Karya yang Menyingkap Sejarah
A
A
A
Dua pameran di galeri Taman Ismail Marzuki (TIM) menampilkan karya-karya terbaik. Karya-karya yang tampil tak sekadar menghadirkan unsur estetik, lebih dari itu membeberkan dinamika perkembangan seni di Tanah Air.
Yang satu adalah pameran Seni Rupa Solo 4 Sekawan, dibuka pada Selasa (06/01) dan akan berakhir pada 20 Januari. Sedangkan yang kedua merupakan lanjutan dari pameran yang telah digelar pada 20 Desember 2014, bertajuk Lukisan yang Baik kumpulan lukisan sejak tahun 1970- an-berakhir pada Sabtu (10/01) kemarin.
Pameran Seni Rupa Solo 4 Sekawan bisa dinilai cukup istimewa. Mengapa? Karena baru pertama kali ini empat seniman senior asal Solo, Jawa Tengah (Jateng), yakni Yarry Yaryatno, Soegeng Toekio M, Arfial Arsal Hakim, dan Kunara, berkolaborasi dalam satu panggung pameran. Menurut sang kurator, Sri Warso Wahono, membincang seni lukis di Solo tak bisa lepas dari perhatian terhadap sejarah.
Adalah tahun 1950-an yang menjadi titik padanan pembahasan yang bisa dijadikan awal ingatan di mana muncul sebuah perkumpulan kesenian berwibawa, yaitu Himpunan Budaya Surakarta, populernya disebut HBS. Setelah HBS tenggelam pada awal tahun 1970-an, muncullah Akademi Seni Surakarta pada tahun 1962.
Akademi ini luruh pada tahun 1965, dan muncul Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), yang mengajarkan berbagai ragam teori, termasuk seni rupa modern. ASKI amat memuliakan seni pedalangan, joget klasik Jawa (wayang), dan seni sungging wayang kulit gagrak (gaya) Suarakarta. Lebih kental lagi adalah gaya Kraton Mangkunegaran. Empat sekawan ini dinilai sebagai generasi yang beruntung karena dilatari oleh aura budaya dan seni yang penuh dengan balutan sejarah tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari kayanya tema yang disajikan di ruang pameran Galeri Cipta III. Ada 27 lukisan yang ditampilkan. Ada 18 lukisan di lantai bawah, dan selebihnya di lantai dua. Termasuk, satu lukisan yang dipajang di tangga menuju lantai dua. Sebut saja Yarry, lulusan ASRI pada 1965, yang mengunggah pola dan bentuk seni realisme.
Dia piawai dalam tutur warna, garis, dan tekstural untuk membalut bentuk-bentuk visual yang dijadikan tema sentral lukisannya. Realisme gaya HBS, berikut kejenesan warna-warna yang colouristic banyak bermunculan. Sebagai contoh lukisan berjudul Bunga, Kuda , dan Menanti. Ada pula Fatamorgana 1, yang memperlihatkan seorang figur wanita yang bertelanjang tubuh, dan bagian payudaranya terlihat, dengan kaki yang satu diangkat ke atas kaki yang lain.
Lelaki kelahiran 76 tahun silam ini berani mengolah tata komposisi akademis yang berbeda secara format dasar yang ditekankan HBS. Lebih bebas dan dinamis. Lalu Soegeng yang mengakui jika lukisannya berangkat dari tema yang sudah menjadi mitos, cerita rakyat, legenda, dan religi di tengah masyarakat. “Itulah, maka akan kita kenali lukisan yang bersifat naratif. Ada unsur dan kandungan cerita dibalik wujud visualnya,” ujarnya.
