Antre Kamar sampai Sepuluh Hari

Kamis, 08 Januari 2015 - 12:15 WIB
Antre Kamar sampai Sepuluh Hari
Antre Kamar sampai Sepuluh Hari
A A A
BANTUL - Pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdampak terhadap peningkatan jumlah pasien yang masuk rumah sakit.

Akibatnya banyak pasien yang tidak mendapatkan kamar ketika harus rawat inap, sehingga antrean kamar serta sistem inden (pesan) kamar terjadi di rumah sakit. Wakil Direktur (Wadir) Umum dan Keuangan RS PKU Muhammadiyah Bantul Mamik Mardiyastuti mengungkapkan, sejak pemberlakuan JKN memang terjadi peningkatan jumlah pasien yang datang ke rumah sakit PKU Muhammadiyah Bantul.

Pada 2014 lalu, pihaknya mencatat persentase pasien BPJS mencapai 55% dari total pasien yang masuk rumah sakit. “Jumlahnya semakin meningkat, padahal dulu kurang dari 30%,” ujar Mamik kemarin. Pihaknya memperkirakan jumlah pasien BPJS akan semakin meningkat hingga 70% tahun ini. Hal ini karena pemegang BPJS semakin banyak, menyusul diberlakukannya ketentuan karyawan perusahaan harus dijamin dengan BPJS.

Namun, peningkatan jumlah pasien ini tidak sebanding dengan ketersediaan kamar rumah sakit. Saat ini pihaknya memiliki 129 kamar untuk semua kelas baik VIP, kelas 1, 2, dan 3. Jumlah kamar kelas 3 sebesar 40% atau 51 kamar tidak sebanding dengan jumlah pasien BPJS yang ditanggung pemerintah. “Tahun ini sebenarnya kami berencana menambah 20 kamar, tetapi itu tetap belum sebanding dengan peningkatan jumlah pasien,” tambahnya.

Karena keterbatasan kamar, pihaknya memberlakukan skala prioritas dan sistem antrean kamar. Kamar-kamar itu diprioritaskan untuk pasien tertentu yang memungkinkan harus segera mendapat perawatan intensif. Mamik mencatat setidaknya dalam sehari ada sekitar 30 sampai 35 orang yang masuk daftar tunggu kamar rawat inap di RS PKU Muhammadiyah.

Untuk mendapatkan kamar rawat inap, antrean bisa menunggu 5 sampai 10 hari, sehingga terkadang pihak rumah sakit menerapkan sistem mendaftar terlebih dahulu. Pasien yang akan dirawat inap selain skala prioritas, juga berdasarkan nomor urut di pendaftaran sebelumnya.

“Namun, keputusannya bisa berpulang ke pasien lagi. Kalau ingin tetap dirawat bisa kami rujuk ke rumah sakit lain yang tipenya sama. Kalau parah, dirujuk ke rumah sakit lain yang kelasnya lebih tinggi,” terangnya. Mamik menyebutkan, akibat sistem ini memang banyak pasien yang merasa dirugikan, terlebih sosialisasi masih sangat kurang.

Rumah sakit sering menjadi sasaran protes dan kemarahan dari keluarga pasien karena dinilai menelantarkan pasien. Keadaan ini juga diperparah dengan belum adanya kesamaan pemahaman tentang kondisi penanganan pasien yang sesuai dengan ketentuan BPJS. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah meningkatkan sosialisasi ke masyarakat.

Selain itu, pihak rumah sakit mendapat subsidi tertentu demi kelancaran penanganan pasien, seperti keringanan pajak atau membayar listrik rumah sakit, sebab dana itu bisa dialokasikan untuk meningkatkan penambahan fasilitas pelayanan. “RS swasta sering diidentikkan dengan komersial. Padahal, kami juga memiliki misi kemanusiaan,” tuturnya.

Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati Rini Setyoningsih juga mengakui adanya antrean kamar rawat inap BPJS. Namun, jumlahnya tidak sebanyak rumah sakit swasta. Dia mengklaim antrean rawat inap BPJS di rumah sakitnya paling banyak lima orang dalam sehari. “Kalau yang antre biasanya kami transitkan di ruang instalasi gawat darurat,” ungkapnya.

Erfanto linangkung
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5404 seconds (0.1#10.140)