Politik Akomodatif Jokowi Makin Kuat
A
A
A
JAKARTA - Publik menaruh harapan besar kepada kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membawa perubahan. Namun, kesan yang tampak oleh publik saat ini Jokowi terlalu akomodatif terhadap elite partai politik (parpol) pendukungnya.
Politik akomodatif tersebut antara lain terlihat pada pengangkatan sejumlah pejabat negara yang terindikasi titipan tokoh parpol anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Begitu pun pada pengambilan kebijakan di bidang energi yang juga dinilai sarat intervensi.
Hal ini disayangkan banyak pihak karena Jokowi sebenarnya memiliki modal legitimasi sebagai pemimpin yang didukung mayoritas rakyat. “Padahal sekutu sesungguhnya Jokowi adalah rakyat. Jokowi saat ini malah sangat akomodatif dengan kepentingan tokoh- tokoh partai anggota koalisi,” ujar peneliti dari Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded) Arif Susanto pada sebuah diskusi di Jakarta kemarin.
Arif mengatakan, terlihat dominannya tokoh parpol di 100 hari pertama pemerintahan mengindikasikan lemahnya daya cengkeram kekuasaan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia. Hal lain yang juga tampak pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) di tiga bulan pertama adalah pengambilan kebijakan yang cenderung sepihak dan minim musyawarah dengan DPR.
Terlepas dari kondisi parlemen yang sempat terbelah menjadi dua kubu, setidaknya pemerintah dapat meminta masukan elemen masyarakat lain sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Akibat pengambilan kebijakan yang sepihak inilah yang dituding menjadi penyebab pemerintah salah hitung saat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada November 2014.
“Faktanya, Jokowi meralat kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Harga BBM premium yang sempat dinaikkan, tak lama kembali diturunkan,” ujar Arif. Koordinasi di Kabinet Kerja pun dinilai tidak berjalan efektif. Para menteri belum menunjukkan sinergi sebagai sebuah tim.
Kerja-kerja berbagai kementerian masih terkesan parsial, berjalan sendiri-sendiri, bukan kerja sama antarkementerian untuk menangani masalah yang kompleks. Fakta yang ironis, kata dia, adalah munculnya perselisihan KementerianDalamNegeri (Kemendagri) dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) terkait pengelolaan desa.
Di tempat sama, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, belakangan ini keberpihakan Jokowi kepada elite politik di sekitarnya makin tak terbendung. Hal ini terlihat dari pemilihan sejumlah pejabat negara seperti Jaksa Agung dan Kapolri. “Pada pemilihan kapolri ini, Jokowi makin terlihat tidak berdaya dengan kepentingan politik orang-orang di sekelilingnya. Dan gejala ini semakin kuat,” ujar Jeirry.
Dia mengatakan, jika Jokowi makin sering membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan janji-janjinya, publik akan semakin bertanya ke mana pemerintahannya berpihak. Jika tidak ada ketegasan soal gagasan dan platform dalam pelaksanaan program, pemerintahan ke depan bisa saja lebih leluasa dan arogan dalam melaksanakan agendanya, bahkan bisa jadi akan berlawanan dengan kepentingan rakyat.
Budayawan Romo Antonius Benny mengatakan, menterimenteri Kabinet Kerja yang cenderung bekerja sendiri-sendiri itu dipicu oleh lemahnya leadership atau kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. “Jokowi yang berjanji akan keluar dari kompromi-kompromi politik, kenyataannya janji itu kandas,” jelas Romo yang juga menjadi pembicara diskusi.
Juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK diberi mandat bekerja untuk rakyat selama lima tahun, sehingga tidak fair jika kerja lima tahun tersebut hanya dinilai dalam kurun waktu tiga bulan. Dia meminta seluruh pihak adil dalam menilai. Selain itu, kata dia, Jokowi sejak awal juga menolak untuk dinilai dalam waktu 100 hari kerja.
“Karena ada siklus anggaran, siklus perencanaan saja baru selesai dalam waktu tiga bulan. Jadi penilaian sekarang ini enggak fair,” kata Eva kemarin. Menurut dia, hingga saat ini semua menteri telah bekerja sesuai dengan konsep Nawacita. Bahkan, presiden secara rutin setiap Sabtu dan Minggu mengajak menterinya untuk rapat guna memastikan menterimenterinya bergerak.
