Sepiring Hidangan Konspirasi
A
A
A
Berbeda dengan novel sebelumnya, Amba, di novel Aruna & Lidahnya Laksmi Pamuntjak mengajak pembaca berwisata kuliner keliling Indonesia, mencicipi kelezatan masakan, dan terlibat konspirasi kasus flu burung.
Laksmi Pamuntjak mendedah kekayaan kuliner Indonesia, mulai Surabaya, Bangkalan, Pamekasan, Palembang, Medan, Aceh, Pontianak, Singkawang, hingga Lombok. Novel ini berkisah tentang Aruna, seorang epidemilogis, ahli wabah yang gemar berwisata kuliner. Perjalanan Aruna ditemani dua karibnya yang juga penggila makanan, Bono dan Nadezhda. Bono seorang koki dan pemilik restoran Sirai.
Sedangkan Nadezhda penulis sekaligus pakar kuliner. Mereka melakukan peninjauan lapangan flu burung di berbagai daerah. Dalam perjalanan itulah mereka menderetkan kekayaan kuliner Indonesia. Kasus flu burung sedang menjadi headlinedi kementrian terkait. Sekaligus barang dagangan demi untung besar, mulai dari bisnis vaksin, bahan penelitian pihak asing, hingga isu-isu sosial.
Bagaimana Laksmi Pamuntjak bisa menulis aneka sajian kuliner Indonesia dengan begitu apik? Laksmi Pamuntjak adalah seorang kolumnis kuliner di The Jakarta Post dan sudah menerbitkan empat seri buku Jakarta Good Food Guide. Maka, sangat tidak aneh ketika di novel ini Laksmi Pamuntjak bertingkah seperti Bondan Winarno.
Pengalaman Laksmi Pamuntjak dalam dunia kuliner tampak dari bagaimana dia menderetkan rumah makan dengan aneka sajian istimewanya. Mulai dari rumah makan yang disebut secara jelas oleh Laksmi Pamuntjak, hingga rumah makan yang disamarkan. Misalnya, rumah masakan Banyuwangi.
Di tengah kota, nggak jauh dari by safeweb">hotel (hal.108) untuk menyebut sebuah restoran dengan aneka rujak cingur, rujak soto, juga botok pakis yang sudah langka namun membuat lidah Aruna dan kawan-kawan menari. Atau warung bebek di Madura yang membuat takjub akan nikmatnya dan membuat lidah berdecap-decap.
(hal.132) Di lain halaman, Laksmi Pamuntjak menyebutkan dengan gamblang rumah makan yang menjadi rujukannya. Laksmi Pamuntjak menjelaskan bagaimana mendapatkan gulo puan Cek Mia di dekat Masjid Agung Palembang yang mulai punah. Atau Warung Rujak Blang Bintang dekat bandara Aceh.
Bukan sekadar jalan-jalan dan makan-makan
Laksmi Pamuntjak tidak sedang menjadi pemandu wisata kuliner belaka. Laksmi tak hanya menyebutkan makanan enak saja. Di beberapa bagian, Laksmi menyebutkan kejorokan sebuah rumah makan. Laksmi mendeskripsikan tidak higienisnya rumah makan Nasi Bebek di Madura, kita akan sadar betapa absennya kebersihan di tempat itu: loyang sambal mangga yang isinya tumpah ke mana-mana dan dibiarkan dikerubungi lalat, daun kemangi dan irisan timun yang tinggal dalam boks tanpa tutup, (hal.133).
Laksmi juga menjelaskan dengan sedikit kesal bagaimana rupa sate lalat Madura, pecel semanggi Surabaya, dan nasi tempong Mataram. Selain menyebutkan sederet hidangan khas Indonesia, Laksmi juga menyebutkan kekayaan kuliner luar negeri. Bono seorang koki di restoran Siria, mampu mengadopsi kembang kol dan cumi-cumi kreasi Chef Jason Atherton pemilik Pollen Street Social London.
Atau Nadezhda yang ahli dalam memilih wine. Laksmi juga mencoba mendedah filosofi dari sebuah makanan. Dalam penjelasannya, Laksmi mencoba membuka layer lain dari hidangan empekempek Palembang, yang ternyata memiliki kenangan tersendiri bagi Pak Fachri terhadap istrinya. (hal.179)
Semangkuk Konspirasi
Kalau dibandingkan dengan novel kuliner lain, misal The Hundred Foot Journey karya Richard C Morais, Laksmi mencoba mengambil ranah lebih serius dengan menghadirkan konspirasifluburungdiIndonesia. Flu burung dikisahkan menjadi arena bancakan proyek aneka kementrian. Kasusnya dibuat sedemikianheboh, sehinggapemerintah buru-buru mengucurkan dana untuk penelitian, pencegahan, dan pembuatan pabrik vaksin.
Padahal wabah-wabah sebelumnya pun tidak kalah heboh dibanding flu burung. Hingga di akhir, Aruna menjadi korban kementrian yang menikmati proyek flu burung. Namun kehadiran flu burung inilah yang menjadi titik lemah dari Aruna & Lidahnya. Laksmi tidak membuatnya menjadi kesatuan utuh dengan deretan nama masakan Indonesia.
Aruna yang doyan makan dan flu burung seolah dua hal yang dipadu asal jadi. Tapi, Aruna & Lidahnya memang novel kuliner yang berhasil membuat pembaca lapar dan memberi referensi tempat makan setiap kali bertandang ke kota-kota yang dikunjungi Aruna, Bono, dan Nadezhda. Mari makan!
