Tim Panel Bakal Panggil Hakim MA Kasus TPI
A
A
A
JAKARTA - Tim panel yang bertugas memeriksa dugaan pelanggaran kode etik tiga hakim Mahkamah Agung (MA) terkait putusan menolak peninjauan kembali (PK) dalam kasus sengketa perdata kepemilikan saham TPI akan dibentuk pada pertengahan Januari 2015.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Pengawasan dan Investigasi Eman Suparman mengatakan, tim panel yang dibentuknya tersebut akan bertugas melakukan pemeriksaan terhadap putusan yang dibuat tiga hakim atau melakukan upaya pemeriksaan kembali (anotasi). “Nanti tim panel itu yang akan mengurusi (kasus) itu, termasuk memanggil pihakpihak terlapor, juga meminta keterangan hakim MA,” kata Eman di Jakarta kemarin.
Eman memang ditunjuk untuk memilih tim panel yang akan memeriksa kasus terse-but. Namun, dia mengaku belum menentukan orang-orang yang akan bertugas menjadi tim panel. Meskidalampengadilanberbeda yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sudah mengeluarkan putusan tetap, proses di KY terus berjalan sebab kasus itu dipersoalkan di MA. Tugas KY, katanya, memeriksa ada atau tidak dugaan pelanggaran kode etik hakim MA karena mengurus kasus tersebut.
Sementara itu, Eman mengabarkan, tim investigasi yang juga dibentuk KY untuk menelusuri dugaan pelanggaran kode etik tiga hakim MA masih bekerja dan menggali keterangan di lapangan. Laporan terakhir dia dapat, tim investigasi segera melaporkan hasil investigasinya. “Temuan (tim investigasi) nanti yang akan diberikan (kepada) panel untuk tambahan melakukan pemeriksaan hakim,” ujarnya.
Sebelumnya tiga hakim agung yaitu Hakim Agung Muhammad Saleh, Hamdi, dan Abdul Manan dilaporkan PT Berkah Karya Bersama kepada KY. Tiga hakim tersebut diduga melanggar kode etik lantaran menolak PK PT Berkah Karya Bersama. Sementara di pengadilan berbeda yakni pengadilan arbitrase,
BANI, telah memutuskan kasus kepemilikan saham TPI dimenangkan PT Berkah Karya Bersama dan mewajibkan pihak bersengketa yang kalah Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut didenda membayar utang sebesar Rp510 miliar dan uang biaya perkara sebesar Rp2,3 miliar yang harus dibayarkan kepada PT Berkah sebagai biaya talangan. Sementara itu, praktisi bisnis Frans Hendra Winarta menyatakan, jika TPI versi Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) melakukan siaran, siaran itu pelanggaran alias ilegal.
“Itu pelanggaran hak terhadap pihak yang menang dalam sengketa TPI yang sudah diputuskan BANI, dalam hal ini PT Berkah,” ungkap Frans. Menurut dia, yang berhak atas TPI dan siarannya adalah PT Berkah Karya Bersama (BKB) sebagaimana ketetapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Semua keputusan BANI bersifat final dan mengikat (binding).
“Tutut tak berhak lagi atas televisi ini, apalagi melakukan siaran,” katanya. Menurut Frans, dalam sengketa TPI, putusan BANI sama kuatnya dengan hukum, tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Selain itu, jalur arbitrase juga diakui oleh negara dan negara- negara di dunia. “Pemerintah Indonesia pernah digugat oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) lewat jalur arbitrase soal larangan ekspor,” kata Frans.
Saat menghadapi gugatan itu, Pemerintah Indonesia sangat serius menyiapkan langkahlangkah dalam menghadapi arbitrase. “Karena proses, mekanisme, dan hasil keputusannya sama kuatnya dengan hukum pidana atau perdata sehingga selevel pemerintah pun tidak abai terhadap proses dan putusan arbitrase,” tuturnya.
Frans mengingatkan, saat pihak Tutut dan PT Berkah mendaftarkan perkara TPI ke jalur arbitrase, dua pihak sudah tunduk kepada putusan BANI. “Jadi, tak ada alasan apa pun untuk tidak mematuhi keputusan itu, termasuk jika Tutut ingin melakukan siaran TPI versinya,” katanya.
