau dibandingkan dengan Malaysia yang tahun 2012 jumlah angkatan kerjanya 13,12 juta, yang lulusan universitas dan diploma 24,37%.
Sedangkan, Singapura (2012) dari angkatan kerja sebesar 3,22 juta orang, lulusan universitas dan diploma sebesar 29,4%. Perbandingan sederhana ini menunjukkan masih relatif rendahnya pendidikan angkakan kerja kita dibanding kedua negara ASEAN tersebut. Ini tentu memengaruhi daya saing tenaga kerja kita saat MEA/ AEC dimulai akhir tahun depan.
Pemerintah mau tidak mau harus mengakselerasi agar pendidikan angkatan kerja ini semakin meningkat dengan memperbesar akses masuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, yang bagi sebagai besar rakyat masih terbilang mahal dan sulit masuk tanpa dukungan biaya dari pemerintah, termasuk pembebasan biaya pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi tidak bisa lagi hanya mengeluarkan ijazah tanpa melihat sejauh mana kompetensi di balik ijazah tersebut, serta kemampuan keterampilan yang melekat, hingga kemampuan lulusannya untuk memperoleh sertifikasi sesuai keahliannya. Tanpa adanya ketiga hal tersebut, maka lulusan PT kita akan sulit masuk ke bursa kerja ASEAN.
Bahkan yang sebaliknya terjadi, kita akan menjadi sasaran empuk bagi lembaga pendidikan tinggi dari ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Bagi negara-negara ASEAN, Indonesia merupakan target utama karena pasar Indonesia sangat luas: 38% penduduk ASEAN ada di Indonesia, yang porsi produk domestik bruto Indonesia mencapai 34% PDB ASEAN, dengan luas wilayah sekitar separo dari luas ASEAN!
Penguatan SDM
Perubahan yang bermuara pada persaingan yang semakin meningkat pada level global ini melahirkan tantangan bagi perguruan tinggi. Pertama, menyiapkan lulusannya untuk bisa bersaing dengan lulusan perguruan tinggi ASEAN lain. Kita bisa melakukan pertanyaan ke dalam: siapkah lulusan PTS di tanah air, entah itu lulusan PT dari Jakarta atau dari Luwu-Soroako sana bersaing dengan lulusan ASEAN lain?
Kedua, meningkatkan daya saing lembaga perguruan tinggi untuk bisa bersaing dengan perguruan tinggi anggota ASEAN dalam menjual jasa pendidikannya. Artinya PT di Tanah Air harus siap bersaing dengan PT seperti National University of Singapore, Universitas Kebangsaan Malaysia, University of the Philippines, atau bersaing dengan Thammasat University dari Thailand.
Memang untuk persaingan antar-PT tidak akan serta-merta dan masih membutuhkan waktu lama, namun untuk persaingan antaralumni hanya tinggal menunggu tombol dipencet akhir tahun ini, dan liberalisasi delapan bidang/profesi yang disebut di atas langsung terjadi. Bidang-bidang tersebut tentu akan semakin diperluas pada tahun-tahun berikutnya.
Untuk bisa melalui tantangan itu, kunci utamanya adalah bagaimana PT dapat mengelola SDM yang dimiliki dan dikelolanya dengan baik, sehingga kualitasnya bisa bersaing dengan lulusan PT lain. Mengapa SDM sangat penting dalam PT? Perguruan tinggi adalah mengelola manusia, memproses manusia, yang produknya adalah manusia yang lebih berkualitas, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun karakter atau akhlaknya.
Untuk memproses “produksi” manusia yang demikian kapitalnya bukanlah mesin atau teknologi yang canggih, melainkan yang utama adalah manusia atau para dosen. Jadi jasa pendidikan bersifat unik. Input atau bahan baku, output, dan outcome-nya adalah manusia. Untuk memprosesnya, utamanya juga manusia. Untuk itulah fokus pengembangan SDM di perguruan tinggi sangat penting.
Tentu saja ini juga tanpa harus menafikan kebutuhan tenaga kependidikan, infrastruktur lain seperti teknologi informasi, laboratorium, perpustakaan, ataupun gedunggedung yang memadai.
Edy Suandi Hamid
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
Menteri menyatakan kesiapannya untuk menjalin komunikasi, mendengarkan suara akar rumput dari stakeholders- nya, membuat forum terbatas, serta mengkaji berbagai aturan yang dirasakan tidak terap atau tidak relevan.
Menteri juga secara tegas menyatakan tidak ingin melihat ada praktik yang dikotomis antara PTN dan PTS. Semua adalah aset bangsa, anak bangsa, yang harus mendapatkan perlakuan yang sama.
Menteri menegaskan, “Apapun bisa kita lakukan dan ubah, asal jangan meminta saya menurunkan kualitas!” Sikap Menristek-Dikti ini layak diapresiasi, tapi sekaligus perlu menjadi perhatian semua elemen yang terkait dengan pengelolaan perguruan tinggi di Tanah Air. Lebih-lebih kalimat terakhir yang penulis cetak tebal tersebut. Semua perguruan tinggi, entah itu PTN atau PTS, harus peduli pada upaya untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas.