Misalkan, lewat lukisan berjudul Boyong Kedaton, Bersih Desa, Pisowanan, Nitibeksan, dan Palagan. Kelima lukisan ini hendak menceritakan kisah atau upacara yang diikuti banyak orang pada suatu masa. Figur-figur manusia pelaku upacara dengan kostum tradisi Jawa, dilukiskan karikatural dan berciri dekoratif pipih. Bagaimana dengan Arfial? Jika diperhatikan dengan seksama, sebagian besar lukisannya merupakan manifestasi pemujaan terhadap keindahan alam semesta.
Apakah itu pegunungan, pantai, petak sawah dan pedesaan. Bagi dia, alam raya senantiasa dapat memperbaharui spiritualitas dan memberi inspirasi pada jiwa yang melukiskan keindahannya. Kemudian lukisan Kunara harus diperlakukan agak beda. Ia tak hendak memberi muatan gagasan khusus, juga tak punya dalih untuk kemampuan artistik terkait lukisannya.
Melalui gubahan dan kreasinya ia berperan menggugah inspirasi pada tataran penghayatan seni dan makna kekuatan gaya seni lewat olahannya. Contohnya, lukisan berjudul Pembuat Jamu Tradisional, Jamu Gendong, dan Benteng Vastenburg. Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Irawan Karseno, melalui buku pengantar TIM, mengatakan bahwa para perupa ini bisa dibilang memiliki andil yang cukup besar dalam dunia seni rupa di Solo.
Dia mencontohkan Yarry yang dinilai berhasil mengembangkan toko buku dan alat tulis Karono menjadi sebuah art space . Lalu Soegeng yang sering mengangkat tema sejarah dan cerita rakyat yang dituangkan dengan sentuhan wayang di setiap karya-karyanya. Yang tidak kalah menarik yakni sosok Arfial.
Pada tahun 2010 lalu salah satu lukisannya terpilih sebagai karya adiluhung (masterpiece ) koleksi Galeri Nasional. Adapun, Kunara masih tercatat aktif berpameran dan mengikuti kegiatan melukis bersama di Solo dan Yogyakarta. Tak hanya menjadi ajang pameran semata, pameran ini pun diharapkan mampu memunculkan dialog apresiatif yang mendalam di antara sesama seniman dan masyarakat pecinta seni lukis, baik dari Jakarta maupun Solo.
“Terus terang saja, para seniman Jakarta sangat memerlukan suatu perbandingan komprehensif, yang bisa membuka ruang inspirasi mereka selama berekspresi,” ujar Kepala Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (BP PKJ-TIM) Bambang Subekti. Dia menambahkan persentuhanidedangagasanseniragam gaya dan bentuk-bentuk yang diekspresikan, bisa menumbuhkan semangat dan ambisi baruuntukmemulailangkahdan gerak kreatif di hari-hari yang mereka jalani sebagai kreator.
Lukisan yang Baik
Adapun tema pameran, Lukisan yang Baik merupakan frasa yang tertulis dalam kepala surat pernyataan penerima hadiah Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974 yang diikuti lebih dari 80 pelukis dan merupakan cikal-bakal Jakarta Bienalle. Dalam keputusan lukisan yang baik itu, gaya abstrak dekoratif, yang tengah populer kala itu, menjadi tema yang mengikat para penerima hadiah seperti Abas Alibasyah, Aming Prayitno, A.D Pirous, Irsam, dan Widayat.
Keputusan itu rupanya menimbulkan perasaan kurang baik pada beberapa perupa muda. Sebagai tanggapan atas keputusan itu, mereka memublikasikan surat sikap yang dikenal dengan Pernyataan Desember Hitam 1974 dan ditandatangani oleh 13 seniman, di antaranya : FX Harsono, Hardi, Bonyong M. Ardhi, DA Peransi, Muryoto Hartoyo dan Baharuddin Marasutan.
Untuk mengisahkan ini, pameran juga dilengkapi dengan berbagai pemberitaan terkait di berbagai media massa cetak, khususnya koran pada jaman dahulu. Termasuk arsiparsip, katalog, dan suara yang diperdengarkan melalui audio di dalam ruang pameran. Para pengunjung pun terasa hanyut dan ditarik masuk dalam diskusi yang diselenggarakan sekitar tahun 1970- an itu.
