Lusa, 6 Napi Narkoba Dieksekusi Mati
A
A
A
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkoba, Minggu (18/1). Eksekusi dipastikan digelar di lokasi, yaitu di Nusakambangan, Cilacap dan Boyolali, Jawa Tengah.
“Eksekusi lima orang di Nusakambangan, satu orang lainnya di Boyolali,” ungkap Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta kemarin. Prasetyo mengatakan, baik Nusakambangan maupun Boyolali ideal untuk menjadi lokasi eksekusi. Untuk mematangkan persiapan eksekusi, dia mengaku sudah mengecek langsung tempat eksekusi mati itu.
Lima dari enam orang yang akan dieksekusi mati adalah warga negara asing. Identitas rinci mereka adalah Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI). Prasetyo mengatakan, kedutaan masing-masing negara diberi kebebasan untuk menemui warganya sebelum eksekusi mati.
“Dari kedutaan besar, sudah ada yang datang ke Cilacap dan Nusakambangan untuk menemui warganya masing-masing. Kita beri kebebasan yang seluas-luasnya,” terang dia. Untuk Rani Andriani alias Melisa Aprilia diketahui berasal dari Cianjur, Jawa Barat. Namun, pihaknya belum mengetahui pekerjaan pasti Rani. Napi narkotika yang sebelumnya meringkuk di Lapas Bulu Kota Semarang ini segera dipindahkan ke Boyolali untuk persiapan eksekusi.
“Putusan pengadilan negeri tahun 2000, putusan MA 2001, peninjauan kembali 2002, dan grasinya ditolak 30 Desember 2014,” terangnya. Prasetyo menyebutkan, selain Rani, napi perempuan lainnya yang akan menghadapi regu tembakadalahTranThiBich Hanh, napi asal Vietnam yang ditangkap saat membawa sabu 1,1 kg di Bandara Adisoemarmo Solo. Bich Hanh bersama empat napi lainnya kini sudah berkumpul di Nusakambangan menunggu detik-detik eksekusi.
Marco Archer Cardoso Moreira, napi asal Brasil diketahui merupakan pilot maskapai sebuah penerbangan. Marco divonis mati karena terbukti menyelundupkan 13,4 kilogram kokain dan sempat kabur. Dia menyembunyikan kokain itu ke dalam pipa kerangka gantole yang tersimpandi sebuah tas. Dia sempat melarikan diri dengan cara mengelabui petugas di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 2 Agustus 2003. Setelah dua pekan buron, Marco ditangkap di Pulau Moyo, DesaLabuanAji, Sumbawa, NTB pada 16 Agustus 2003.
Atas perbuatannya tersebut, Marco diseret ke pengadilan. Marco akhirnya dijatuhi hukuman mati dalam kasus narkotika oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 8 Juni 2004. Kemudian, dia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten, tetapi ditolak pada 23 Agustus 2004. Marco lantas mengajukan kasasi ke MA pada 25 Januari 2005. Namun, MA tetap menjatuhkan vonis mati kepada Marco.
Setelah itu, dia mengajukan grasi pada 2006 dan ditolak. Atas hal itu, Marco lalu mengajukan grasi kedua kali tapi lagilagi ditolak pada April 2008. Dan kini dia meringkuk di Lapas Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap. “Terpidana menyatakan siap melaksanakan apapun putusan hukum karena setiap manusia pasti akan mati,” katanya.
Sementara Namaona Denis, warga Malawi, terbukti menyelundupkan 1.000 gram heroin. Denis divonis mati oleh PN Tangerang pada 4 September 2001. Kemudian Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou, warga negara Nigeria, juga menyelundupkan 1,15 kg heroin. Dia divonis mati oleh PN Tangerang pada 22 September 2004. Sementara Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya, warga Belanda, adalah pemilik pabrik ekstasi di Ciledug, Kota Tangerang. Pabriknya mampu memproduksi 150.000 ekstasi per hari.
Saat pabriknya digerebek ditemukan 700 kg bahan ekstasi. Dia divonis mati oleh PN Tangerang pada 13 Januari 2003. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Jawa Tengah A Yuspahruddin mengatakan, pihaknya sudah menerima koordinasi terkait pelaksanaan eksekusi mati itu.
Yuspahruddin menyebut semua teknis pelaksanaan di luar kewenangannya. Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Nur Ali saat dikonfirmasi membenarkan terkait rencana eksekusi mati itu. “Kami itu sifatnya pelaksana saja. Kalau ditanya sudah siap (regu penembak), kapan pun kami siap,” kata dia. Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai berpendapat, Kejagung mestinya tidak melakukan eksekusi mati. Menurutnya, hak hidup seseorang tidak boleh dirampas atau dikurangi begitu saja.
“Soal hukuman mati, apa pun ceritanya, kita kembalikan ke Tuhan saja, jangan dari manusia, apalagi negara. Mereka tidak bisa melegitimasi mengenai pembunuhan terhadap seseorang,” ujarnya.