Kewenangan perguruan tinggi untuk mengeluarkan ijazah hendaknya tidak disalahgunakan. Selembar ijazah harus mencerminkan kompetensi keilmuan di baliknya, memiliki keterampilan tertentu, mempunyai kemampuan yang sesuai dengan standar minimal kelulusannya. Hanya, dalam persaingan yang semakin ketat, bukan saja pada level domestik melainkan juga global, tentu tidak cukup hanya sebatas standar minimal, katakanlah sesuai Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).
Namun, harus jauh di atasnya. Akan lebih baik kalau yang dipenuhi bukan saja standar nasional, melainkan internasional, yang tercermin dari programstudiyangterakreditasidari lembaga akreditasi global bereputasi. Pada tingkat ASEAN, mulai 1 Januari 2016 kita akan bersaing secara terbuka untuk sektor jasa dan tenaga profesional pada delapan bidang keahlian melalui skim ASEAN Economic Community (AEC).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ada dua hal dari lima skim elemen pasar tunggal yang perlu mendapat perhatian, yakni kebebasan arus jasa dan kebebasan serta kebebasan arus tenaga kerja terdidik. Implementasi skim ini mengandung arti adanya “akses penuh ke pasar jasa dan tenaga kerja terdidik intra-ASEAN dan menghapus semua larangan yang substansial untuk jasa dan tenaga kerja”.
Pendidikan tinggi termasuk bagian dari jasa tersebut. Hal ini jelas telah menempatkan jasa pendidikan Indonesia pada kondisi yang sulit karena banyaknya persoalan yang saat ini dihadapi. Perguruan tinggi yang sudah siap memang akan sangat diuntungkan karena semakin luas cakupan pasarnya.
Sebaliknya, yang tidak siap dalam menghadapi booming AEC 2015 terancam mengecil atau bahkan tersingkirkan dari dunia pendidikan tinggi nasional. Hal yang sama juga akan terjadi pada produk atau lulusan perguruan tinggi.
PT Harus Siap!
Dengan AEC, perguruan tinggi nasional secara kelembagaan harus siap bersaing bebas dengan PT ASEAN yang akan lebih bebas keluar masuk Indonesia. Demikian juga lulusan perguruan tinggi, khususnya yang dalam tahap pertama melingkupi delapan bidang yang sudah disepakati dalam mutual recognition arrangement (MRA), yakni tenaga pariwisata, kesehatan (mencakup profesi dokter), keperawatan, akuntansi, teknik, survei, arsitektur, dan perawatan gigi, tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha.
Hanya lulusan yang sudah memiliki sertifikat kompetensi yang nanti bisa bertebaran dalam bursa kerja ASEAN. Pasar tenaga kerja kita akan semakin luas, dan lulusan bidang- bidang tersebut akan mudah masuk ke ASEAN. Namun, hal ini tidak akan mudah kalau kualitas lulusan PT kita hanya pas-pasan.
Kunci untuk memenangkan persaingan itu adalah: PT harus selalu mengorientasikan diri pada peningkatan kualitas kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) sehingga bisa melahirkan karya-karya inventifinovatif yang bermanfaat bagi masyarakat, terus melakukan pengembangan ilmu pengetahuan, serta menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Jika kita berbicara dalam forum global, maka harus diakui peringkat PT di Tanah Air, lebih-lebih sebagian PTS dan PTN di luar Jawa , masih tertinggal, bahkan dalam level ASEAN sekalipun.
Belum baiknya peringkat perguruan tinggi nasional ini dapat dipastikan terutama dikarenakan unsur SDM di perguruan tinggi yang relatif terbatas kuantitas maupun kualitasnya. Ini mempengaruhi produktivitas dosen untuk mengajar, menulis karya ilmiah, melakukan penelitian, atau menghasilkan karya-karya monumental ataupun yang bisa dipatenkan.
Dengan gambaran persaingan yang semakin ketat dan lambatnya peningkatan kualitas secara relatif dibandingkan PT kelas dunia, maka upayaupaya meningkatkan daya saing merupakan suatu keniscayaan. Perguruan tinggi di tanah air harus berusaha keras untuk meningkatkan daya saing tersebut, bukan sekadar untuk bisa bertahan atas persaingan yang kian ketat itu, melainkan juga untuk bisa masuk dalam jajaran perguruan tinggi yang baik pada level nasional, Asia Tenggara, Asia, bahkan global.
Ini bukan sesuatu yang mustahil. Jika kita melihat pengalaman negeri serumpun Malaysia, yang dalam tiga dekade terakhir sangat pesat pertumbuhannya, maka kita pun bisa mengikutinya. Pada masa lalu Malaysia banyak mengirimkan pelajar dan mahasiswanya ke Indonesia, dan sampai sekarang banyak menggunakan tenaga pengajar di perguruan tingginya dari Indonesia, bisa menyumbangkan 19 perguruan dalam 300 terbaik Asia, yang tiga di antaranya masuk 100 terbaik.
