Annas Maamun Akui Minta Rp2,9 Miliar
A
A
A
JAKARTA - Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun mengaku meminta Rp2,9 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau Gulat Medali Emas Manurung.
Pengakuan ini disampaikan Annas saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap alih fungsi lahan di Riau dengan terdakwa Gulat Medali Emas Manurung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemarin.
Annas mengaku uang Rp2,9 miliar itu dimintanya karena Gulat meminta agar lahannya dimasukkan dalam revisi atau perubahan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 673/Menhut- II/2014 tertanggal 8 Agustus 2014. SK Menhut ini awalnya tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas 1.638.249 Hektare, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas 717.543 Hektare, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas 11.552 Hektare.
“Gulat datang ke rumah kita. Mohon dimasukkan kebun-kebun yang di bawah asosiasi sawit. Saya suruh Pak Gulat jumpa Kadis Kehutanan (Irwan Effendy),” ungkap Annas di depan majelis hakim. Dia melanjutkan, SK tersebut lebih dulu diberikan Menhut Periode 2009-2014 Zulkifli Hasan pada perayaan Ulang Tahun Provinsi Riau, 9 Agustus 2014.
Zulkifli menyampaikan, bila masih ada lahan masyarakat yang belum dimasukkan maka pemprov dan masyarakat bisa menambah lahan dan/atau merevisi SK 673 untuk dijadikan area peruntukan lainnya (APL). Singkat cerita, Annas bersama pejabat terkait menelaah sejumlah kawasan dan program pembangunan daerah yang masih masuk sebagai kawasan hutan untuk diusulkan masuk revisi menjadi bukan kawasan hutan, di antaranya berkaitan dengan jalan-jalan pemerintah, tol, bangunan kantor camat, bangunan lurah, dan bangunan surat Dia menyebutkan ada dua kali permohonan revisi.
Permintaan Gulat akhirnya dimasukkan Annas dalam surat usulan revisi kedua yang disampaikan ke menhut. Suratnya ditandatangani Annas pada 18 September 2014. Setelah itu, Annas yang merasa mendapat kesempatan langsung meminta uang kepada Gulat. “Saya waktu itu bilang, Pak Gulat, untuk mengurus ini karena yang kita harapkan kebun ini tidak hanya tiga kabupaten, tapi semua diurus seluruh provinsi. (Saya minta) Rp2,9 miliar lebih kurang,” bebernya.
Berikutnya, tutur Annas, Gulat menyampaikan saat itu tak sanggup memberikan Rp2,9 miliar. Gulat hanya sanggup menyediakan USD100.000 dan Rp500 juta saat akan bertandang ke Jakarta. Meski demikian, Annas tidak tahu apakah untuk melengkapi uang Rp2,9 miliar itu Gulat kemudian meminta tambahan dari Direktur PT Citra Hokiana Triutama Edison Marudut Marsadauli sebesar USD125.000 atau setara Rp1,5 miliar. “Usulan revisi kedua itu usulan ketua asosiasi, Pak Gulat,” tandasnya.
Annas membeberkan, uang Rp2,9 miliar dari Gulat Medali Emas Manurung rencananya untuk dibagikan kepada 64 anggota Komisi IV DPR periode 2009-2014. Uang tersebut untuk operasional. Namun, kesaksian Annas ini memicu majelis hakim, JPU, dan tim penasihat hukum Gulat mempertanyakan kebenarannya.
“Berapa keluar uang untuk SK 673? Itu Rp2,9 miliar dari mana? katanya kan dari pengalaman sebelumnya?” tanya anggota majelis hakim I Made Hendra. Annas kelabakan atas pertanyaan tersebut. Politikus Partai Golkar ini mengklaim uang itu hasil perhitungan yang dibuatnya sendiri. Hakim Made tidak mempercayai jawaban Annas. Dia kemudian bertanya bagaimana Annas bisa mendapatkan kalkulasi biaya hingga mencapai Rp2,9 miliar.