Susi susanti
Yang satu adalah pameran Seni Rupa Solo 4 Sekawan, dibuka pada Selasa (06/01) dan akan berakhir pada 20 Januari. Sedangkan yang kedua merupakan lanjutan dari pameran yang telah digelar pada 20 Desember 2014, bertajuk Lukisan yang Baik kumpulan lukisan sejak tahun 1970- an-berakhir pada Sabtu (10/01) kemarin.
Pameran Seni Rupa Solo 4 Sekawan bisa dinilai cukup istimewa. Mengapa? Karena baru pertama kali ini empat seniman senior asal Solo, Jawa Tengah (Jateng), yakni Yarry Yaryatno, Soegeng Toekio M, Arfial Arsal Hakim, dan Kunara, berkolaborasi dalam satu panggung pameran. Menurut sang kurator, Sri Warso Wahono, membincang seni lukis di Solo tak bisa lepas dari perhatian terhadap sejarah.
Adalah tahun 1950-an yang menjadi titik padanan pembahasan yang bisa dijadikan awal ingatan di mana muncul sebuah perkumpulan kesenian berwibawa, yaitu Himpunan Budaya Surakarta, populernya disebut HBS. Setelah HBS tenggelam pada awal tahun 1970-an, muncullah Akademi Seni Surakarta pada tahun 1962.
Akademi ini luruh pada tahun 1965, dan muncul Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), yang mengajarkan berbagai ragam teori, termasuk seni rupa modern. ASKI amat memuliakan seni pedalangan, joget klasik Jawa (wayang), dan seni sungging wayang kulit gagrak (gaya) Suarakarta. Lebih kental lagi adalah gaya Kraton Mangkunegaran. Empat sekawan ini dinilai sebagai generasi yang beruntung karena dilatari oleh aura budaya dan seni yang penuh dengan balutan sejarah tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari kayanya tema yang disajikan di ruang pameran Galeri Cipta III. Ada 27 lukisan yang ditampilkan. Ada 18 lukisan di lantai bawah, dan selebihnya di lantai dua. Termasuk, satu lukisan yang dipajang di tangga menuju lantai dua. Sebut saja Yarry, lulusan ASRI pada 1965, yang mengunggah pola dan bentuk seni realisme.
Dia piawai dalam tutur warna, garis, dan tekstural untuk membalut bentuk-bentuk visual yang dijadikan tema sentral lukisannya. Realisme gaya HBS, berikut kejenesan warna-warna yang colouristic banyak bermunculan. Sebagai contoh lukisan berjudul Bunga, Kuda , dan Menanti. Ada pula Fatamorgana 1, yang memperlihatkan seorang figur wanita yang bertelanjang tubuh, dan bagian payudaranya terlihat, dengan kaki yang satu diangkat ke atas kaki yang lain.
Lelaki kelahiran 76 tahun silam ini berani mengolah tata komposisi akademis yang berbeda secara format dasar yang ditekankan HBS. Lebih bebas dan dinamis. Lalu Soegeng yang mengakui jika lukisannya berangkat dari tema yang sudah menjadi mitos, cerita rakyat, legenda, dan religi di tengah masyarakat. “Itulah, maka akan kita kenali lukisan yang bersifat naratif. Ada unsur dan kandungan cerita dibalik wujud visualnya,” ujarnya.
Misalkan, lewat lukisan berjudul Boyong Kedaton, Bersih Desa, Pisowanan, Nitibeksan, dan Palagan. Kelima lukisan ini hendak menceritakan kisah atau upacara yang diikuti banyak orang pada suatu masa. Figur-figur manusia pelaku upacara dengan kostum tradisi Jawa, dilukiskan karikatural dan berciri dekoratif pipih. Bagaimana dengan Arfial? Jika diperhatikan dengan seksama, sebagian besar lukisannya merupakan manifestasi pemujaan terhadap keindahan alam semesta.