Kiswondari
Politik akomodatif tersebut antara lain terlihat pada pengangkatan sejumlah pejabat negara yang terindikasi titipan tokoh parpol anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Begitu pun pada pengambilan kebijakan di bidang energi yang juga dinilai sarat intervensi.
Hal ini disayangkan banyak pihak karena Jokowi sebenarnya memiliki modal legitimasi sebagai pemimpin yang didukung mayoritas rakyat. “Padahal sekutu sesungguhnya Jokowi adalah rakyat. Jokowi saat ini malah sangat akomodatif dengan kepentingan tokoh- tokoh partai anggota koalisi,” ujar peneliti dari Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded) Arif Susanto pada sebuah diskusi di Jakarta kemarin.
Arif mengatakan, terlihat dominannya tokoh parpol di 100 hari pertama pemerintahan mengindikasikan lemahnya daya cengkeram kekuasaan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia. Hal lain yang juga tampak pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) di tiga bulan pertama adalah pengambilan kebijakan yang cenderung sepihak dan minim musyawarah dengan DPR.
Terlepas dari kondisi parlemen yang sempat terbelah menjadi dua kubu, setidaknya pemerintah dapat meminta masukan elemen masyarakat lain sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Akibat pengambilan kebijakan yang sepihak inilah yang dituding menjadi penyebab pemerintah salah hitung saat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada November 2014.
“Faktanya, Jokowi meralat kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Harga BBM premium yang sempat dinaikkan, tak lama kembali diturunkan,” ujar Arif. Koordinasi di Kabinet Kerja pun dinilai tidak berjalan efektif. Para menteri belum menunjukkan sinergi sebagai sebuah tim.
Kerja-kerja berbagai kementerian masih terkesan parsial, berjalan sendiri-sendiri, bukan kerja sama antarkementerian untuk menangani masalah yang kompleks. Fakta yang ironis, kata dia, adalah munculnya perselisihan KementerianDalamNegeri (Kemendagri) dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) terkait pengelolaan desa.
Di tempat sama, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, belakangan ini keberpihakan Jokowi kepada elite politik di sekitarnya makin tak terbendung. Hal ini terlihat dari pemilihan sejumlah pejabat negara seperti Jaksa Agung dan Kapolri. “Pada pemilihan kapolri ini, Jokowi makin terlihat tidak berdaya dengan kepentingan politik orang-orang di sekelilingnya. Dan gejala ini semakin kuat,” ujar Jeirry.
Dia mengatakan, jika Jokowi makin sering membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan janji-janjinya, publik akan semakin bertanya ke mana pemerintahannya berpihak. Jika tidak ada ketegasan soal gagasan dan platform dalam pelaksanaan program, pemerintahan ke depan bisa saja lebih leluasa dan arogan dalam melaksanakan agendanya, bahkan bisa jadi akan berlawanan dengan kepentingan rakyat.
Budayawan Romo Antonius Benny mengatakan, menterimenteri Kabinet Kerja yang cenderung bekerja sendiri-sendiri itu dipicu oleh lemahnya leadership atau kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. “Jokowi yang berjanji akan keluar dari kompromi-kompromi politik, kenyataannya janji itu kandas,” jelas Romo yang juga menjadi pembicara diskusi.
Juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK diberi mandat bekerja untuk rakyat selama lima tahun, sehingga tidak fair jika kerja lima tahun tersebut hanya dinilai dalam kurun waktu tiga bulan. Dia meminta seluruh pihak adil dalam menilai. Selain itu, kata dia, Jokowi sejak awal juga menolak untuk dinilai dalam waktu 100 hari kerja.
“Karena ada siklus anggaran, siklus perencanaan saja baru selesai dalam waktu tiga bulan. Jadi penilaian sekarang ini enggak fair,” kata Eva kemarin. Menurut dia, hingga saat ini semua menteri telah bekerja sesuai dengan konsep Nawacita. Bahkan, presiden secara rutin setiap Sabtu dan Minggu mengajak menterinya untuk rapat guna memastikan menterimenterinya bergerak.
Kiswondari
(ars)