Prestasi Anak,Prestasi Orang Tua
A
A
A
Para pelajar SMP di Indonesia peraih medali pada ajang International Junior Science Olympiad (IJSO) 2014 mengaku bahwa prestasi yang mereka torehkan selama ini tak lepas dari peran sentral orang tua yang mengawal masa-masa tumbuh kembang, pendidikan, hingga kedewasaan mental.
Salah satu pelajar peraih medali emas pada IJSO 2014, Michael Gilbert, memang menyukai mata pelajaran fisika dan matematika sejak lama. Siswa kelas 9 SMPK Penabur Cirebon, Jawa Barat, ini mengatakan, fisika merupakan salah satu cara mempelajari alam yang diinterpretasikan dengan persamaan dan rumus. Sedangkan matematika mempelajari suatu fenomena dalam sebuah perhitungan.
Kendati terdengar sulit, dalam pandangan Gilbert, fisika, dan matematika itu sangat keren. Sebelum IJSO 2014, pelajar kelahiran Jakarta, Februari 2000, ini telah banyak mengantongi prestasi. Di antaranya juara pertama pada Olimpiade Fisika Tingkat SMP di Institut Teknologi Surabaya-ITS Physics Summit 2014, medali emas Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika Tingkat SMP 2014 di Padang, dan Merrit Award (honorable mention) Bulgaria International Mathematic Competition (BIMC) 2013.
Menurut putra pasangan Tommy Jaya dan Janti Sunarso ini, salah satu faktor yang membuatnya termotivasi meraih prestasi adalah kedua orang tuanya. Gilbert mengungkapkan, orang tua mempunyai peranan sentral dalam menjadikannya seorang pelajar berprestasi. “Semua ini adalah wujud kasih sayang kepada orang tua. Kasih sayang mereka membuat kita mampu berprestasi. Itu prestasi mereka. Kita balas dengan prestasi juga,” ucapnya.
Gilbert mengungkapkan, banyak hal yang telah dilakukan keluarga, khususnya kedua orang tua, bagi perkembangan dirinya. Mulai dari kasih sayang, membelikan berbagai kebutuhan pendidikan, hingga sebagai teman berdiskusi. Tidak mengherankan bila saat mengikuti training center (TC) untuk IJSO 2014 hingga menjalani kompetisinya Gilbert kerap dilanda rindu kepada ayah dan ibunya. Ayah Gilbert, Tommy Jaya, mengaku sangat bangga dengan prestasi yang telah dicapai anaknya.
Terlebih, Gilbert bersekolah di daerah yang infrastruktur pendidikannya tidak sebaik kota lain seperti Jakarta atau Bandung. “Tidak menyangka juga anak saya bisa berprestasi. Kami malah kerap kesulitan mendapatkan guru pembimbing yang memiliki kompetensi,” tuturnya. Dia menekankan, prestasi sang anak adalah karunia dari Tuhan.
Siswa lain peraih medali emas di IJSO 2014 adalah Dean Fanggohans, siswa SMPK Kalam Kudus, Pekanbaru, Riau. Keikutsertaan anak pertama dari tiga bersaudara ini dalam ajang tersebut merupakan yang pertama. Pada tahun sebelumnya, sebenarnya dia juga mengikuti seleksi untuk IJSO. Namun, upayanya belum membuahkan hasil karena tim seleksi menilai Dean harus belajar lebih keras lagi. Hal itu tidak membuat dia patah arang.
Sebaliknya, Dean semakin termotivasi untuk belajar lebih giat lagi agar bisa menjadi yang terbaik dalam OSN 2014. Selain itu, dia memutuskan untuk turun dalam kategori biologi. Pilihan yang berbeda dengan tahun sebelumnya. “Tahun lalu saya turun dalam kategori fisika,” sebutnya.
Ada plus dan minus bertanding di bidang studi biologi. Kalau di bidang fisika, kata dia, materi lebih pada hitunghitungan, sementara bidang biologi lebih pada pemahaman materi melalui metode hafalan dan praktikum. Yang jelas, pilihan ini menjadi modal sangat berarti baginya saat mengikuti IJSO 2014. Dean berhasil menyandang predikat The Best of Theory and The Best of Practicum di OSN yang digelar di Padang, Sumatera Barat, pada Mei 2014.
Dengan hasil ini, Dean berhak mewakili Indonesia dalam ajang serupa di tingkat internasional. “Sempat tertekan juga karena ada ambisi menjadi the best of overall di Argentina. Tapi untungnya bisa kembali fokus,” ucap putra pasangan Jonni dan Sumanti ini. Dean berharap keberhasilannya semakin membuka peluang baginya mendapatkan beasiswa pendidikan di luar negeri.