Menurut Annas, uang tersebut diperlukan untuk biaya operasional seperti akomodasi pesawat pejabat, mengurusi dan membawa revisi SK, penginapan, makan, dan rapat-rapat dengan anggota Komisi IV DPR. “Sebab kalau untuk kepentingan pemerintah diajukan ke Kemenhut. Tapi kalau untuk kepentingan untuk masyarakat dan perusahaan harus dibahas DPR,” ungkap Annas.
Penegasan yang sama dalam permintaan uang, juga disampaikan Annas ke Gulat untuk memasukkan kebun sawit milik Gulat dalam revisi SK 673/Menhut-II/2014. “(Saya sampaikan) Pak Gulat ini untuk kebun (Pak Gulat) bukan persetujuannya pemerintah, ini harus dibahas DPR. Kita sekarang karena menhut menyambut baik kebun rakyat sehingga DPR mengurus ini, kita butuh dana operasional, macam-macam,” ungkap Annas. Annas terus diberondong pertanyaan.
Ketua Majelis Hakim Supriyono menanyakan bagaimana mungkin uang operasional tersebut diminta dari Gulat. Menurut Supriyono, kalau untuk kepentingan rakyat seharusnya Pemprov Riau menganggarkannya secara resmi dari APBD. “Kenapa tidak dianggarkan? Ini kan buat masyarakat Riau, asal bisa dipertanggungjawabkan. Ini kan bisa dianggarkan di APBD,” papar Supriyono.
Majelis hakim kemudian memberikan kesempatan kepada Gulat dan tim penasihat hukumnya untuk bertanya dan menanggapi kesaksian Annas. Jimmy Stefanus selaku penasihat hukum Gulat, kemudian membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Annas Nomor 65 berkaitan dengan rekaman suara Annas dengan Gulat.
“Saudara saksi (Annas) menjelaskan maksud saya mengatakan untuk DPR Rp2,9 miliar adalah alokasi uang Rp2,9 miliar untuk anggota Komisi IV sebanyak 64 orang, dengan harapan DPR mau memberikan persetujuan terhadap kawasan hutan yang kami ajukan ke menhut. Apa benar?” tanya Jimmy. Annas membenarkannya. Jimmy kembali bertanya apa dasar Annas sehingga muncul angka Rp2,9 miliar untuk anggota DPR. Apakah uang tersebut dibagi rata ke 64 anggota dewan atau bagaimana. Annas masih berkilah.
Menurut dia, uang tersebut adalah operasional saat pengurusan revisi SK Menhut 673. Baik untuk bertemu Zulkifli Hasan maupun akomodasi rapat dengan DPR. “Itu kita sepakatkan dengan Pak Gulat,” papar Annas. JPU sempat memperdengarkan rekaman percakapan Annas dengan Gulat yang dijadikan barang bukti. Dalam rekaman yang hanya beberapa detik itu, Annas menyebut 64 anggota Komisi IV.
Namun, Annas mengklaim sadapan dalam telepon itu mungkin terlalu singkat. “Mungkin untuk pengurusan anggota Komisi IV tidak benar, cuma dalam telepon singkat,” ujarnya. Ketua JPU Kresno Anro Wibowo kemudian menanyakan sadapan Gulat dan Triyanto yang menyebutkan sandi “kacang pukul”. Dalam kesaksiannya, tutur Kresno, Triyanto mengakui dihubungi Gulat dengan sandi “kacang pukul” yang diduga sebagai uang yang akan diberikan Gulat ke Annas.
“Apakah dalam percakapan saksi mengetahui atau mengenal bahwa terdakwa katakan kacang pukul, siap Pak. Maksud kacang pukul apa?” tanya Kresno. Annas mengaku tidak pernah menyatakan sandi tersebut saat berbincang dengan Gulat maupun Triyanto. Menurut dia, “kacang pukul” itu kue yang ada di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Sabir laluhu
Pengakuan ini disampaikan Annas saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap alih fungsi lahan di Riau dengan terdakwa Gulat Medali Emas Manurung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemarin.
