Pembelian Barang Mewah Terus Berlanjut

Minggu, 28 Desember 2014 - 13:16 WIB
Pembelian Barang Mewah...
Pembelian Barang Mewah Terus Berlanjut
A A A
Jika sektor automotif terkena dampak paling buruk dari kenaikan pajak barang mewah, hal ini tidak terjadi pada barang mewah jenis lain seperti home appliance. Penjualan barang mewah tipe home appliance tetap tinggi karena kebutuhan yang mendesak untuk rumah tangga.

Pada 2013 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 121/ PMK.011/2013 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Peraturan tersebut menjelaskan sejumlah barang yang digolongkan sebagai barang mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Antara lain, lemari pendingin-pembeku dari tipe rumah tangga dengan kapasitas di atas 180 liter dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp10 juta per unit. Mesin pengatur suhu udara (AC) dengan kapasitas pendingin di atas 1 PK dengan 2 PK dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp8 juta per unit.

Rumah dan town house dengan luas bangunan 350 meter persegi atau lebih. Apartemen, kondominium, dengan luas bangunan 150 meter persegi atau lebih. Salah satu maksud dikeluarkan peraturan tersebut adalah minat masyarakat membeli atau mengonsumsi barang- barang mewah berkurang.

Namun, ternyata tidak berdampak signifikan bagi penjualan produk rumah tangga yang masuk dalam kategori barang mewah seperti yang disebutkan dalam PMK No 121/2013. “Tidak ada pengaruhnya terhadap penjualan kulkas dan AC di produk-produk bermerek Polytron,” sebut Public Relations and Marketing Event Manager PT Hartono Istana Teknologi Santo Kadarusman melalui pesan pendeknya akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, ada beberapa item produk kulkas dan AC yang diproduksi perseroan dan terkena PPnBM. Namun, penjualannya tetap stabil bahkan cenderung meningkat di kisaran 5 -15%. Keduanya bahkan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keberlangsungan usaha perseroan. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak terpengaruhnya penjualan barang yang digolongkan sebagai barang mewah. Pertama, kebutuhan masyarakat.

Maksudnya, fitur dari barang-barang tersebut sesuai kebutuhan masyarakat. Kendati harga jualnya tidak murah, tetap mendapatkan respons positif masyarakat. Akibat itu, produsen terus berinovasi dan menyempurnakan teknologi dari produk yang dijualnya. “Peningkatan penjualan pada audio, video, home appliances, dan mobile phone yang berada pada kisaran 5% sampai 15% merupakan bukti.

Polytron adalah produk lokal asli buatan Indonesia yang hingga kini masih dapat exist dan bertahan di negeri sendiri,” papar dia Kedua, peningkatan pendapatan masyarakat. Seiring peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia, tentu akan berdampak positif terhadap konsumsi barang. Bukan hanya terhadap barang primer, tetapi juga barang mewah.

Jangan heran kalau saat ini segala macam merek barang mewah dari luar negeri juga dijual di Indonesia. Hal lain sangat terkait gengsi. Penggunaan barang- barang mewah dengan merek terkenal sering menjadi identitas sosial bagi penggunanya. Itu tidak terlepas dari semakin menyatunya dunia oleh informasi yang nyaris tanpa batas.

Baik melaluisalurantelevisidaninternet.“ Karena itu, produsen harus membuat konsumen lebih nyaman percaya, “ kata dia. Karena harga barang mewah khususnya berupa properti relatif tidak terjangkau oleh banyak orang, tidak sembarangan yang bisa memilikinya. Menurut Direktur PT Ciputra Property Tbk Artadinata Djangkar, sangat sedikit masyarakat yang bisa membeli apartemen dengan luas lebih dari 150 meter persegi.

“Harganya mahal, apalagi jika lokasinya terletak di daerah prime,” ucap dia. Itu sesuai studi Colliers International Indonesia awal tahun ini. Colliers menyebutkan, permintaan apartemen kelas premium sangat kuat, namun terbatas (niche market). Lokasi apartemen harus menempati area premium seperti pusat bisnis(CBD) Sudirman, Thamrin, danKuningan. Kalaupun di selatan Jakarta dan dari CBD, terdapat area tradisional yang memang dirancang untuk kalangan mewah. Area tersebut ada di Kebayoran Baru seperti Wijaya, Gandaria, dan Kemang.

Tepat Sasaran

Sekedar diketahui, hingga akhir Oktober 2014 penerimaan PPN dan PPnBM baru mencapai Rp316,673 triliun atau 66,58% dari target APBN Perubahan 2014 sebesar Rp475,587 triliun. Penerimaan itu terdiri atas PPN dalam negeri Rp180,155 triliun, PPN impor Rp123,213 triliun, PPnBM dalam negeri Rp8,351 triliun, PPnBM impor Rp4,820 triliun, dan PPN/PPnBM lainnya Rp131 miliar.

Pengamat ekonomi Lana Sulis menilai kenaikan PPnBM sudah tepat. Apalagi yang membeli barang mewah tersebut memang masuk dalam kategori masyarakat kelas atas atau orang dengan pendapatan yang tinggi. “Sehingga kenaikan PPnBM tidak terlalumemberidampakbagi masyarakat. Contohnya saja wanita karier, mereka tetap membeli tas yang mahal. Mungkin untuk menambah kepercayaan diri dan nilai prestisius,” sebutnya. Lana mengatakan, biasanya semakin mahal nilai suatu barang semakin akan diburu konsumen.

“Ada kepuasan lebih yang mereka rasakan karena memiliki barang yang belum dimiliki orang lain,” ujarnya. Namun, masyarakat yang membeli barang mewah pun tetap akan membeli sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangannya. Walaupun dikenakan pajak barang mewah, masyarakat tetap akan membeli barang-barang tersebut.

“Tetapi, memang kebijakan ini harus ada pengkajian ulang, kategori apa dan mana yang tepat dikatakan barang mewah. Tidak bisa misalnya pajak mobil dan tas mewah disamakan,” ungkapnya. Selain itu, menurut Lana, sebaiknya PPnBM pada kendaraan mobil mewah juga harus lebih tinggi dari nilai pajaknya saat ini yaitu 125%.

“Misalnya mobil yang berharga Rp2 miliar, seharusnya pajak yang dikenakan lebih tinggi dari 125%. Berbeda dengan pajak mobil yang berharga Rp100 juta. Namun, harus jelas dulu kategori barang mewah itu agar tidak memicu polemik,” katanya. Pendapat yang sama juga dikatakan Enny Sri Hartati. Menurut dia, walaupun kebijakan kenaikan PPnBM membuat harga barang kian meningkat, permintaan pasar tetap bertambah.

Enny mengatakan, awalnya kenaikan PPnBM untuk mengendalikan barangbarang ekonomi dan mengontrol daya beli konsumen dengan ekonomi kelas menengah sebab telah terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. “Namun, dengan kenaikan PPnBM ini, justru harus hati-hati dengan illegal trading sebab pasti banyak barang ilegal yang bermunculan karena kenaikan pajak barang mewah,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengakui, pengenaan PPnBM terhadap barang mewah kerap tidak tepat sasaran. Kebijakan ini akan semakin mendorong terjadi penyelundupan. “Penyelundupan barang mewah di Indonesia belum sempurna diatasi,” katanya.

Dina angelina/Hermansah
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0885 seconds (0.1#10.140)