“Terima kasih kepada orang tua atas segala upaya untuk membuat saya berhasil berprestasi. Semoga saya dapat membanggakan mereka,” tuturnya. Sumanti, ibunda Dean, sangat bangga dengan prestasi putranya. Terlebih, prestasi tersebut diraih dari kerja keras. “Orang tua hanya mendukung minat dan apa yang sedang diinginkan anaknya. Dean memang belajar semuanya sendiri. Itu yang paling membuat kami bangga,” tuturnya.
Di tempat terpisah, salah satu pelajar yang meraih medali perak pada IJSO 2014, Andrew Wijaya, mengungkapkan, salah satu hal yang dilakukannya agar berhasil meraih prestasi di ajang tersebut adalah membuang jauhjauh pikiran negatif. Khususnya yang terkait dengan perkembangan sains di Indonesia yang belum terlalu maju dibandingkan negaranegara utama seperti Amerika Serikat. Dia juga mengatakan, keberhasilannya ini adalah berkat dukunganpenuhdanmaksimal dari orang tua.
“Tanpa dukungan mereka, mental saya dalam bersaing tidak akan sekuat saat ini,” ungkapnya. Menurut dia, kompetitor utama pada IJSO adalah Rusia, India, China, dan Jerman. Kompetisi olimpiade sains tingkat internasional yang berlangsung selama kurang lebih satu minggu itu meliputi tes teori selama 3 jam, pilihan ganda 3 jam, dan praktikum di 3 bidang, yakni fisika, biologi dan kimia selama 4 jam.
“Bisa dibayangkan seketat apa kompetisinya. Untuk menghadapi itu, tentunya harus ditanggapi dengan positif agar bisa fokus menghadapi berbagai soal yang dites. Hasilnya cukup menggembirakan. Saya mendapatkan nilai 86. Capaian itu sedikit di bawah dari standar untuk mendapatkan emas,” kata Andrew.
Ayah Andrew, Edy Promono, menjelaskan, sejak kecil anaknya memiliki keingintahuan yang besar akan apa pun. Karena itulah dia membelikan berbagai ensiklopedia. “Semua dilahapnya. Tapi kami selaku orang tua tidak pernah memaksakan keinginan agar Andrew menjadi seperti ini. Semua alamiah saja. Keinginan akan berkiprah apa dan menjadi apa kami serahkan sepenuhnya kepada anak. Tentu, kami memberi pertimbangan,” katanya.
Hermansah
Salah satu pelajar peraih medali emas pada IJSO 2014, Michael Gilbert, memang menyukai mata pelajaran fisika dan matematika sejak lama. Siswa kelas 9 SMPK Penabur Cirebon, Jawa Barat, ini mengatakan, fisika merupakan salah satu cara mempelajari alam yang diinterpretasikan dengan persamaan dan rumus. Sedangkan matematika mempelajari suatu fenomena dalam sebuah perhitungan.
Kendati terdengar sulit, dalam pandangan Gilbert, fisika, dan matematika itu sangat keren. Sebelum IJSO 2014, pelajar kelahiran Jakarta, Februari 2000, ini telah banyak mengantongi prestasi. Di antaranya juara pertama pada Olimpiade Fisika Tingkat SMP di Institut Teknologi Surabaya-ITS Physics Summit 2014, medali emas Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika Tingkat SMP 2014 di Padang, dan Merrit Award (honorable mention) Bulgaria International Mathematic Competition (BIMC) 2013.
Menurut putra pasangan Tommy Jaya dan Janti Sunarso ini, salah satu faktor yang membuatnya termotivasi meraih prestasi adalah kedua orang tuanya. Gilbert mengungkapkan, orang tua mempunyai peranan sentral dalam menjadikannya seorang pelajar berprestasi. “Semua ini adalah wujud kasih sayang kepada orang tua. Kasih sayang mereka membuat kita mampu berprestasi. Itu prestasi mereka. Kita balas dengan prestasi juga,” ucapnya.
Gilbert mengungkapkan, banyak hal yang telah dilakukan keluarga, khususnya kedua orang tua, bagi perkembangan dirinya. Mulai dari kasih sayang, membelikan berbagai kebutuhan pendidikan, hingga sebagai teman berdiskusi. Tidak mengherankan bila saat mengikuti training center (TC) untuk IJSO 2014 hingga menjalani kompetisinya Gilbert kerap dilanda rindu kepada ayah dan ibunya. Ayah Gilbert, Tommy Jaya, mengaku sangat bangga dengan prestasi yang telah dicapai anaknya.
