Meneruskan Ekonomi Hijau
A
A
A
EGI RYAN ALDINO
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Anggota Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
Gaya hidup masyarakat saat ini telah menunjukkan bahwa pembangunan secara melambat pasti meningkat.
Perumahan, industri, dan transportasi saling mengejar satu sama lain demi satu tujuan, yakni ekonomi yang mapan. Jika diteruskan, pembangunan yang begitu eksploitatif ini dapat menciderai sumber daya yang ada dan mengkhawatirkan ekosistem saat ini dan masa depan.
Meski ditetapkan menjadi paru-paru dunia, Indonesia pada tahun 2014 ini menyumbangkan 2,05 miliar ton emisi karbon dan menjadikannya negara keenam penghasil emisi terbesar. Data ini dilansir oleh World Resources Institute, sebuah organisasi aktif yang melaporkan perkembangan emisi negara-negara di dunia sejak 1850.
Dengan alasan pertumbuhan ekonomi, sepertinya masyarakat dan pemerintah terlena untuk meneruskan pembangunan tanpa memikirkan kondisi alam yang makin tak seimbang. Sebagai contoh, kontroversi yang begitu marak, yakni hutan-hutan gambut yang dikonversi menjadi ladang kelapa sawit.
Meski ada permasalahan demikian, sejak 2012, semangat warga dunia untuk menyelaraskan perubahan pada ekonomi dan lingkungan sudah hadir dengan adanya United Nations Environment Programme yaitu Green Economy. Sebuah konsep ekonomi di mana tujuan dasarnya ingin menghilangkan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Dengan kalimat sederhana, perekonomian yang rendah karbon dan hemat sumber daya alam. Presiden ke 32 AS Franklin Delano Roosevelt pernah mengirimkan surat kepada semua gubernur di setiap negara bagian. Ia menuliskan untuk mengajak semua bergabung dalam mewujudkan konservasi lahan.
Dalam suratnya, ada sebuah kutipan menarik, yaitu sebuah bangsa yang menghancurkan alamnya telah menghancurkan bangsanya sendiri. Perkataan dan semangat Roosevelt mungkin adalah cikal bakal dari seluruh kegiatan penyelamatan lingkungan pada zamannya. Ekonomi hijau pun seharusnya juga tidak sulit untuk diteruskan dan dilakukan pada zaman sekarang.
Dengan fakta di mana sudah banyak pemerhati lingkungan, penciptaan teknologi ramah lingkungan, dan aturan yang berpihak pada perlindungan lingkungan. Terlepas dari perdebatan di luar sana bahwa ekonomi tidak akan pernah berjalan beriringan dengan lingkungan, masyarakat dan pemerintah tidak boleh menyerah untuk menyejajarkan keduanya pada level yang sama.
Sebuah perekonomian baik terbentuk atas pembangunan yang berjalan stabil tanpa perlu mengorbankan pemenuhan kebutuhan di masa depan. Di mana keseimbangan dengan alam, perlu menjadi prioritas serius demi kehidupan kelak.
Ini saatnya berpikir kembali atas kegiatan bisnis yang selama ini dilakukan, dan meneruskan kembali konsep ekonomi hijau.
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Anggota Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
Gaya hidup masyarakat saat ini telah menunjukkan bahwa pembangunan secara melambat pasti meningkat.
Perumahan, industri, dan transportasi saling mengejar satu sama lain demi satu tujuan, yakni ekonomi yang mapan. Jika diteruskan, pembangunan yang begitu eksploitatif ini dapat menciderai sumber daya yang ada dan mengkhawatirkan ekosistem saat ini dan masa depan.
Meski ditetapkan menjadi paru-paru dunia, Indonesia pada tahun 2014 ini menyumbangkan 2,05 miliar ton emisi karbon dan menjadikannya negara keenam penghasil emisi terbesar. Data ini dilansir oleh World Resources Institute, sebuah organisasi aktif yang melaporkan perkembangan emisi negara-negara di dunia sejak 1850.
Dengan alasan pertumbuhan ekonomi, sepertinya masyarakat dan pemerintah terlena untuk meneruskan pembangunan tanpa memikirkan kondisi alam yang makin tak seimbang. Sebagai contoh, kontroversi yang begitu marak, yakni hutan-hutan gambut yang dikonversi menjadi ladang kelapa sawit.
Meski ada permasalahan demikian, sejak 2012, semangat warga dunia untuk menyelaraskan perubahan pada ekonomi dan lingkungan sudah hadir dengan adanya United Nations Environment Programme yaitu Green Economy. Sebuah konsep ekonomi di mana tujuan dasarnya ingin menghilangkan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Dengan kalimat sederhana, perekonomian yang rendah karbon dan hemat sumber daya alam. Presiden ke 32 AS Franklin Delano Roosevelt pernah mengirimkan surat kepada semua gubernur di setiap negara bagian. Ia menuliskan untuk mengajak semua bergabung dalam mewujudkan konservasi lahan.
Dalam suratnya, ada sebuah kutipan menarik, yaitu sebuah bangsa yang menghancurkan alamnya telah menghancurkan bangsanya sendiri. Perkataan dan semangat Roosevelt mungkin adalah cikal bakal dari seluruh kegiatan penyelamatan lingkungan pada zamannya. Ekonomi hijau pun seharusnya juga tidak sulit untuk diteruskan dan dilakukan pada zaman sekarang.
Dengan fakta di mana sudah banyak pemerhati lingkungan, penciptaan teknologi ramah lingkungan, dan aturan yang berpihak pada perlindungan lingkungan. Terlepas dari perdebatan di luar sana bahwa ekonomi tidak akan pernah berjalan beriringan dengan lingkungan, masyarakat dan pemerintah tidak boleh menyerah untuk menyejajarkan keduanya pada level yang sama.
Sebuah perekonomian baik terbentuk atas pembangunan yang berjalan stabil tanpa perlu mengorbankan pemenuhan kebutuhan di masa depan. Di mana keseimbangan dengan alam, perlu menjadi prioritas serius demi kehidupan kelak.
Ini saatnya berpikir kembali atas kegiatan bisnis yang selama ini dilakukan, dan meneruskan kembali konsep ekonomi hijau.
(ftr)