Putusan BANI soal TPI Wajib Dijalankan
A
A
A
JAKARTA - Hasil eksaminasi dari para pakar hukum dan praktisi hukum menyimpulkan bahwa putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas perkara sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sah.
Dalam investment agreement diatur jika ada sengketa apa pun, penyelesaiannya harus melalui BANI. Dengan begitu, pengadilan dapat melakukan eksekusi atas keputusan BANI. Karenaitu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat diminta untuk menegakkan putusan BANI yang memerintahkan kubu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) mengembalikan kelebihan modal senilai Rp510 miliar, yang sebelumnya telah disuntikkan PT Berkah Karya Bersama (BKB) serta Rp2,3 miliar sebagai kompensasi biaya perkara selama berlangsungnya sidang di BANI.
“PN Jakarta Pusat melaksanakan apa yang sudah diputuskan BANI. Karena dalam UU30/1999 tentang Arbitrase disebutkan kalau para pihak tidak melaksanakan secara sukarela, dapat dilimpahkan eksekusi oleh pengadilan,” ungkap Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional (Unas) Arrisman saat menjadi pembicara dalam seminar nasional “Eksaminasi Putusan PK MA RI No 238 PK/PDT/ 2014 tentang Kepemilikan TPI” di Ruang Seminar Pascasarjana Hukum Universitas Nasional (Unas), Jakarta, kemarin.
Arrisman mengatakan, putusan penolakan peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) juga tidak sertamerta menggugurkan perjanjian investasi (invesment agreement) antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dan Tutut. Perjanjian yang di dalamnya menyebut penyerahan saham 75% dari kubu Tutut kepada PT BKB masih tetap berlaku, meskipun PK yang diajukan PT BKB ditolak oleh MA.
“PK itu hanya membatalkan RUPS, perjanjian antara PT BKB dan Tutut tidak dibatalkan oleh pengadilan. Jadi, pengalihan saham itu tidak bisa diganggu oleh MA,” ujarnya. Arrisman melanjutkan, dengan adanya eksaminasi ini, sebetulnya proses sengketa antara PT BKB dan Tutut sudah selesai dengan sendirinya.
Hanya, yang masih harus diselesaikan adalah pemenuhan putusan BANI terhadap kubu Tutut yang menyangkut kewajibannya untuk mengembalikan kelebihan modal Rp510 miliar pada waktu kerja sama itu berlangsung. “Intinya masalah sudah selesai, meskipun awalnya masyarakat dibuat salah memahami dengan putusan PK itu,” paparnya.
Arrisman juga mengatakan saat ini hanya tinggal menunggu iktikad baik dari kedua belah pihak untuk menjalankan putusan BANI itu dengan baik dan benar. Karena jika tidak dijalankan, prosesnya akan berlanjut pada eksekusi pengadilan yang akan memaksa pihak-pihak yang tidak mau menjalankan putusan.
“Kalau mereka sepakat melaksanakan maka tidak perlu ada upaya eksekusi. Tapi saya melihat ini, tidak ada kesepakatan antara PT BKB dan Tutut,” ucapnya. Dia juga menerangkan, selambatnya 30 hari setelah pengajuan eksekusi disampaikan ke PN Jakarta Pusat, pihak pengadilan wajib melanjutkan putusan BANI tersebut, sebab tidak ada upaya apapun setelah putusan BANI itu dikeluarkan.
“Secara yuridis, itu sudah final dan perlawanan apa pun tetap saja dieksekusi. Alat negara bisa digunakan karena ini melaksanakan keputusan yang sudah tidak ada upaya apa pun yang bisa ditempuh,” tandasnya. Hal senada disampaikan akademisi lainnya dari Unas, Zainal Arifin Hoesein. Menurut dia, invesment agreement dan supplement agreement antara kedua belah pihak telah sesuai dengan prinsip hukum kontrak yang memiliki nilai the sanctity of contract .
“Dengan demikian, invesment agreement dan supplement agreement adalah hukum yang mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri,” tandas Zainal. Menurut dia, pengingkaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati merupakan bentuk pengingkaran terhadap moral dan hukum. “Termasuk apabila ada salah satu pihak yang mengingkari hasil putusan yang dikeluarkan BANI,” tuturnya.