Danti daniel/Sindonews
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Pengawasan dan Investigasi Eman Suparman mengatakan, tim panel yang dibentuknya tersebut akan bertugas melakukan pemeriksaan terhadap putusan yang dibuat tiga hakim atau melakukan upaya pemeriksaan kembali (anotasi). “Nanti tim panel itu yang akan mengurusi (kasus) itu, termasuk memanggil pihakpihak terlapor, juga meminta keterangan hakim MA,” kata Eman di Jakarta kemarin.
Eman memang ditunjuk untuk memilih tim panel yang akan memeriksa kasus terse-but. Namun, dia mengaku belum menentukan orang-orang yang akan bertugas menjadi tim panel. Meskidalampengadilanberbeda yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sudah mengeluarkan putusan tetap, proses di KY terus berjalan sebab kasus itu dipersoalkan di MA. Tugas KY, katanya, memeriksa ada atau tidak dugaan pelanggaran kode etik hakim MA karena mengurus kasus tersebut.
Sementara itu, Eman mengabarkan, tim investigasi yang juga dibentuk KY untuk menelusuri dugaan pelanggaran kode etik tiga hakim MA masih bekerja dan menggali keterangan di lapangan. Laporan terakhir dia dapat, tim investigasi segera melaporkan hasil investigasinya. “Temuan (tim investigasi) nanti yang akan diberikan (kepada) panel untuk tambahan melakukan pemeriksaan hakim,” ujarnya.
Sebelumnya tiga hakim agung yaitu Hakim Agung Muhammad Saleh, Hamdi, dan Abdul Manan dilaporkan PT Berkah Karya Bersama kepada KY. Tiga hakim tersebut diduga melanggar kode etik lantaran menolak PK PT Berkah Karya Bersama. Sementara di pengadilan berbeda yakni pengadilan arbitrase,
BANI, telah memutuskan kasus kepemilikan saham TPI dimenangkan PT Berkah Karya Bersama dan mewajibkan pihak bersengketa yang kalah Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut didenda membayar utang sebesar Rp510 miliar dan uang biaya perkara sebesar Rp2,3 miliar yang harus dibayarkan kepada PT Berkah sebagai biaya talangan. Sementara itu, praktisi bisnis Frans Hendra Winarta menyatakan, jika TPI versi Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) melakukan siaran, siaran itu pelanggaran alias ilegal.
“Itu pelanggaran hak terhadap pihak yang menang dalam sengketa TPI yang sudah diputuskan BANI, dalam hal ini PT Berkah,” ungkap Frans. Menurut dia, yang berhak atas TPI dan siarannya adalah PT Berkah Karya Bersama (BKB) sebagaimana ketetapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Semua keputusan BANI bersifat final dan mengikat (binding).
“Tutut tak berhak lagi atas televisi ini, apalagi melakukan siaran,” katanya. Menurut Frans, dalam sengketa TPI, putusan BANI sama kuatnya dengan hukum, tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Selain itu, jalur arbitrase juga diakui oleh negara dan negara- negara di dunia. “Pemerintah Indonesia pernah digugat oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) lewat jalur arbitrase soal larangan ekspor,” kata Frans.
Saat menghadapi gugatan itu, Pemerintah Indonesia sangat serius menyiapkan langkahlangkah dalam menghadapi arbitrase. “Karena proses, mekanisme, dan hasil keputusannya sama kuatnya dengan hukum pidana atau perdata sehingga selevel pemerintah pun tidak abai terhadap proses dan putusan arbitrase,” tuturnya.
Frans mengingatkan, saat pihak Tutut dan PT Berkah mendaftarkan perkara TPI ke jalur arbitrase, dua pihak sudah tunduk kepada putusan BANI. “Jadi, tak ada alasan apa pun untuk tidak mematuhi keputusan itu, termasuk jika Tutut ingin melakukan siaran TPI versinya,” katanya.
Danti daniel/Sindonews
(bbg)