MA Klaim Tidak Salahi Undang-Undang
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyatakan tidak menyalahi maupun melakukan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan undang-undang (UU) terkait pembatasan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK) pidana.
MA menyatakan, tidak ada satu pun poin dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 yang menyebutkan putusan MK tidak memiliki kekuasaan hukum. Ketua MA Hatta Ali mengungkapkan, penerbitan SEMA tetap merujuk pada dua UU yakni UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA.
Jelas dalam dua UU tersebut menyatakan PK hanya sekali. Sedangkan MK hanya membatalkan pasal yang berkaitan dengan Pasal 268 KUHAP tentang PK yang hanya sekali. “UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA merupakan landasan bekerja MA dan jajaran peradilan di bawahnya. Itu tidak dicabut dan dihapuskan, jadi kami masih menerapkan itu karena tidak dicabut,” ungkap Hatta Ali saat menyampaikan Catatan Kinerja MA Tahun 2014 di Gedung MA, Jakarta, kemarin.
Dia pun membantah pandangan pakar hukum yang menyatakan bahwa MA tidak bisa menggunakan dua UU tersebut karena bersifat umum. Hatta justru mengungkapkan, UU Kekuasaan Kehakiman merupakan UU pokok yang mengatur asas hukum. Karena itu, seharusnya UU turunannya pun tidak boleh bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.
Atas dasar itu, MA mengisyaratkan tidak akan mencabut maupun merevisi isi SEMA Nomor 7 yang menjadi perdebatan itu. Hatta pun meminta masyarakat membiarkan lembaganya bekerja secara independen sebagai lembaga tertinggi penegakan hukum yang membawahi peradilan.
“Kita tidak seenaknya saja menerbitkan. Kita tidak bilang lembaga ini salah, itu salah, hargailah MA. Kita tidak terikat lembaga lain dan tidak di bawah lembaga lain,” ucapnya. Dia menyatakan, MA-lah yang paling mengetahui baik atau tidak PK satu kali atau tidak. Sedangkan institusi lain dalam praktiknya tidak pernah merasakan dan menghadapi PK.
Lagipula, dengan pembatasan PK satu kali, bukan berarti menutup kemungkinan atas pengajuan PK yang kedua. MA masih tetap membuka peluang PK kedua bisa diajukan jika memang terjadi pertentangan atas dua putusan PK. Hatta bahkan sempat menyinggung ada perbedaan putusan yang dihasilkan MK terkait PK. Namun, atas nama etika, dirinya tidak etis untuk mengomentari putusan lembaga lain.
“Silakan melihat, ada putusan sebelumnya Nomor 16 Tahun 2010, silakan bandingkan dengan putusan MK Nomor 34 Tahun 2013. Dalam putusan bernomor 34 itu tidak disinggung UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA,” sebutnya. Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan, perubahan putusan bisa terjadi. Apalagi, yang menjadi fokus putusan pada 2010 terkait perdata dan bukan pidana.
“Perubahan bisa terjadi jika ada ihwal tertentu. Jadi fokusnya perkara 2010 itu perdata. Namun, pada 2013 (putusan MK) itu pidana. Maka itu, terkait putusan 2013 itu, kita tidak singgung perdata. Orang berpikir, tapi tidak membaca putusan, jadi pikirnya mengulang- ulang,” ungkap Hamdan.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly akan mengumpulkan pejabat yudikatif dan akademisi di bidang hukum pada Jumat (9/1). Pertemuan itu akan membahas masalah SEMA tentang PK hanya satu kali.
“Jumat akan ada pertemuan bahas perdebatan tentang SEMA. Kita bahas bersama Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Kejaksaan Agung, KPK, BNN, dan kami undang para ahli,” kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Yasonna mengatakan, pertemuan itu untuk mencari titik keluar tentang perdebatan SEMA. Menurut dia, SEMA itu memiliki sisi pro dan kontra.
“Supaya kami ada satu pandangan yang sama karena persoalan ini. Berdasarkan SEMA, PK kan tidak membatasi eksekusi, tapi kami akan bicarakan lagi,” katanya. Sedangkan pakar hukum pidana UII Yogyakarta Mudzakkir menilai, keberadaan putusan MK yang berbeda terhadap materi yang sama sangat dimungkinkan dan tidak masalah.
Ada kemungkinan memang yang diuji pasalnya sama, tetapi argumennya berbeda. “Itu bisa saja putusannya berbeda dan itu diperbolehkan,” ucapnya. Karena itu, jika ada pandangan yang mengatakan perbedaan putusan MK bentuk inkonsistensi, itu tidak dapat dibenarkan. Bila MK memutus berbeda dalam putusan kedua untuk perkara yang sama, yang dianggap sah adalah putusan yang kedua.