Zainal menambahkan, sepatutnya MA dan lembaga peradilan di bawahnya memang tidak diperkenankan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa PT BKB dengan Tutut. Pasalnya, dalam invesment agreement itulah kedua belah pihak sepakat untuk membawa ke BANI. Zainal mengatakan memang benar pengadilan dilarang untuk menolak, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 10 (1) UU No 48 Tahun 2009.
Namun, ujarnya, sesuai dengan doktrin lex specialis de rogat lex generalie yang diatur oleh ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 (1) dan (2) UU No 30 Tahun 1999, maka dengan sendirinya ketentuan umum yang diatur oleh UU No 48 Tahun 2009 tidak berlaku. Hal itu disebabkan para pihak yang melakukan kontrak sejak awal dan menyepakati sengketa perkara atas pelaksanaan investment agreement diselesaikan lewat BANI.
“Kewenangan (kewenangan pengadilan mengadili) itu telah dikecualikan oleh Pasal 58 dan 59 UU 48/2009 serta Pasal 3 dan 11 ayat 1, 2 UU 30/1999,” jelasnya. Praktisi hukum Catur Agus Saptono menilai, jika ditarik lebih dalam maka tidak ada perbedaan apa pun antara putusan yang dikeluarkan MA dan BANI.
Keduanya sama-sama menegaskan bahwa kepemilikan 75% saham PT CTPI berada di tangan PT BKB. “Bagi saya putusan itu tidak berbeda, putusan MA itu di dalam invesment agreement tidak membatalkan kewajiban Tutut untuk menyerahkan 75% saham kepada PT BKB,” ujarnya. Pelaksanaan putusan MA yang memenangkan kubu Tutut juga menurut dia justru semakin menguatkan putusan BANI.
Dengan kembali pada hasil RUPS yang dilaksanakan pada 17 Maret 2005, secara tidak langsung direksi yang ada di PT CTPI kembali dipegang orangorang yang sama dan saham 75% diserahkan kepada PT Berkah. “Dan Tutut harus membayar Rp510 miliar itu,” paparnya. Lebih jauh pria yang juga berprofesi sebagai konsultan hak kekayaan intelektual (HAKI) ini mengatakan, jika kubu Tutut tetap tidak mau melaksanakan putusan BANI maka akan dilakukan dengan cara paksa atau eksekusi.
Jika tetap membangkang dan melakukan perlawanan maka dapat digunakan jalan memailitkan Tutut atas kepemilikan sahamnya di PT CTPI. “Namanya eksekusi kalau mereka tidak mau bisa eksekusi paksa. Atau PT BKB dengan menambah satu kreditur bisa mengajukan permohonan pailit,” ujarnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri dan akademisi Ibnu Sina Chandranegara menyebutkan, berkaitan dengan kemungkinan suatu perjanjian yang memuat klausul arbitrase diselesaikan juga di pengadilan umum dengan dalih perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut tidaklah dibenarkan.
Jika kasus yang bersangkutan berkaitan dengan sengketa kontraktual, kasus yang bersangkutan diselesaikan oleh forum yang telah dipilih para pihak dalam klausul arbitrase dimaksud, sekalipun gugatan di pengadilan negeri dibungkus dengan dalih perbuatan melawan hukum dan menarik pihak lain di luar perjanjian. Meski demikian, apabila pokok sengketanya berkaitan dengan sengketa kontraktual maka harus diselesaikan di arbitrase.
Syaiful Bakhri mengatakan, suatu perkara tidak dapat dinyatakan nebis in idem apabila suatu sengketa yang seharusnya diperiksa dan diadili oleh arbitrase ternyata telah diajukan oleh salah satu pihak ke pengadilan negeri dengan membungkusnya berdasarkan dalih perbuatan melawan hukum. Suatu perkara, ujarnya, hanya nebis in idem apabila suatu sengketa yang sama (dan telah memilih forum arbitrase) telah diperiksa dan diadili oleh arbitrase, kemudian diajukan lagi oleh salah satu pihak kepada arbitrase.