Annas mengaku uang Rp2,9 miliar itu dimintanya karena Gulat meminta agar lahannya dimasukkan dalam revisi atau perubahan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 673/Menhut- II/2014 tertanggal 8 Agustus 2014. SK Menhut ini awalnya tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas 1.638.249 Hektare, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas 717.543 Hektare, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas 11.552 Hektare.
“Gulat datang ke rumah kita. Mohon dimasukkan kebun-kebun yang di bawah asosiasi sawit. Saya suruh Pak Gulat jumpa Kadis Kehutanan (Irwan Effendy),” ungkap Annas di depan majelis hakim. Dia melanjutkan, SK tersebut lebih dulu diberikan Menhut Periode 2009-2014 Zulkifli Hasan pada perayaan Ulang Tahun Provinsi Riau, 9 Agustus 2014.
Zulkifli menyampaikan, bila masih ada lahan masyarakat yang belum dimasukkan maka pemprov dan masyarakat bisa menambah lahan dan/atau merevisi SK 673 untuk dijadikan area peruntukan lainnya (APL). Singkat cerita, Annas bersama pejabat terkait menelaah sejumlah kawasan dan program pembangunan daerah yang masih masuk sebagai kawasan hutan untuk diusulkan masuk revisi menjadi bukan kawasan hutan, di antaranya berkaitan dengan jalan-jalan pemerintah, tol, bangunan kantor camat, bangunan lurah, dan bangunan surat Dia menyebutkan ada dua kali permohonan revisi.
Permintaan Gulat akhirnya dimasukkan Annas dalam surat usulan revisi kedua yang disampaikan ke menhut. Suratnya ditandatangani Annas pada 18 September 2014. Setelah itu, Annas yang merasa mendapat kesempatan langsung meminta uang kepada Gulat. “Saya waktu itu bilang, Pak Gulat, untuk mengurus ini karena yang kita harapkan kebun ini tidak hanya tiga kabupaten, tapi semua diurus seluruh provinsi. (Saya minta) Rp2,9 miliar lebih kurang,” bebernya.
Berikutnya, tutur Annas, Gulat menyampaikan saat itu tak sanggup memberikan Rp2,9 miliar. Gulat hanya sanggup menyediakan USD100.000 dan Rp500 juta saat akan bertandang ke Jakarta. Meski demikian, Annas tidak tahu apakah untuk melengkapi uang Rp2,9 miliar itu Gulat kemudian meminta tambahan dari Direktur PT Citra Hokiana Triutama Edison Marudut Marsadauli sebesar USD125.000 atau setara Rp1,5 miliar. “Usulan revisi kedua itu usulan ketua asosiasi, Pak Gulat,” tandasnya.
Annas membeberkan, uang Rp2,9 miliar dari Gulat Medali Emas Manurung rencananya untuk dibagikan kepada 64 anggota Komisi IV DPR periode 2009-2014. Uang tersebut untuk operasional. Namun, kesaksian Annas ini memicu majelis hakim, JPU, dan tim penasihat hukum Gulat mempertanyakan kebenarannya.
“Berapa keluar uang untuk SK 673? Itu Rp2,9 miliar dari mana? katanya kan dari pengalaman sebelumnya?” tanya anggota majelis hakim I Made Hendra. Annas kelabakan atas pertanyaan tersebut. Politikus Partai Golkar ini mengklaim uang itu hasil perhitungan yang dibuatnya sendiri. Hakim Made tidak mempercayai jawaban Annas. Dia kemudian bertanya bagaimana Annas bisa mendapatkan kalkulasi biaya hingga mencapai Rp2,9 miliar.
