Media Asing Nilai Kilau Jokowi Memudar
A
A
A
JAKARTA - Kilau Presiden Joko Widodo (Jokowi) di mata internasional mulai pudar. Gambaran itu tecermin dari perubahan pandangan harian The New York Times dalam edisi Minggu (18/1) kemarin.
Media tersebut menilai Jokowi kini sedang tersandera politik oleh partai koalisinya. Dalam artikel berjudul ‘For Indonesians, PresidentFor Indonesians, Presidents Political Outsider Status Loses Its Luster ‘ yang ditulis oleh Joe Cochrane ini memaparkan bagaimana perjalanan Jokowi dari dia berkampanye, lalu menjadi presiden dan kini tersandera oleh koalisi partai politiknya sendiri.
Pada akhirnya, saat ini citra mantan gubernur DKI itu terus merosot. New York Times pada masa kampanye menyebut Jokowi sebagai Political Outsider, yakni pejabat yang mampu mendobrak sistem yang sudah ada, mengubah birokrasi Indonesia, dan membawa sistem baru yang dianggap sebagai harapan baru.
Dukungan dari dunia internasional semakin menambah harapan publik akan keajaiban yang dibawa oleh pemerintahan Jokowi. Sementara itu, koalisi oposisi memprediksi pemerintahan Jokowi tidak akan bertahan hingga satu tahun. Terbukti, pasca-100 hari kepemimpinan Jokowi tak ada keajaiban sehingga ramalan tim oposisi makin mendekati kenyataan.
New York Times tidak bisa membaca bagaimana arah politik Jokowi, hanya satu yang New York Times nilai sebagai sebuah kepastian yakni ketidakpastian itu sendiri. “Langkah-langkah Jokowi menunjukkan bagaimana ia menjadi sandera dalam kabinetnya sendiri,” terang Edward Aspinall, profesor politik dari Australian National University.
New York Times mengungkapkan secara jelas Jokowi mulai kehilangan cahaya dan rakyat mulai mempertanyakan kinerja serta keseriusannya menjadi presiden. Jikapada masakampanye koalisi oposisi menjadi ancaman terbesar Jokowi, sebaliknya menurut New York Times saat ini justru Jokowi khawatir terhadap koalisinya sendiri yang kerap menjadi sumber konflik.
Penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon kapolri adalah salah satu contohnya. Jokowi bersikeras menunjuk Gunawan di tengah status tersangka Gunawan yang terlibat dalam kasus suap bernilai miliaran rupiah. Ironisnya kendati sudah mendapat kritik dari banyak pihak, Jokowi tidak berniat membatalkan penunjukannya, namun justru hanya menundanya hingga kasus Gunawan selesai.
New York Times berpendapat penunjukan Gunawan masih ada kaitannya dengan mantan Presiden dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Apalagi Gunawan sendiri pernah menjadi ajudan saat Megawati menjadi presiden. Menurut New York Times, penunjukan Gunawan sebagai kapolri membuat citra Jokowi semakin menurun dan memperlihatkan bagaimana Jokowi mulai lupa dengan janji-janjinya di masa kampanye yang menginginkan kabinetnya diisi orang-orang bersih.
Kebijakan Jokowi lainnya yang menjadi bumerang menurut New York Times adalah keputusannya mengisi separuh kabinetnya dari kalangan partai. Memasukkan Puan Maharani yang merupakan putri Megawati untuk menjadi menteri, lalu menunjuk HM Prasetyo yang merupakan anggota Partai NasDem menjadi jaksa agung.
Padahal sekali lagi, di awal masa kampanye, Jokowi menjanjikan kabinetnya adalah orang-orang profesional nonpartai. Hal ini melahirkan spekulasi bahwa Megawati mencoba untuk mengontrol Presiden dari balik layar. “Saat menjadi presiden, fokusnya adalah membangun hubungan yang baik dengan oposisi di DPR, padahal masalah sebenarnya adalah koalisinya sendiri,” lanjut Aspinall.
Kendati menyoroti bagaimana rapuhnya Jokowi di depan koalisinya sendiri, New York Times juga mengapresiasi keberanian Jokowi dalam memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM). New York Times mengatakan bahwa Jokowi sebagai orang pertama yang berani melakukan pemotongan subsidi bahkan di tengah harga minyak dunia sedang turun.
Majalah Time pernah menjadikan Jokowi sebagai cover halaman depan yang menyebut sebagai “Harapan Baru” masyarakat Indonesia. Edisi majalah tersebut menggambarkan bagaimana harapan-harapan masyarakat terhadap Presiden Jokowi. Sementara itu, hasil survei Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) menyebutkan kinerja Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam 100 hari pertama pemerintahan belum mampu memenuhi harapan publik.
Ketidakpuasan tersebut dipicu sejumlah kebijakan kontroversial Jokowi dan menteri Kabinet Kerja. “Sebanyak 74,60% yang menyatakan tidak puas terhadap kepemimpinan Jokowi-JK, dan hanya 25,40% yang merasa puas,” ungkap Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedilah Badrun.
Beberapa kebijakan menteri Kabinet Kerja juga dinilai negatif oleh publik, misalnya kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menghentikan Kurikulum 2013. Berdasarkan survei, 26,98% yang menilai perubahan itu menimbulkan ketidakjelasan kurikulum, 19,05% menilai perubahan itu menyulitkan guru dan siswa, dan hanya 25,4% yang setuju perubahan dilakukan.
