PR Besar Keselamatan Penerbangan Tanah Air

Kamis, 01 Januari 2015 - 10:40 WIB
PR Besar Keselamatan Penerbangan Tanah Air
PR Besar Keselamatan Penerbangan Tanah Air
A A A
JAKARTA - Jatuhnya AirAsia nomor penerbangan QZ8501 menjadi alarm keras akan standar keselamatan penerbangan di Indonesia yang dinilai masih rendah.

Pesatnya low-cost carrier dan kemampuan kontrol lalu lintas udara dalam mengikuti pertumbuhan industri penerbangan menjadi pekerjaan rumah yang harus cepat diselesaikan. Banyaknya maskapai lowcost carrier yang beroperasi di Asia, khususnya Indonesia sejak 2000, bukan hanya menjadi tantangan, melainkan juga ancaman dalam dunia penerbangan.

Sedikitnya terdapat 50 lowcost carrier yang beroperasi di 16 negara di Asia. Cepatnya pertumbuhan maskapai low-cost carrier memicu melemahnya kontrol lalu lintas udara. Selain itu, pesawat juga dioperasikan oleh personel yang sedikit. Sebagai contoh, banyak awak kabin maskapai Indonesia dengan jam kerja yang terlalu panjang.

Untuk menghemat biaya operasional, maskapai juga kerap mengabaikan aturan standar keselamatan penerbangan. Parahnya lagi, beberapa maskapai penerbangan Asia juga tidak mengikuti standar internasional. Administrasi Penerbangan Federal AS menurunkan penilaian keselamatan Indonesia ke “kategori 2” tujuh tahun lalu.

Penilaian itu disebabkan kurangnya tenaga ahli, kemampuan teknis, dan prosedur inspeksi. Bersama dengan Indonesia, yang memiliki penilaian rendah adalah India dan Filipina. “Seiring dengan peningkatan sektor maskapai low-cost carrier, khususnya di Asia-Pasifik, ada hal yang mengkhawatirkan yakni tentang regulasi yang dibutuhkan,” kata Gabriel Mocho, sekretaris penerbangan sipil di Federasi Pekerja Transportasi Internasional, kepada Telegraph.

“Kita percaya terjadinya penurunan dalam standar keselamatan dan pelatihan pilot sebagai dampak dari penerapan low-cost.” Standar keselamatan penerbangan rendah di Tanah Air membuat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) meminta warganya supaya menggunakan maskapai yang memenuhi standar internasional saat bepergian dari dan ke Indonesia.

Ini mempertegas AS memang tidak percaya dengan maskapai penerbangan yang mengabaikan standar. Menurut pakar penerbangan yang berbasis di Inggris, Chris Yates, Indonesia memang memiliki catatan keselamatan yang sangat buruk. “Dalam satu tahun, terdapat sembilan insiden kecelakaan,” katanya kepada Deutsche Welle.

Dia mengungkapkan, keselamatan penerbangan disebabkan pemeliharaan kurang, pelatihan yang kurang, dan lalu lintas udara yang tidak dibenahi. Insiden AirAsia juga memicu perdebatan terkait peningkatan perangkat pesawat yang memungkinkan pelacakan di wilayah perairan. Jim Hall, mantan kepala Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) AS, menyerukan peningkatan kemampuan pelacakan pesawat yang terbang terutama di perairan.

“Industri penerbangan menginvestasikan miliaran dolar untuk fitur keselamatan, tetapi ketika pesawat itu terbang di atas lautan atau lokasi terpencil, pesawat itu justru tidak terdeteksi,” kata Hall. Analis penerbangan Mary Schiavo juga meminta para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan nyata untuk meningkatkan teknologi pelacakan pesawat. “Teknologi (pelacakan) sudah ada. Kita tidak boleh menunggu untuk mengembangkannya,” katanya kepada CNN.

Andika hendra m
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5624 seconds (0.1#10.140)