Dian ramdhani
Dalam investment agreement diatur jika ada sengketa apa pun, penyelesaiannya harus melalui BANI. Dengan begitu, pengadilan dapat melakukan eksekusi atas keputusan BANI. Karenaitu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat diminta untuk menegakkan putusan BANI yang memerintahkan kubu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) mengembalikan kelebihan modal senilai Rp510 miliar, yang sebelumnya telah disuntikkan PT Berkah Karya Bersama (BKB) serta Rp2,3 miliar sebagai kompensasi biaya perkara selama berlangsungnya sidang di BANI.
“PN Jakarta Pusat melaksanakan apa yang sudah diputuskan BANI. Karena dalam UU30/1999 tentang Arbitrase disebutkan kalau para pihak tidak melaksanakan secara sukarela, dapat dilimpahkan eksekusi oleh pengadilan,” ungkap Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional (Unas) Arrisman saat menjadi pembicara dalam seminar nasional “Eksaminasi Putusan PK MA RI No 238 PK/PDT/ 2014 tentang Kepemilikan TPI” di Ruang Seminar Pascasarjana Hukum Universitas Nasional (Unas), Jakarta, kemarin.
Arrisman mengatakan, putusan penolakan peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) juga tidak sertamerta menggugurkan perjanjian investasi (invesment agreement) antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dan Tutut. Perjanjian yang di dalamnya menyebut penyerahan saham 75% dari kubu Tutut kepada PT BKB masih tetap berlaku, meskipun PK yang diajukan PT BKB ditolak oleh MA.
“PK itu hanya membatalkan RUPS, perjanjian antara PT BKB dan Tutut tidak dibatalkan oleh pengadilan. Jadi, pengalihan saham itu tidak bisa diganggu oleh MA,” ujarnya. Arrisman melanjutkan, dengan adanya eksaminasi ini, sebetulnya proses sengketa antara PT BKB dan Tutut sudah selesai dengan sendirinya.
Hanya, yang masih harus diselesaikan adalah pemenuhan putusan BANI terhadap kubu Tutut yang menyangkut kewajibannya untuk mengembalikan kelebihan modal Rp510 miliar pada waktu kerja sama itu berlangsung. “Intinya masalah sudah selesai, meskipun awalnya masyarakat dibuat salah memahami dengan putusan PK itu,” paparnya.
Arrisman juga mengatakan saat ini hanya tinggal menunggu iktikad baik dari kedua belah pihak untuk menjalankan putusan BANI itu dengan baik dan benar. Karena jika tidak dijalankan, prosesnya akan berlanjut pada eksekusi pengadilan yang akan memaksa pihak-pihak yang tidak mau menjalankan putusan.
“Kalau mereka sepakat melaksanakan maka tidak perlu ada upaya eksekusi. Tapi saya melihat ini, tidak ada kesepakatan antara PT BKB dan Tutut,” ucapnya. Dia juga menerangkan, selambatnya 30 hari setelah pengajuan eksekusi disampaikan ke PN Jakarta Pusat, pihak pengadilan wajib melanjutkan putusan BANI tersebut, sebab tidak ada upaya apapun setelah putusan BANI itu dikeluarkan.
“Secara yuridis, itu sudah final dan perlawanan apa pun tetap saja dieksekusi. Alat negara bisa digunakan karena ini melaksanakan keputusan yang sudah tidak ada upaya apa pun yang bisa ditempuh,” tandasnya. Hal senada disampaikan akademisi lainnya dari Unas, Zainal Arifin Hoesein. Menurut dia, invesment agreement dan supplement agreement antara kedua belah pihak telah sesuai dengan prinsip hukum kontrak yang memiliki nilai the sanctity of contract .
“Dengan demikian, invesment agreement dan supplement agreement adalah hukum yang mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri,” tandas Zainal. Menurut dia, pengingkaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati merupakan bentuk pengingkaran terhadap moral dan hukum. “Termasuk apabila ada salah satu pihak yang mengingkari hasil putusan yang dikeluarkan BANI,” tuturnya.
