Anak 13 Tahun Ciptakan Mesin Pencetak Braille Modern

Rabu, 21 Januari 2015 - 11:45 WIB
Anak 13 Tahun Ciptakan Mesin Pencetak Braille Modern
Anak 13 Tahun Ciptakan Mesin Pencetak Braille Modern
A A A
Menginjak usia remaja biasanya waktu dihabiskan dengan banyak bergaul dan bersenangsenang. Namun, berbeda dengan Subham Banerjee. Kala teman-temannya sibuk bermain, remaja 13 tahun ini justru tengah membangun perusahaan besar.

Subham terduduk di meja makan dan memandangi sarapannya dengan mata hampa. Dia masih bingung harus menciptakan apa untuk tugas akhir sekolahnya. Secara spontan Subham bertanya kepada ayahnya, Niloy Banerjee, bagaimana orang buta bisa membaca. Banerjee yang bekerja untuk perusahaan prosesor Intel hanya menjawab satu kata “Google”.

Subham yang tinggal di kawasan Silicon Valley ini lantas melakukan riset dari internet dan mengetahui bahwa penyandang tunanetra dapat membaca dengan braille, tulisan yang dibentuk dari rangkaian titik. Namun, dia terkejut ketika melihat harga printerbraille yang disebut embossersitu sangat mahal atau mencapai USD2000 atau sekitar Rp25 juta. Harga itu terlalu mahal bagi pembaca tunanetra yang hidup di negara-negara berkembang.

”Saya pikir harga yang dikeluarkan tidak harus sebanyak itu. Saya tahu ada cara yang lebih sederhana untuk menciptakan mesin pencetak braille,” jelas Subham, dilansir ABC. Sejak itulah Subham memutuskan untuk menciptakan mesin pencetak brailleberbiaya rendah sebagai tugas akhir ujiannya di kelas delapan.

Terciptalah Braigogabungan dari kata braille dan lego, sebuah printeryang dibuat dengan biaya sekitar USD350 atau Rp4 juta dengan berat yang jauh lebih ringan dibanding model saat ini yang memiliki bobot lebih dari 9 kg. Mesin tersebut bisa digunakan mencetak bahan bacaan braille di atas kertas dengan menggunakan titik-titik yang jauh lebih bagus dari tinta.

Subham sudah membuat software Braigoyang bisa digunakan untuk komputer pribadi atau perangkat elektronik. Kehadiran Braigopun disambut baik terutama oleh organisasi tunanetra. Pujian dan tawaran kerja sama mulai mengalir. Melihat antusiasme dan permintaan, ayah Subham kemudian membangun Braigo Labspada musim panas lalu untuk dijadikan laboratorium bagi Subham.

Remaja berkacamata ini juga mendapatkan investasi dari ayahnya sebesar USD35000 atau sekitar Rp439 juta. Tak disangka, perusahaan ayahnya, Intel, juga tertarik dengan ide Subham. Mereka pun bersedia bekerja sama dalam proyek Braigo Lab. Subham menggunakan dana dari sang ayah dan Intel untuk membangun versi Braigo yang lebih canggih dengan menciptakan Braigo2.0 yang dilahirkan dengan sebuah chip komputer.

Sejumlah insinyur profesional dan penasihat pun dipekerjakan untuk membantu Subham merancang printer brailleimpiannya. Braigo Labs berencana menguji prototipenya pada musim panas ini untuk sebuah organisasi tunanetra sebelum dipasarkan akhir 2015. Braigo adalah produk yang paling tepat bagi para tunanetra yang tidak memiliki banyak dana. Braigo dapat membantu para tunanetra mencetak surat, menulis daftar belanja dan ihwal penting lainnya.

“Saya senang akhirnya ada anak muda yang memikirkan sebuah komunitas yang jarang diperhatikan,” kata Lismaria Martinez, direktur Layanan Masyarakat untuk Tunanetra Lighthouse San Fransisco. Segudang penghargaan dan pujian yang diterima Subham membuat orang tuanya tersenyum lebar.

Sang ibu, Malini Banerjee, mengaku sangat bangga memiliki anak berusia 13 tahun dengan pemikiran layaknya orang dewasa. Banerjee mengatakan ia dan suami sangat mendukung proyek Subham dan bersedia menemani setiap langkah Subham dalam membesarkan proyek tersebut. “Kami melihat Subham mulai berpikir ke arah yang baru melebihi anak-anak lain. Ini sudah mengarah kepada inovasi dan inovasi ini harus terus berlanjut,” kata Banerjee.

Rini agustina
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5433 seconds (0.1#10.140)