Menurut Annas, uang tersebut diperlukan untuk biaya operasional seperti akomodasi pesawat pejabat, mengurusi dan membawa revisi SK, penginapan, makan, dan rapat-rapat dengan anggota Komisi IV DPR. “Sebab kalau untuk kepentingan pemerintah diajukan ke Kemenhut. Tapi kalau untuk kepentingan untuk masyarakat dan perusahaan harus dibahas DPR,” ungkap Annas.
Penegasan yang sama dalam permintaan uang, juga disampaikan Annas ke Gulat untuk memasukkan kebun sawit milik Gulat dalam revisi SK 673/Menhut-II/2014. “(Saya sampaikan) Pak Gulat ini untuk kebun (Pak Gulat) bukan persetujuannya pemerintah, ini harus dibahas DPR. Kita sekarang karena menhut menyambut baik kebun rakyat sehingga DPR mengurus ini, kita butuh dana operasional, macam-macam,” ungkap Annas. Annas terus diberondong pertanyaan.
Ketua Majelis Hakim Supriyono menanyakan bagaimana mungkin uang operasional tersebut diminta dari Gulat. Menurut Supriyono, kalau untuk kepentingan rakyat seharusnya Pemprov Riau menganggarkannya secara resmi dari APBD. “Kenapa tidak dianggarkan? Ini kan buat masyarakat Riau, asal bisa dipertanggungjawabkan. Ini kan bisa dianggarkan di APBD,” papar Supriyono.
Majelis hakim kemudian memberikan kesempatan kepada Gulat dan tim penasihat hukumnya untuk bertanya dan menanggapi kesaksian Annas. Jimmy Stefanus selaku penasihat hukum Gulat, kemudian membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Annas Nomor 65 berkaitan dengan rekaman suara Annas dengan Gulat.
“Saudara saksi (Annas) menjelaskan maksud saya mengatakan untuk DPR Rp2,9 miliar adalah alokasi uang Rp2,9 miliar untuk anggota Komisi IV sebanyak 64 orang, dengan harapan DPR mau memberikan persetujuan terhadap kawasan hutan yang kami ajukan ke menhut. Apa benar?” tanya Jimmy. Annas membenarkannya. Jimmy kembali bertanya apa dasar Annas sehingga muncul angka Rp2,9 miliar untuk anggota DPR. Apakah uang tersebut dibagi rata ke 64 anggota dewan atau bagaimana. Annas masih berkilah.
Menurut dia, uang tersebut adalah operasional saat pengurusan revisi SK Menhut 673. Baik untuk bertemu Zulkifli Hasan maupun akomodasi rapat dengan DPR. “Itu kita sepakatkan dengan Pak Gulat,” papar Annas. JPU sempat memperdengarkan rekaman percakapan Annas dengan Gulat yang dijadikan barang bukti. Dalam rekaman yang hanya beberapa detik itu, Annas menyebut 64 anggota Komisi IV.
Namun, Annas mengklaim sadapan dalam telepon itu mungkin terlalu singkat. “Mungkin untuk pengurusan anggota Komisi IV tidak benar, cuma dalam telepon singkat,” ujarnya. Ketua JPU Kresno Anro Wibowo kemudian menanyakan sadapan Gulat dan Triyanto yang menyebutkan sandi “kacang pukul”. Dalam kesaksiannya, tutur Kresno, Triyanto mengakui dihubungi Gulat dengan sandi “kacang pukul” yang diduga sebagai uang yang akan diberikan Gulat ke Annas.
“Apakah dalam percakapan saksi mengetahui atau mengenal bahwa terdakwa katakan kacang pukul, siap Pak. Maksud kacang pukul apa?” tanya Kresno. Annas mengaku tidak pernah menyatakan sandi tersebut saat berbincang dengan Gulat maupun Triyanto. Menurut dia, “kacang pukul” itu kue yang ada di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Sabir laluhu
(bbg)