Apakah itu pegunungan, pantai, petak sawah dan pedesaan. Bagi dia, alam raya senantiasa dapat memperbaharui spiritualitas dan memberi inspirasi pada jiwa yang melukiskan keindahannya. Kemudian lukisan Kunara harus diperlakukan agak beda. Ia tak hendak memberi muatan gagasan khusus, juga tak punya dalih untuk kemampuan artistik terkait lukisannya.
Melalui gubahan dan kreasinya ia berperan menggugah inspirasi pada tataran penghayatan seni dan makna kekuatan gaya seni lewat olahannya. Contohnya, lukisan berjudul Pembuat Jamu Tradisional, Jamu Gendong, dan Benteng Vastenburg. Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Irawan Karseno, melalui buku pengantar TIM, mengatakan bahwa para perupa ini bisa dibilang memiliki andil yang cukup besar dalam dunia seni rupa di Solo.
Dia mencontohkan Yarry yang dinilai berhasil mengembangkan toko buku dan alat tulis Karono menjadi sebuah art space . Lalu Soegeng yang sering mengangkat tema sejarah dan cerita rakyat yang dituangkan dengan sentuhan wayang di setiap karya-karyanya. Yang tidak kalah menarik yakni sosok Arfial.
Pada tahun 2010 lalu salah satu lukisannya terpilih sebagai karya adiluhung (masterpiece ) koleksi Galeri Nasional. Adapun, Kunara masih tercatat aktif berpameran dan mengikuti kegiatan melukis bersama di Solo dan Yogyakarta. Tak hanya menjadi ajang pameran semata, pameran ini pun diharapkan mampu memunculkan dialog apresiatif yang mendalam di antara sesama seniman dan masyarakat pecinta seni lukis, baik dari Jakarta maupun Solo.
“Terus terang saja, para seniman Jakarta sangat memerlukan suatu perbandingan komprehensif, yang bisa membuka ruang inspirasi mereka selama berekspresi,” ujar Kepala Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (BP PKJ-TIM) Bambang Subekti. Dia menambahkan persentuhanidedangagasanseniragam gaya dan bentuk-bentuk yang diekspresikan, bisa menumbuhkan semangat dan ambisi baruuntukmemulailangkahdan gerak kreatif di hari-hari yang mereka jalani sebagai kreator.
Lukisan yang Baik
Adapun tema pameran, Lukisan yang Baik merupakan frasa yang tertulis dalam kepala surat pernyataan penerima hadiah Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974 yang diikuti lebih dari 80 pelukis dan merupakan cikal-bakal Jakarta Bienalle. Dalam keputusan lukisan yang baik itu, gaya abstrak dekoratif, yang tengah populer kala itu, menjadi tema yang mengikat para penerima hadiah seperti Abas Alibasyah, Aming Prayitno, A.D Pirous, Irsam, dan Widayat.
Keputusan itu rupanya menimbulkan perasaan kurang baik pada beberapa perupa muda. Sebagai tanggapan atas keputusan itu, mereka memublikasikan surat sikap yang dikenal dengan Pernyataan Desember Hitam 1974 dan ditandatangani oleh 13 seniman, di antaranya : FX Harsono, Hardi, Bonyong M. Ardhi, DA Peransi, Muryoto Hartoyo dan Baharuddin Marasutan.
Untuk mengisahkan ini, pameran juga dilengkapi dengan berbagai pemberitaan terkait di berbagai media massa cetak, khususnya koran pada jaman dahulu. Termasuk arsiparsip, katalog, dan suara yang diperdengarkan melalui audio di dalam ruang pameran. Para pengunjung pun terasa hanyut dan ditarik masuk dalam diskusi yang diselenggarakan sekitar tahun 1970- an itu.
Susi susanti
(bbg)