Bahkan satu di antaranya, University Kebangsaan, berada pada peringkat ke-32 Asia versi QS. Penguatan pendidikan ini memang harusdidukungposisiSDMyangbaik. Peta kelemahan SDM Indonesia bukan hanya pada levelpendidikantinggi, tetapijenjang lebih rendah. Sejauh ini kita masih tertinggal dibanding negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, atau Filipina, dan dalam beberapa hal bahkan di bawah Brunei.
Jika kita lihat kualifikasi pendidikan dari angkatan kerja kita, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, per Februari 2014 dari total angkatan kerja 118,17 juta orang, lulusan diplomaI/ II/III3,13juta (2,65%), dan sisanya universitas hanya 8,85%. Kalau dibandingkan dengan Malaysia yang tahun 2012 jumlah angkatan kerjanya 13,12 juta, yang lulusan universitas dan diploma 24,37%.
Sedangkan, Singapura (2012) dari angkatan kerja sebesar 3,22 juta orang, lulusan universitas dan diploma sebesar 29,4%. Perbandingan sederhana ini menunjukkan masih relatif rendahnya pendidikan angkakan kerja kita dibanding kedua negara ASEAN tersebut. Ini tentu memengaruhi daya saing tenaga kerja kita saat MEA/ AEC dimulai akhir tahun depan.
Pemerintah mau tidak mau harus mengakselerasi agar pendidikan angkatan kerja ini semakin meningkat dengan memperbesar akses masuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, yang bagi sebagai besar rakyat masih terbilang mahal dan sulit masuk tanpa dukungan biaya dari pemerintah, termasuk pembebasan biaya pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi tidak bisa lagi hanya mengeluarkan ijazah tanpa melihat sejauh mana kompetensi di balik ijazah tersebut, serta kemampuan keterampilan yang melekat, hingga kemampuan lulusannya untuk memperoleh sertifikasi sesuai keahliannya. Tanpa adanya ketiga hal tersebut, maka lulusan PT kita akan sulit masuk ke bursa kerja ASEAN.
Bahkan yang sebaliknya terjadi, kita akan menjadi sasaran empuk bagi lembaga pendidikan tinggi dari ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Bagi negara-negara ASEAN, Indonesia merupakan target utama karena pasar Indonesia sangat luas: 38% penduduk ASEAN ada di Indonesia, yang porsi produk domestik bruto Indonesia mencapai 34% PDB ASEAN, dengan luas wilayah sekitar separo dari luas ASEAN!
Penguatan SDM
Perubahan yang bermuara pada persaingan yang semakin meningkat pada level global ini melahirkan tantangan bagi perguruan tinggi. Pertama, menyiapkan lulusannya untuk bisa bersaing dengan lulusan perguruan tinggi ASEAN lain. Kita bisa melakukan pertanyaan ke dalam: siapkah lulusan PTS di tanah air, entah itu lulusan PT dari Jakarta atau dari Luwu-Soroako sana bersaing dengan lulusan ASEAN lain?
Kedua, meningkatkan daya saing lembaga perguruan tinggi untuk bisa bersaing dengan perguruan tinggi anggota ASEAN dalam menjual jasa pendidikannya. Artinya PT di Tanah Air harus siap bersaing dengan PT seperti National University of Singapore, Universitas Kebangsaan Malaysia, University of the Philippines, atau bersaing dengan Thammasat University dari Thailand.
Memang untuk persaingan antar-PT tidak akan serta-merta dan masih membutuhkan waktu lama, namun untuk persaingan antaralumni hanya tinggal menunggu tombol dipencet akhir tahun ini, dan liberalisasi delapan bidang/profesi yang disebut di atas langsung terjadi. Bidang-bidang tersebut tentu akan semakin diperluas pada tahun-tahun berikutnya.
Untuk bisa melalui tantangan itu, kunci utamanya adalah bagaimana PT dapat mengelola SDM yang dimiliki dan dikelolanya dengan baik, sehingga kualitasnya bisa bersaing dengan lulusan PT lain. Mengapa SDM sangat penting dalam PT? Perguruan tinggi adalah mengelola manusia, memproses manusia, yang produknya adalah manusia yang lebih berkualitas, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun karakter atau akhlaknya.
Untuk memproses “produksi” manusia yang demikian kapitalnya bukanlah mesin atau teknologi yang canggih, melainkan yang utama adalah manusia atau para dosen. Jadi jasa pendidikan bersifat unik. Input atau bahan baku, output, dan outcome-nya adalah manusia. Untuk memprosesnya, utamanya juga manusia. Untuk itulah fokus pengembangan SDM di perguruan tinggi sangat penting.
Tentu saja ini juga tanpa harus menafikan kebutuhan tenaga kependidikan, infrastruktur lain seperti teknologi informasi, laboratorium, perpustakaan, ataupun gedunggedung yang memadai.
Edy Suandi Hamid
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(ars)