Rini agustina/Mula kamal
Media tersebut menilai Jokowi kini sedang tersandera politik oleh partai koalisinya. Dalam artikel berjudul ‘For Indonesians, PresidentFor Indonesians, Presidents Political Outsider Status Loses Its Luster ‘ yang ditulis oleh Joe Cochrane ini memaparkan bagaimana perjalanan Jokowi dari dia berkampanye, lalu menjadi presiden dan kini tersandera oleh koalisi partai politiknya sendiri.
Pada akhirnya, saat ini citra mantan gubernur DKI itu terus merosot. New York Times pada masa kampanye menyebut Jokowi sebagai Political Outsider, yakni pejabat yang mampu mendobrak sistem yang sudah ada, mengubah birokrasi Indonesia, dan membawa sistem baru yang dianggap sebagai harapan baru.
Dukungan dari dunia internasional semakin menambah harapan publik akan keajaiban yang dibawa oleh pemerintahan Jokowi. Sementara itu, koalisi oposisi memprediksi pemerintahan Jokowi tidak akan bertahan hingga satu tahun. Terbukti, pasca-100 hari kepemimpinan Jokowi tak ada keajaiban sehingga ramalan tim oposisi makin mendekati kenyataan.
New York Times tidak bisa membaca bagaimana arah politik Jokowi, hanya satu yang New York Times nilai sebagai sebuah kepastian yakni ketidakpastian itu sendiri. “Langkah-langkah Jokowi menunjukkan bagaimana ia menjadi sandera dalam kabinetnya sendiri,” terang Edward Aspinall, profesor politik dari Australian National University.
New York Times mengungkapkan secara jelas Jokowi mulai kehilangan cahaya dan rakyat mulai mempertanyakan kinerja serta keseriusannya menjadi presiden. Jikapada masakampanye koalisi oposisi menjadi ancaman terbesar Jokowi, sebaliknya menurut New York Times saat ini justru Jokowi khawatir terhadap koalisinya sendiri yang kerap menjadi sumber konflik.
Penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon kapolri adalah salah satu contohnya. Jokowi bersikeras menunjuk Gunawan di tengah status tersangka Gunawan yang terlibat dalam kasus suap bernilai miliaran rupiah. Ironisnya kendati sudah mendapat kritik dari banyak pihak, Jokowi tidak berniat membatalkan penunjukannya, namun justru hanya menundanya hingga kasus Gunawan selesai.
New York Times berpendapat penunjukan Gunawan masih ada kaitannya dengan mantan Presiden dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Apalagi Gunawan sendiri pernah menjadi ajudan saat Megawati menjadi presiden. Menurut New York Times, penunjukan Gunawan sebagai kapolri membuat citra Jokowi semakin menurun dan memperlihatkan bagaimana Jokowi mulai lupa dengan janji-janjinya di masa kampanye yang menginginkan kabinetnya diisi orang-orang bersih.
Kebijakan Jokowi lainnya yang menjadi bumerang menurut New York Times adalah keputusannya mengisi separuh kabinetnya dari kalangan partai. Memasukkan Puan Maharani yang merupakan putri Megawati untuk menjadi menteri, lalu menunjuk HM Prasetyo yang merupakan anggota Partai NasDem menjadi jaksa agung.
Padahal sekali lagi, di awal masa kampanye, Jokowi menjanjikan kabinetnya adalah orang-orang profesional nonpartai. Hal ini melahirkan spekulasi bahwa Megawati mencoba untuk mengontrol Presiden dari balik layar. “Saat menjadi presiden, fokusnya adalah membangun hubungan yang baik dengan oposisi di DPR, padahal masalah sebenarnya adalah koalisinya sendiri,” lanjut Aspinall.
Kendati menyoroti bagaimana rapuhnya Jokowi di depan koalisinya sendiri, New York Times juga mengapresiasi keberanian Jokowi dalam memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM). New York Times mengatakan bahwa Jokowi sebagai orang pertama yang berani melakukan pemotongan subsidi bahkan di tengah harga minyak dunia sedang turun.
Majalah Time pernah menjadikan Jokowi sebagai cover halaman depan yang menyebut sebagai “Harapan Baru” masyarakat Indonesia. Edisi majalah tersebut menggambarkan bagaimana harapan-harapan masyarakat terhadap Presiden Jokowi. Sementara itu, hasil survei Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) menyebutkan kinerja Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam 100 hari pertama pemerintahan belum mampu memenuhi harapan publik.
Ketidakpuasan tersebut dipicu sejumlah kebijakan kontroversial Jokowi dan menteri Kabinet Kerja. “Sebanyak 74,60% yang menyatakan tidak puas terhadap kepemimpinan Jokowi-JK, dan hanya 25,40% yang merasa puas,” ungkap Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedilah Badrun.
Beberapa kebijakan menteri Kabinet Kerja juga dinilai negatif oleh publik, misalnya kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menghentikan Kurikulum 2013. Berdasarkan survei, 26,98% yang menilai perubahan itu menimbulkan ketidakjelasan kurikulum, 19,05% menilai perubahan itu menyulitkan guru dan siswa, dan hanya 25,4% yang setuju perubahan dilakukan.
Rini agustina/Mula kamal
(bbg)