Zainal menambahkan, sepatutnya MA dan lembaga peradilan di bawahnya memang tidak diperkenankan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa PT BKB dengan Tutut. Pasalnya, dalam invesment agreement itulah kedua belah pihak sepakat untuk membawa ke BANI. Zainal mengatakan memang benar pengadilan dilarang untuk menolak, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 10 (1) UU No 48 Tahun 2009.
Namun, ujarnya, sesuai dengan doktrin lex specialis de rogat lex generalie yang diatur oleh ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 (1) dan (2) UU No 30 Tahun 1999, maka dengan sendirinya ketentuan umum yang diatur oleh UU No 48 Tahun 2009 tidak berlaku. Hal itu disebabkan para pihak yang melakukan kontrak sejak awal dan menyepakati sengketa perkara atas pelaksanaan investment agreement diselesaikan lewat BANI.
“Kewenangan (kewenangan pengadilan mengadili) itu telah dikecualikan oleh Pasal 58 dan 59 UU 48/2009 serta Pasal 3 dan 11 ayat 1, 2 UU 30/1999,” jelasnya. Praktisi hukum Catur Agus Saptono menilai, jika ditarik lebih dalam maka tidak ada perbedaan apa pun antara putusan yang dikeluarkan MA dan BANI.
Keduanya sama-sama menegaskan bahwa kepemilikan 75% saham PT CTPI berada di tangan PT BKB. “Bagi saya putusan itu tidak berbeda, putusan MA itu di dalam invesment agreement tidak membatalkan kewajiban Tutut untuk menyerahkan 75% saham kepada PT BKB,” ujarnya. Pelaksanaan putusan MA yang memenangkan kubu Tutut juga menurut dia justru semakin menguatkan putusan BANI.
Dengan kembali pada hasil RUPS yang dilaksanakan pada 17 Maret 2005, secara tidak langsung direksi yang ada di PT CTPI kembali dipegang orangorang yang sama dan saham 75% diserahkan kepada PT Berkah. “Dan Tutut harus membayar Rp510 miliar itu,” paparnya. Lebih jauh pria yang juga berprofesi sebagai konsultan hak kekayaan intelektual (HAKI) ini mengatakan, jika kubu Tutut tetap tidak mau melaksanakan putusan BANI maka akan dilakukan dengan cara paksa atau eksekusi.
Jika tetap membangkang dan melakukan perlawanan maka dapat digunakan jalan memailitkan Tutut atas kepemilikan sahamnya di PT CTPI. “Namanya eksekusi kalau mereka tidak mau bisa eksekusi paksa. Atau PT BKB dengan menambah satu kreditur bisa mengajukan permohonan pailit,” ujarnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri dan akademisi Ibnu Sina Chandranegara menyebutkan, berkaitan dengan kemungkinan suatu perjanjian yang memuat klausul arbitrase diselesaikan juga di pengadilan umum dengan dalih perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut tidaklah dibenarkan.
Jika kasus yang bersangkutan berkaitan dengan sengketa kontraktual, kasus yang bersangkutan diselesaikan oleh forum yang telah dipilih para pihak dalam klausul arbitrase dimaksud, sekalipun gugatan di pengadilan negeri dibungkus dengan dalih perbuatan melawan hukum dan menarik pihak lain di luar perjanjian. Meski demikian, apabila pokok sengketanya berkaitan dengan sengketa kontraktual maka harus diselesaikan di arbitrase.
Syaiful Bakhri mengatakan, suatu perkara tidak dapat dinyatakan nebis in idem apabila suatu sengketa yang seharusnya diperiksa dan diadili oleh arbitrase ternyata telah diajukan oleh salah satu pihak ke pengadilan negeri dengan membungkusnya berdasarkan dalih perbuatan melawan hukum. Suatu perkara, ujarnya, hanya nebis in idem apabila suatu sengketa yang sama (dan telah memilih forum arbitrase) telah diperiksa dan diadili oleh arbitrase, kemudian diajukan lagi oleh salah satu pihak kepada arbitrase.
Dian ramdhani
(bbg)