Nurul adriyana/Rarasati syarief
MA menyatakan, tidak ada satu pun poin dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 yang menyebutkan putusan MK tidak memiliki kekuasaan hukum. Ketua MA Hatta Ali mengungkapkan, penerbitan SEMA tetap merujuk pada dua UU yakni UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA.
Jelas dalam dua UU tersebut menyatakan PK hanya sekali. Sedangkan MK hanya membatalkan pasal yang berkaitan dengan Pasal 268 KUHAP tentang PK yang hanya sekali. “UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA merupakan landasan bekerja MA dan jajaran peradilan di bawahnya. Itu tidak dicabut dan dihapuskan, jadi kami masih menerapkan itu karena tidak dicabut,” ungkap Hatta Ali saat menyampaikan Catatan Kinerja MA Tahun 2014 di Gedung MA, Jakarta, kemarin.
Dia pun membantah pandangan pakar hukum yang menyatakan bahwa MA tidak bisa menggunakan dua UU tersebut karena bersifat umum. Hatta justru mengungkapkan, UU Kekuasaan Kehakiman merupakan UU pokok yang mengatur asas hukum. Karena itu, seharusnya UU turunannya pun tidak boleh bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.
Atas dasar itu, MA mengisyaratkan tidak akan mencabut maupun merevisi isi SEMA Nomor 7 yang menjadi perdebatan itu. Hatta pun meminta masyarakat membiarkan lembaganya bekerja secara independen sebagai lembaga tertinggi penegakan hukum yang membawahi peradilan.
“Kita tidak seenaknya saja menerbitkan. Kita tidak bilang lembaga ini salah, itu salah, hargailah MA. Kita tidak terikat lembaga lain dan tidak di bawah lembaga lain,” ucapnya. Dia menyatakan, MA-lah yang paling mengetahui baik atau tidak PK satu kali atau tidak. Sedangkan institusi lain dalam praktiknya tidak pernah merasakan dan menghadapi PK.
Lagipula, dengan pembatasan PK satu kali, bukan berarti menutup kemungkinan atas pengajuan PK yang kedua. MA masih tetap membuka peluang PK kedua bisa diajukan jika memang terjadi pertentangan atas dua putusan PK. Hatta bahkan sempat menyinggung ada perbedaan putusan yang dihasilkan MK terkait PK. Namun, atas nama etika, dirinya tidak etis untuk mengomentari putusan lembaga lain.
“Silakan melihat, ada putusan sebelumnya Nomor 16 Tahun 2010, silakan bandingkan dengan putusan MK Nomor 34 Tahun 2013. Dalam putusan bernomor 34 itu tidak disinggung UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA,” sebutnya. Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan, perubahan putusan bisa terjadi. Apalagi, yang menjadi fokus putusan pada 2010 terkait perdata dan bukan pidana.
“Perubahan bisa terjadi jika ada ihwal tertentu. Jadi fokusnya perkara 2010 itu perdata. Namun, pada 2013 (putusan MK) itu pidana. Maka itu, terkait putusan 2013 itu, kita tidak singgung perdata. Orang berpikir, tapi tidak membaca putusan, jadi pikirnya mengulang- ulang,” ungkap Hamdan.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly akan mengumpulkan pejabat yudikatif dan akademisi di bidang hukum pada Jumat (9/1). Pertemuan itu akan membahas masalah SEMA tentang PK hanya satu kali.
“Jumat akan ada pertemuan bahas perdebatan tentang SEMA. Kita bahas bersama Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Kejaksaan Agung, KPK, BNN, dan kami undang para ahli,” kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Yasonna mengatakan, pertemuan itu untuk mencari titik keluar tentang perdebatan SEMA. Menurut dia, SEMA itu memiliki sisi pro dan kontra.
“Supaya kami ada satu pandangan yang sama karena persoalan ini. Berdasarkan SEMA, PK kan tidak membatasi eksekusi, tapi kami akan bicarakan lagi,” katanya. Sedangkan pakar hukum pidana UII Yogyakarta Mudzakkir menilai, keberadaan putusan MK yang berbeda terhadap materi yang sama sangat dimungkinkan dan tidak masalah.
Ada kemungkinan memang yang diuji pasalnya sama, tetapi argumennya berbeda. “Itu bisa saja putusannya berbeda dan itu diperbolehkan,” ucapnya. Karena itu, jika ada pandangan yang mengatakan perbedaan putusan MK bentuk inkonsistensi, itu tidak dapat dibenarkan. Bila MK memutus berbeda dalam putusan kedua untuk perkara yang sama, yang dianggap sah adalah putusan yang kedua.
Nurul adriyana/Rarasati syarief
(bbg)