Alfian faisal/ Eka setiawan
“Eksekusi lima orang di Nusakambangan, satu orang lainnya di Boyolali,” ungkap Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta kemarin. Prasetyo mengatakan, baik Nusakambangan maupun Boyolali ideal untuk menjadi lokasi eksekusi. Untuk mematangkan persiapan eksekusi, dia mengaku sudah mengecek langsung tempat eksekusi mati itu.
Lima dari enam orang yang akan dieksekusi mati adalah warga negara asing. Identitas rinci mereka adalah Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI). Prasetyo mengatakan, kedutaan masing-masing negara diberi kebebasan untuk menemui warganya sebelum eksekusi mati.
“Dari kedutaan besar, sudah ada yang datang ke Cilacap dan Nusakambangan untuk menemui warganya masing-masing. Kita beri kebebasan yang seluas-luasnya,” terang dia. Untuk Rani Andriani alias Melisa Aprilia diketahui berasal dari Cianjur, Jawa Barat. Namun, pihaknya belum mengetahui pekerjaan pasti Rani. Napi narkotika yang sebelumnya meringkuk di Lapas Bulu Kota Semarang ini segera dipindahkan ke Boyolali untuk persiapan eksekusi.
“Putusan pengadilan negeri tahun 2000, putusan MA 2001, peninjauan kembali 2002, dan grasinya ditolak 30 Desember 2014,” terangnya. Prasetyo menyebutkan, selain Rani, napi perempuan lainnya yang akan menghadapi regu tembakadalahTranThiBich Hanh, napi asal Vietnam yang ditangkap saat membawa sabu 1,1 kg di Bandara Adisoemarmo Solo. Bich Hanh bersama empat napi lainnya kini sudah berkumpul di Nusakambangan menunggu detik-detik eksekusi.
Marco Archer Cardoso Moreira, napi asal Brasil diketahui merupakan pilot maskapai sebuah penerbangan. Marco divonis mati karena terbukti menyelundupkan 13,4 kilogram kokain dan sempat kabur. Dia menyembunyikan kokain itu ke dalam pipa kerangka gantole yang tersimpandi sebuah tas. Dia sempat melarikan diri dengan cara mengelabui petugas di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 2 Agustus 2003. Setelah dua pekan buron, Marco ditangkap di Pulau Moyo, DesaLabuanAji, Sumbawa, NTB pada 16 Agustus 2003.
Atas perbuatannya tersebut, Marco diseret ke pengadilan. Marco akhirnya dijatuhi hukuman mati dalam kasus narkotika oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 8 Juni 2004. Kemudian, dia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten, tetapi ditolak pada 23 Agustus 2004. Marco lantas mengajukan kasasi ke MA pada 25 Januari 2005. Namun, MA tetap menjatuhkan vonis mati kepada Marco.
Setelah itu, dia mengajukan grasi pada 2006 dan ditolak. Atas hal itu, Marco lalu mengajukan grasi kedua kali tapi lagilagi ditolak pada April 2008. Dan kini dia meringkuk di Lapas Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap. “Terpidana menyatakan siap melaksanakan apapun putusan hukum karena setiap manusia pasti akan mati,” katanya.
Sementara Namaona Denis, warga Malawi, terbukti menyelundupkan 1.000 gram heroin. Denis divonis mati oleh PN Tangerang pada 4 September 2001. Kemudian Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou, warga negara Nigeria, juga menyelundupkan 1,15 kg heroin. Dia divonis mati oleh PN Tangerang pada 22 September 2004. Sementara Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya, warga Belanda, adalah pemilik pabrik ekstasi di Ciledug, Kota Tangerang. Pabriknya mampu memproduksi 150.000 ekstasi per hari.
Saat pabriknya digerebek ditemukan 700 kg bahan ekstasi. Dia divonis mati oleh PN Tangerang pada 13 Januari 2003. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Jawa Tengah A Yuspahruddin mengatakan, pihaknya sudah menerima koordinasi terkait pelaksanaan eksekusi mati itu.
Yuspahruddin menyebut semua teknis pelaksanaan di luar kewenangannya. Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Nur Ali saat dikonfirmasi membenarkan terkait rencana eksekusi mati itu. “Kami itu sifatnya pelaksana saja. Kalau ditanya sudah siap (regu penembak), kapan pun kami siap,” kata dia. Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai berpendapat, Kejagung mestinya tidak melakukan eksekusi mati. Menurutnya, hak hidup seseorang tidak boleh dirampas atau dikurangi begitu saja.
“Soal hukuman mati, apa pun ceritanya, kita kembalikan ke Tuhan saja, jangan dari manusia, apalagi negara. Mereka tidak bisa melegitimasi mengenai pembunuhan terhadap seseorang,” ujarnya.
Alfian faisal/ Eka setiawan
(ars)