Teguh Afandi,
penikmat buku dan aktif di Klub Sabtu.
Laksmi Pamuntjak mendedah kekayaan kuliner Indonesia, mulai Surabaya, Bangkalan, Pamekasan, Palembang, Medan, Aceh, Pontianak, Singkawang, hingga Lombok. Novel ini berkisah tentang Aruna, seorang epidemilogis, ahli wabah yang gemar berwisata kuliner. Perjalanan Aruna ditemani dua karibnya yang juga penggila makanan, Bono dan Nadezhda. Bono seorang koki dan pemilik restoran Sirai.
Sedangkan Nadezhda penulis sekaligus pakar kuliner. Mereka melakukan peninjauan lapangan flu burung di berbagai daerah. Dalam perjalanan itulah mereka menderetkan kekayaan kuliner Indonesia. Kasus flu burung sedang menjadi headlinedi kementrian terkait. Sekaligus barang dagangan demi untung besar, mulai dari bisnis vaksin, bahan penelitian pihak asing, hingga isu-isu sosial.
Bagaimana Laksmi Pamuntjak bisa menulis aneka sajian kuliner Indonesia dengan begitu apik? Laksmi Pamuntjak adalah seorang kolumnis kuliner di The Jakarta Post dan sudah menerbitkan empat seri buku Jakarta Good Food Guide. Maka, sangat tidak aneh ketika di novel ini Laksmi Pamuntjak bertingkah seperti Bondan Winarno.
Pengalaman Laksmi Pamuntjak dalam dunia kuliner tampak dari bagaimana dia menderetkan rumah makan dengan aneka sajian istimewanya. Mulai dari rumah makan yang disebut secara jelas oleh Laksmi Pamuntjak, hingga rumah makan yang disamarkan. Misalnya, rumah masakan Banyuwangi.
Di tengah kota, nggak jauh dari by safeweb">hotel (hal.108) untuk menyebut sebuah restoran dengan aneka rujak cingur, rujak soto, juga botok pakis yang sudah langka namun membuat lidah Aruna dan kawan-kawan menari. Atau warung bebek di Madura yang membuat takjub akan nikmatnya dan membuat lidah berdecap-decap.
(hal.132) Di lain halaman, Laksmi Pamuntjak menyebutkan dengan gamblang rumah makan yang menjadi rujukannya. Laksmi Pamuntjak menjelaskan bagaimana mendapatkan gulo puan Cek Mia di dekat Masjid Agung Palembang yang mulai punah. Atau Warung Rujak Blang Bintang dekat bandara Aceh.
Bukan sekadar jalan-jalan dan makan-makan
Laksmi Pamuntjak tidak sedang menjadi pemandu wisata kuliner belaka. Laksmi tak hanya menyebutkan makanan enak saja. Di beberapa bagian, Laksmi menyebutkan kejorokan sebuah rumah makan. Laksmi mendeskripsikan tidak higienisnya rumah makan Nasi Bebek di Madura, kita akan sadar betapa absennya kebersihan di tempat itu: loyang sambal mangga yang isinya tumpah ke mana-mana dan dibiarkan dikerubungi lalat, daun kemangi dan irisan timun yang tinggal dalam boks tanpa tutup, (hal.133).
Laksmi juga menjelaskan dengan sedikit kesal bagaimana rupa sate lalat Madura, pecel semanggi Surabaya, dan nasi tempong Mataram. Selain menyebutkan sederet hidangan khas Indonesia, Laksmi juga menyebutkan kekayaan kuliner luar negeri. Bono seorang koki di restoran Siria, mampu mengadopsi kembang kol dan cumi-cumi kreasi Chef Jason Atherton pemilik Pollen Street Social London.
Atau Nadezhda yang ahli dalam memilih wine. Laksmi juga mencoba mendedah filosofi dari sebuah makanan. Dalam penjelasannya, Laksmi mencoba membuka layer lain dari hidangan empekempek Palembang, yang ternyata memiliki kenangan tersendiri bagi Pak Fachri terhadap istrinya. (hal.179)
Semangkuk Konspirasi
Kalau dibandingkan dengan novel kuliner lain, misal The Hundred Foot Journey karya Richard C Morais, Laksmi mencoba mengambil ranah lebih serius dengan menghadirkan konspirasifluburungdiIndonesia. Flu burung dikisahkan menjadi arena bancakan proyek aneka kementrian. Kasusnya dibuat sedemikianheboh, sehinggapemerintah buru-buru mengucurkan dana untuk penelitian, pencegahan, dan pembuatan pabrik vaksin.
Padahal wabah-wabah sebelumnya pun tidak kalah heboh dibanding flu burung. Hingga di akhir, Aruna menjadi korban kementrian yang menikmati proyek flu burung. Namun kehadiran flu burung inilah yang menjadi titik lemah dari Aruna & Lidahnya. Laksmi tidak membuatnya menjadi kesatuan utuh dengan deretan nama masakan Indonesia.
Aruna yang doyan makan dan flu burung seolah dua hal yang dipadu asal jadi. Tapi, Aruna & Lidahnya memang novel kuliner yang berhasil membuat pembaca lapar dan memberi referensi tempat makan setiap kali bertandang ke kota-kota yang dikunjungi Aruna, Bono, dan Nadezhda. Mari makan!
Teguh Afandi,
penikmat buku dan aktif di Klub Sabtu.
(bbg)