Terlebih, Gilbert bersekolah di daerah yang infrastruktur pendidikannya tidak sebaik kota lain seperti Jakarta atau Bandung. “Tidak menyangka juga anak saya bisa berprestasi. Kami malah kerap kesulitan mendapatkan guru pembimbing yang memiliki kompetensi,” tuturnya. Dia menekankan, prestasi sang anak adalah karunia dari Tuhan.
Siswa lain peraih medali emas di IJSO 2014 adalah Dean Fanggohans, siswa SMPK Kalam Kudus, Pekanbaru, Riau. Keikutsertaan anak pertama dari tiga bersaudara ini dalam ajang tersebut merupakan yang pertama. Pada tahun sebelumnya, sebenarnya dia juga mengikuti seleksi untuk IJSO. Namun, upayanya belum membuahkan hasil karena tim seleksi menilai Dean harus belajar lebih keras lagi. Hal itu tidak membuat dia patah arang.
Sebaliknya, Dean semakin termotivasi untuk belajar lebih giat lagi agar bisa menjadi yang terbaik dalam OSN 2014. Selain itu, dia memutuskan untuk turun dalam kategori biologi. Pilihan yang berbeda dengan tahun sebelumnya. “Tahun lalu saya turun dalam kategori fisika,” sebutnya.
Ada plus dan minus bertanding di bidang studi biologi. Kalau di bidang fisika, kata dia, materi lebih pada hitunghitungan, sementara bidang biologi lebih pada pemahaman materi melalui metode hafalan dan praktikum. Yang jelas, pilihan ini menjadi modal sangat berarti baginya saat mengikuti IJSO 2014. Dean berhasil menyandang predikat The Best of Theory and The Best of Practicum di OSN yang digelar di Padang, Sumatera Barat, pada Mei 2014.
Dengan hasil ini, Dean berhak mewakili Indonesia dalam ajang serupa di tingkat internasional. “Sempat tertekan juga karena ada ambisi menjadi the best of overall di Argentina. Tapi untungnya bisa kembali fokus,” ucap putra pasangan Jonni dan Sumanti ini. Dean berharap keberhasilannya semakin membuka peluang baginya mendapatkan beasiswa pendidikan di luar negeri.
“Terima kasih kepada orang tua atas segala upaya untuk membuat saya berhasil berprestasi. Semoga saya dapat membanggakan mereka,” tuturnya. Sumanti, ibunda Dean, sangat bangga dengan prestasi putranya. Terlebih, prestasi tersebut diraih dari kerja keras. “Orang tua hanya mendukung minat dan apa yang sedang diinginkan anaknya. Dean memang belajar semuanya sendiri. Itu yang paling membuat kami bangga,” tuturnya.
Di tempat terpisah, salah satu pelajar yang meraih medali perak pada IJSO 2014, Andrew Wijaya, mengungkapkan, salah satu hal yang dilakukannya agar berhasil meraih prestasi di ajang tersebut adalah membuang jauhjauh pikiran negatif. Khususnya yang terkait dengan perkembangan sains di Indonesia yang belum terlalu maju dibandingkan negaranegara utama seperti Amerika Serikat. Dia juga mengatakan, keberhasilannya ini adalah berkat dukunganpenuhdanmaksimal dari orang tua.
“Tanpa dukungan mereka, mental saya dalam bersaing tidak akan sekuat saat ini,” ungkapnya. Menurut dia, kompetitor utama pada IJSO adalah Rusia, India, China, dan Jerman. Kompetisi olimpiade sains tingkat internasional yang berlangsung selama kurang lebih satu minggu itu meliputi tes teori selama 3 jam, pilihan ganda 3 jam, dan praktikum di 3 bidang, yakni fisika, biologi dan kimia selama 4 jam.
“Bisa dibayangkan seketat apa kompetisinya. Untuk menghadapi itu, tentunya harus ditanggapi dengan positif agar bisa fokus menghadapi berbagai soal yang dites. Hasilnya cukup menggembirakan. Saya mendapatkan nilai 86. Capaian itu sedikit di bawah dari standar untuk mendapatkan emas,” kata Andrew.
Ayah Andrew, Edy Promono, menjelaskan, sejak kecil anaknya memiliki keingintahuan yang besar akan apa pun. Karena itulah dia membelikan berbagai ensiklopedia. “Semua dilahapnya. Tapi kami selaku orang tua tidak pernah memaksakan keinginan agar Andrew menjadi seperti ini. Semua alamiah saja. Keinginan akan berkiprah apa dan menjadi apa kami serahkan sepenuhnya kepada anak. Tentu, kami memberi pertimbangan,” katanya.
Hermansah
(bbg)